Muhamad Rifki Fadilah, The Indonesian Institute

Pada awal bulan lalu, Kementerian Keuangan memberi diskon Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) mobil baru untuk mendorong kegiatan ekonomi dan menggairahkan kembali sektor manufaktur otomotif.

Mobil penumpang yang memiliki mesin 1.500 cc dan menggunakan bahan baku lokal sebesar 70% berhak mendapatkan potongan pajak ini, dengan potongan pajak PPnBM sebanyak 100% sampai bulan Mei. Sementara periode selanjutnya Juni-Agustus dengan diskon 50%, dan periode terakhir mulai September-Desember dengan diskon 25%.

Pemerintah juga telah berencana untuk memperluas insentif ini ke mobil dengan mesin sampai 2.500 cc pada bulan April.

Alasan pemerintah memberikan diskon PPnBM mobil baru terutama untuk membangkitkan kembali industri otomotif yang terpukul akibat pandemi COVID-19. Selama pandemi, penjualan mobil turun 48,8% ke 578,327 unit dibandingkan 1,04 juta unit pada tahun sebelumnya.

Meskipun sektor ini dinilai penting bagi perekonomian Indonesia karena menyumbang 1,76% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau setara dengan Rp 260,9 triliun dan mampu menyerap sebanyak 1,3 Juta tenaga kerja, kebijakan ini berpotensi mengurangi penerimaan negara, merusak lingkungan, dan hanya menguntungkan segelintir golongan.

Rugikan triliunan rupiah dan rusak lingkungan

Pemberian diskon PPnBM mobil baru berpotensi mengurangi penerimaan pemerintah hingga Rp 2,3 triliun.

Pada tahun 2019, PPnBM dari mobil menyumbang Rp 10 triliun untuk penerimaan pemerintah.

Tentu saja angka ini bukanlah angka yang sedikit terlebih di tengah situasi krisis yang membutuhkan penerimaan bagi anggaran negara yang lebih banyak guna membiayai ongkos pandemi COVID-19 yang belum berakhir ini.

Tidak sampai di situ, dampak kebijakan ini juga akan membawa konsekuensi yang tidak baik khususnya terhadap lingkungan.

Penurunan harga berpotensi akan meningkatkan permintaan terhadap mobil dan ini akan mengakibatkan meningkatnya kemacetan dan kadar polusi udara.

Dengan logika berpikir bahwa ketika harga diturunkan, maka akan meningkatkan permintaan terhadap mobil. Hal ini akan berdampak terhadap kenaikan jumlah kendaraan di Indonesia yang berpotensi membawa dampak negatif bagi lingkungan, seperti kemacetan dan polusi udara.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah kendaraan bermotor jenis mobil penumpang mencapai 15,5 juta unit di seluruh Indonesia pada tahun 2019. Dengan penjualan mobil baru yang bisa mencapai 1 juta unit per tahunnya seperti pada tahun 2019, jumlah mobil di pasaran diproyeksikan akan mengalami kenaikan yang cukup signifikan di masa mendatang.

Kebijakan yang untungkan kelas menengah atas

Bentuk insentif ini hanya menyasar pada konsumen kelas menengah ke atas, yaitu mereka yang mampu membeli mobil dengan mesin 1.500 cc dan 2.500 cc, atau yang memiliki harga diatas Rp 200 juta.

Tahun lalu jumlah kelas menengah di Indonesia mencapai 21% dari total populasi atau sebanyak 57,3 juta orang dan pemerintah menyasar kelompok menengah ini karena mereka menyumbang sebanyak 43,3% terhadap konsumsi masyarakat. Konsumsi rumah tangga sendiri menopang hampir 60% dari ekonomi Indonesia yang mencapai Rp 15.833,9 triliun pada tahun lalu.

Dan cara ini terbukti berhasil.

Penjualan mobil merek asal Jepang, Toyota, yang menguasai 31,9% pasar mobil di Indonesia mengalami peningkatan penjualan sebanyak 115% dalam satu minggu aturan ini berlaku, dibandingkan bulan sebelumnya.

Meskipun demikian perlu diingat bahwa krisis ekonomi yang disebabkan oleh pandemi COVID-19 memukul semua kelompok pendapatan. Pekerja tetap terkena dampak yang relatif paling kecil, tetapi pekerja informal dan wiraswasta mengalami penurunan pendapatan yang lebih tajam, masing-masing turun menjadi 60% dan 80% dari kondisi normal.

Pemerintah harus berpikir ulang

Dengan kumpulan masalah di atas, maka pemerintah harus masak-masak mencegah dampak negatif kebijakan ini.

Selain itu, pemerintah juga harus cermat untuk membaca pola perilaku masyarakat/konsumen di tengah pandemi, khususnya saat ini masyarakat/konsumen menjadi aktor utama yang mendorong perekonomian melalui jalur konsumsinya.

Kelompok masyarakat kelas menengah atas juga sebenarnya sedang mengalami perubahan pola konsumsi di tengah pandemi COVID-19, karena justru sekarang menjadi lebih rajin menabung ketimbang berbelanja.

Hal ini tercermin dari jumlah simpanan masyarakat di sektor perbankan terus menanjak. Bank Indonesia mencatat Dana pihak ketiga (DPK) atau dana masyarakat yang terkumpul di bank sebanyak Rp 6.355,7 triliun pada Januari 2021, tumbuh 11,1% dibandingkan periode serupa tahun 2020.

Survei dari lembaga konsultasi asal Amerika Serikat, McKinsey pada tahun lalu juga menunjukkan bahwa 67% responden di Indonesia kini lebih berhati-hati dalam mengeluarkan uang. Lalu, 59% mencari langkah untuk lebih menyimpan uang ketika berbelanja. Kemudian, 56% beralih membeli produk yang lebih murah demi menyimpan uang.

Jangan sampai pemerintah salah langkah memberikan insentif fiskal alih-alih mendorong perekonomian justru hanya memberikan efek yang tidak signifikan bagi perekonomian dan malah membawa dampak sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat Indonesia berupa masalah ketimpangan.The Conversation

Muhamad Rifki Fadilah, Peneliti Bidang Ekonomi, The Indonesian Institute

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: