Teguh Haryo Sasongko, Perdana University

Menteri Kesehatan menerbitkan peraturan baru yang menetapkan bahwa program vaksin gotong royong yang melibatkan perusahaan swasta dan BUMN tidak boleh mengunakan empat merek vaksin (Sinovac, Pfizer, AstraZeneca dan Novavax) yang dipakai pemerintah untuk program imunisasi gratis.

Walau demikian, pelibatan pihak swasta dalam program imunisasi COVID19 telah menjadi kebijakan kontroversial di tengah masyarakat, ada yang pro maupun kontra.

Sebenarnya, perdebatan mengenai perlu tidaknya pelibatan pihak swasta tidak akan mengemuka jika program vaksinasi yang dimulai Januari lalu berjalan dengan kecepatan optimal untuk mencapai herd immunity (kekebalan di masyarakat) dalam jangka waktu yang ditargetkan.

Sebagai peneliti kesehatan, saya mendukung pelibatan pihak swasta, dengan memperhatikan lambatnya laju vaksinasi saat ini di Indonesia.

Argumen penentang vaksin swasta

Setidaknya ada dua varian vaksin swasta yakni (1) perusahaan swasta atau BUMN mengadakan vaksin secara mandiri dan memberikannya secara gratis kepada karyawannya. Lainnya, (2) pihak swasta membeli vaksin secara mandiri dan kemudian menjualnya kepada masyarakat umum.

Saat ini di Indonesia tengah terjadi perdebatan varian yang pertama, yang diistilahkan sebagai vaksin gotong royong. Di beberapa negara lain seperti Malaysia, Inggris dan Venezuela sedang diperdebatkan varian kedua yang lebih liberal.

Strategi yang mirip varian kedua sebenarnya pernah dipertimbangkan oleh pemerintah Indonesia tapi kemudian dibatalkan Presiden Joko Widodo.

Yang menjadi kegusaran utama para penentang vaksin mandiri adalah isu keadilan atau kesetaraan.

Mereka khawatir bahwa distribusi vaksin di masyarakat akan terjadi berdasarkan siapa yang mampu membayar, bukan berdasarkan skala prioritas.

Sementara itu saat ini ada persoalan pengadaan vaksin karena ada jurang sangat lebar antara jumlah permintaan dan kemampuan produksi vaksin. Kedua hal ini berpotensi membuat luputnya target vaksinasi di kalangan kelompok rentan (mereka dengan risiko paparan tinggi tapi tidak memiliki akses ekonomi untuk membeli vaksin).

Penentang vaksin swasta juga berargumentasi bahwa pengadaan vaksinasi oleh pihak swasta berpotensi mengkhianati konsep vaksin sebagai “public good”, yang sepatutnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk secara gratis memberikannya pada masyarakat.

Alasan berikutnya dari penentang vaksin swasta adalah ketimpangan akses vaksin berkualitas. Mereka berargumen bahwa orang-orang yang mampu membayar akan memiliki akses terhadap vaksin dengan tingkat kemanjuran lebih tinggi.

Dalam konteks herd immunity, sebenarnya perbedaan kemanjuran ini tidak lagi bermakna. Artinya, ketika sudah terjadi herd immunity, populasi secara umum akan terlindungi dari infeksi.

Mereka yang tidak divaksin akan terlindungi karena masyarakat sekeliling mereka divaksin. Mereka yang kebetulan menerima vaksin dengan kemanjuran lebih rendah akan terlindungi oleh masyarakat sekeliling mereka yang menerima vaksin dengan kemanjuran lebih tinggi.

Ketika program vaksin swasta dan gratis dijalankan secara paralel, maka mereka yang mengantre vaksin gratis, mereka yang membayar untuk vaksinasi, serta para karyawan yang divaksin gratis oleh perusahaannya masing-masing akan sama-sama terlindungi dari terbentuknya herd immunity.

Ini artinya, kelompok rentan yang dikhawatirkan oleh penentang vaksin swasta juga akan terlindungi dari pembentukan herd immunity melalui vaksinasi oleh mereka yang membayar.

Masalahnya, vaksinasi lambat

Beberapa hari belakangan, kecepatan vaksinasi di Indonesia naik turun dan belum pernah mencapai target yang diharapkan.

Misalnya pada 10 Maret mencapai 230 ribu dosis pertama dan 65 ribu dosis kedua per hari, tapi sehari berikutnya anjlok jadi 120 ribu dosis pertama dan 32 ribu dosis kedua. Data terbaru, per 23 Maret, vaksin tahap 1 mencapai 164 ribu sementara tahap kedua 181 ribu.

Dengan target masing-masing dua dosis vaksinasi untuk 181,5 juta penduduk dalam 15 bulan, maka dalam jangka waktu tersebut sejak dimulai 14 Januari 2021, pemerintah perlu menyelesaikan 363 juta suntikan vaksin.

Dengan target ini maka setiap hari seharusnya pemerintah mampu menyelesaikan 1,1 juta suntikan (22 hari kerja per bulan). Ini artinya pada pertengahan Maret 2021, seharusnya pemerintah telah menyelesaikan dua dosis vaksinasi lengkap untuk 24 juta orang, tapi kenyataannya per 16 Maret baru 1,7 juta orang yang divaksinasi lengkap.

Situasi serupa terjadi di India, Rusia dan Malaysia.

Implikasi lambatnya program vaksinasi

Saat ini tidak diketahui berapa lama antibodi yang terbentuk dari vaksinasi COVID-19 dapat memberi perlindungan terhadap penyakit.

Yang telah diketahui adalah pembentukan antibodi dari proses infeksi alami COVID19 dapat memberi perlindungan selama 4–8 bulan.

Jika hal yang sama berlaku untuk pembentukan antibodi dari proses vaksinasi, dapat dibayangkan bahwa program vaksinasi yang terlalu lambat hanya akan tertumpu pada pemberian dosis ulangan untuk mereka yang telah divaksinasi, tanpa mampu mencapai target cakupan 70% populasi.

Selain itu, para peneliti sepakat bahwa tingkat penularan virus yang berlangsung cepat berkontribusi terhadap risiko pembentukan varian-varian baru dari SARS-CoV-2.

Beberapa varian baru ini membuat virus menyebar lebih cepat dan mengakibatkan penyakit lebih parah serta menurunkan tingkat kemanjuran vaksin.

Ini artinya, jika program vaksinasi berjalan dengan lambat, herd immunity akan lambat juga tercapainya.

Dampaknya, penyebaran virus akan terus terjadi, dan pada gilirannya berisiko memunculkan varian-varian baru dengan kemungkinan menurunkan kemanjuran vaksin yang disuntikkan.

Menjawab keraguan penentang vaksin swasta

Pemerintah tampaknya kewalahan untuk mencapai target kecepatan vaksinasi. Persoalan ini berpotensi membuat program vaksinasi gagal.

Pada saat yang sama kita ketahui terdapat potensi kemampuan sangat besar dari ribuan perusahaan swasta untuk turut serta menjalankan program vaksinasi.

Potensi cakupan 75 juta hingga 120 juta orang dari program vaksinasi swasta dapat diharapkan berjalan paralel dengan vaksinasi gratis, sehingga mampu mempercepat keseluruhan program vaksinasi.

Mengapa perusahaan-perusahaan itu tidak mendonasikan saja kemampuannya (finansial dan logistiknya) kepada program vaksinasi pemerintah dan kemudian membiarkan pemerintah memberikan vaksinnya kepada masyarakat umum (bukan pada karyawan perusahaan tersebut)?

Pilihan ini tidak logis dalam konteks entitas bisnis, apalagi dalam situasi kemerosotan ekonomi akibat pandemi. Perusahaan-perusahaan tersebut menganggap uang yang digelontorkan untuk vaksinasi karyawannya sebagai investasi bagi pulihnya aktivitas bisnis mereka.

Pemikiran ini dapat diterima selama tidak ada keuntungan finansial berlebihan yang didapatkan dari pengadaan vaksin secara mandiri.

Bagaimana menjalankan program vaksinasi swasta?

Setelah terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan No. 10 tahun 2021 apa yang perlu dilakukan sehingga potensi vaksinasi swasta dapat dimaksimalkan untuk mempercepat target cakupan?

Pertama, pemerintah perlu mempertimbangkan perluasan skema vaksinasi gotong royong kepada varian kedua yang lebih liberal. Maksudnya, pihak swasta terlibat dalam pengadaan dan menjualnya langsung kepada masyarakat.

Sekarang setidaknya India dan Pakistan telah mengadopsi langkah ini.

Kedua, dengan usulan pertama di atas, maka program vaksinasi nasional digerakkan secara paralel oleh 3 kekuatan: (1) pemerintah, (2) perusahaan swasta dan BUMN yang memberi vaksin gratis kepada pekerjanya, dan (3) pihak swasta yang melakukan pengadaan vaksin dan menjual kepada masyarakat.

Ketiganya harus memiliki target vaksinasinya masing-masing, tidak tumpang tindih. Kekuatan kedua dan ketiga diarahkan membantu target cakupan pemerintah.

Dengan cara ini, pada saat pemerintah terfokus menyelesaikan target prioritas yang telah ditetapkan, terdapat dua kekuatan lain yang membantu kecepatan program vaksinasi.

Ketiga, pemisahan antara program vaksinasi gratis dan swasta yang telah diatur dalam Peraturan Menteri terbaru perlu dijalankan secara konsisten sehingga betul-betul bersifat meringankan beban pemerintah dalam penyelenggaraan program vaksinasi (APBN, logistik, dll).

Keempat, pihak swasta yang terlibat (kekuatan kedua dan ketiga) perlu memberikan insentif sosial. Hal ini karena penyelenggaraan vaksin mandiri memiliki implikasi insentif ekonomi bagi pihak swasta tersebut.

Misalnya, untuk setiap rupiah yang dibelanjakan program vaksin swasta, 1%-nya didonasikan untuk vaksin gratis. Sehingga untuk setiap 100 orang vaksin mandiri, mereka mendonasikan untuk 1 orang vaksin gratis yang bukan karyawannya.

Jika diasumsikan dengan target cakupan 75 juta, program vaksin gotong royong dapat menghibahkan vaksin gratis kepada 750 ribu orang.

Kelima, program vaksin swasta (terutama varian kedua) masih berpotensi menjadi “pasar bebas”, sehingga vaksin bisa saja dijual dengan harga selangit.

Untuk mencegah itu terjadi, pemerintah dapat menetapkan harga eceran tertinggi seperti biasanya ditetapkan untuk produk-produk farmasi lainnya.

Aturan ini perlu ditegakkan secara serius dengan juga memperhatikan kemungkinan munculnya pasar-pasar gelap pengadaan vaksin.

Jika lima hal itu dilakukan, saya yakin vaksinasi nasional bisa lebih cepat mencapai target, dengan demikian kekebalan komunitas juga bisa segera terwujud dan pandemi segera terkendali.The Conversation

Teguh Haryo Sasongko, Associate Professor, Perdana University RCSI School of Medicine; Peneliti dan anggota The Cochrane Collaboration, organisasi ilmiah berbasis bukti medis dan kesehatan; Deputy Director, Perdana University Center for Research Excellence, Perdana University

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: