Noor Alis Setiyadi, Universitas Muhammadiyah Surakarta

Artikel ini diterbitkan untuk memperingari Hari Tuberkulosis Sedunia 24 Maret.

Dibandingkan COVID-19 yang belum ada obatnya, tuberkulosis (TB/TBC) – penyakit menular yang pertama kali mewabah pada 1882 di dunia dan di Indonesia sejak 1950-an – jelas lebih terang penyebab dan cara mengobatinya.

Masalahnya, salah satu yang sulit dipecahkan, selain pengobatan kasus baru, adalah munculnya kasus TB resistan obat (TB RO). Istilah ini merujuk pada pasien TB yang pernah diobati tapi tidak sembuh, biasanya karena pengobatan tidak tuntas, sehingga obat yang sama tidak lagi mempan membunuh bakteri TB di tubuh pasien.

Hasil penelitian saya di Jawa Tengah pada Agustus 2017-Februari 2018 menunjukkan jika semua pasien diobati (sampel 197 orang), maka kemungkinan terjadinya TB RO adalah 16% (31 orang). Jika 31 orang tersebut tidak diobati hingga sembuh, maka mereka dapat menginfeksi orang lain yang kontak dengannya.

WHO memperkirakan ada 23.000 kasus TB RO di Indonesia, tapi sampai 2018 Kementerian Kesehatan mencatat kasus yang terkonfirmasi TB RO baru 4.400 kasus.

TB resistan obat ini sangat berbahaya karena kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) tidak lagi bisa dibunuh oleh obat anti TB biasa dan berpotensi menulari orang lain.

Karena itu, kasus-kasus TB RO sangat penting mendapatkan perhatian, bukan hanya jumlahnya tapi penularannya.

Menular cepat dan pengobatan lama

Satu orang sakit tuberkulosis dapat menulari 10-15 orang lain melalui kontak dekat. Bakteri penyakit ini juga dapat menginfeksi orang melalui udara.

Dalam riset di Jawa Tengah, saya mendapatkan data bahwa pasien TB yang waktu pengobatannya lebih dari 6 bulan memiliki risiko menjadi TB RO 14,1 kali dan pasien yang sembuh dari TB tapi terdiagnosis TB kembali (kambuh lagi) memiliki risiko menjadi TB RO 11,6 kali.

Hal ini diduga saat pengobatan awal 2 bulan terjadi ketidakpatuhan, dan mendapatkan pengobatan lagi untuk mendapatkan hasil laboratorium dahaknya negatif.

Pasien yang tidak patuh minum obat, pendapatan dan pendidikannya rendah memiliki risiko TB resistan obat relatif tinggi, sekitar 3 kali lipat.

Pengobatan TB regular membutuhkan waktu 6 bulan penuh. Lamanya pengobatan ini yang membuat pasien sering tidak betah minum obat.

Setiap hari pasien harus minum obat atau jika lupa penyakit akan terus berkembang. Tidak minum sekali saja, dikategorikan tidak patuh pengobatan TB.

Dua bulan awal merupakan fase pertama – pasien wajib minum minum 4 obat – untuk mematikan kuman TB juga supaya tidak menularkan.. Lalu fase kedua, selama empat bulan pasien wajib minum 2 obat, untuk membersihkan kuman TB di tubuh.

Tidak menyelesaikan seluruh pengobatan akan berdampak TB tidak sembuh dan bisa menularkan ke orang lain.

Berbeda dengan TB regular, pengobatan TB RO memiliki tahapan lebih kompleks dan panjang. Pengobatan 4-6 bulan pertama berupa obat oral dan suntikan setiap hari, dilanjutkan 5 bulan obat oral tanpa suntikan, lalu sekurang-kurangnya 8 bulan (suntikan 5 kali seminggu dan oral 3 kali seminggu), dan sedikitnya 12 bulan (obat oral 7 kali seminggu tanpa suntikan)

Secara total, pengobatan TB RO memerlukan waktu antara 18-24 bulan, tergantung level perkembangan bakteri di tubuh pasien.

Dua jenis resistansi

Ada dua jenis resistansi obat pada kasus tuberkulosis.

Pertama, TB RO primer, yakni orang dengan TB RO yang sebelumnya tidak pernah didiagnosis atau diobati obat TB sebelumnya. Orang tersebut terinfeksi bakteri TB yang sudah resistan karena terjadi mutasi gen pada bakterinya.

Kedua, TB RO sekunder, yaitu orang dengan TB RO yang sebelumnya pernah terdiagnosis atau diobati sebelumnya. Kasus TB RO ini ada yang resistan satu obat sampai dengan banyak obat (MDR) dan resistansi obat ekstrem (XDR).

Karena masalahnya begitu serius, WHO menyatakan TB RO terus menjadi ancaman kesehatan masyarakat. Secara global, pada 2018, sekitar setengah juta kasus baru yang resistan terhadap obat rifampisin TB, 78% di antaranya jenis TB resistan beberapa obat atau multidrug-resistant TB _(MDR-TB). Hal ini karena jenis TB tersebut kebal dari minimal 2 obat anti TBC.

Di level dunia, 3,4% dari kasus TB baru dan 18% dari kasus TB yang sebelumnnya diobati merupakan kasus TB RO. Proporsi tertinggi terjadi negara bekas Uni Soviet yang mencapai di atas 50%.

Sedangkan di Indonesia, dari 23.000 kasus TB RO seperti perkiraan WHO, 2,4% di antaranya terjadi dari kasus baru dan 13% terjadinya dari pasien TB yang diobati sebelumnya.

Di samping itu cakupan yang diobati TB RO baru sekitar 27,36%.

Sementara itu di negeri ini per Mei 2019 ada 842.000 penderita TBC, dengan keberhasilan pengobatan mencapai 85%.

Artinya masih ada sekitar 15 persen yang tidak sembuh. Dan mereka inilah yang potensial menulari orang-orang dekatnya.

Dengan keadaan itu, target pemerintah untuk bebas TB pada 2030/2035 sulit tercapai jika tidak perubahan kebijakan signifikan untuk mengurangi TB resistan obat.

Tanpa pengobatan yang tepat dan konsisten, penyakit ini dapat menyebabkan dua per tiga pasien tak bisa diselamatkan.

Secara global, Badan Kesehatan dunia (WHO) menyatakan TB menjadi 1 dari 10 penyebab kematian teratas, di bawah HIV/AIDS. Di Indonesia, setiap hari 300 orang meninggal akibat TB.

Lalu bagaimana jalan keluarnya

Faktor penyebab TB RO adalah ulah manusia (penyedia layanan dan pasien), program dan sistem layanan yang tidak sesuai dengan standar mutu.

Pada level pasien, kita perlu meningkatkan pemahaman pasien bahwa penyakit ini bisa disembuhkan asal dia patuh berobat setiap hari. Jika sembuh, mereka dapat kembali melakukan pekerjaan lebih produktif serta dapat memberikan kasih saya ke keluarga dan orang sekitar.

Mereka membutuhkan dukungan dari keluarga, teman dan petugas kesehatan.

Pada level program dan sistem, pemerintah harus lebih memperkuat upaya menekan kasus-kasus baru dan yang resistan obat. Kini angka penemuan kasus TB RO semakin meningkat tiap tahun, tapi tidak diimbangi dengan angka pengobatan. Angka pengobatan TB RO mencapai 59% pada 2017, tapi turun menjadi 51% tahun berikutnya.

Karena itu, pemerintah pusat dan daerah harus memperluas layanan pengobatan TB RO, desentralisasi layanan TB RO, peningkatan sumber daya manusia, dukungan sosial ekonomi, dan meminta dukung multisektor.

Peraturan Standar Pelayanan Minimal (SPM) No. 2 Tahun 2018 memberikan panduan yang jelas tentang pelayanan Kesehatan orang terduga tuberkulosis:

  1. Penguatan kepemimpinan pada manajemen level kabupaten dan daerah
  2. Peningkatan akses kualitas layanan TB
  3. Mengendalikan faktor risiko seperti menginvestigasi kontak erat dan memberi obat pencegahan TB.
  4. Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi universitas, pemerintah, dan kelompok masyarakat lainnya yang peduli TB termasuk yang sudah sembuh dari TB dan TB resisten.
  5. Mengajak masyarakat seperti organisasi keagamaan dan sosial dalam pengendalian TB
  6. Penguatan sistem Kesehatan.

Secara teknis, kini ada 400 alat tes cepat molekuler (TCM) untuk deteksi TB yang tersebar di berbagai provinsi. Peserta BPJS Kesehatan tidak dipungut biaya jika memeriksa kasus TB.

Saatnya alat ini dioptimalkan untuk mendeteksi kasus-kasus TB, baik kasus baru maupun kasus resisten. Agar kasus-kasus TB RO segera ditemukan dan tidak menulari lebih banyak orang.The Conversation

Noor Alis Setiyadi, Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Surakarta

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: