Kartika Paramita, Universitas Prasetiya Mulya

Pada bulan Desember 2020, rektor terpilih Universitas Sumatra Utara (USU), Muryanto Amin diduga melakukan self-plagiarism (penjiplakan karya sendiri) untuk mendapatkan gelar Guru Besar.

Tuduhan itu dilayangkan kepada Muryanto karena dirinya diduga mengirim hasil disertasi S3 miliknya ke empat jurnal berbeda dengan tingkat kemiripan 72-91%.

Meski pada akhirnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memutuskan Muryanto tidak melakukan plagiarisme karena dianggap hanya menerbitkan ulang karya miliknya, namun kasus ini menjadi perdebatan di masyarakat.

Salah satu penyebabnya adalah ketidakjelasan aturan self-plagiarism di Indonesia.

Dalam tulisan ini, saya sebagai seorang akademisi yang juga menjabat sebagai editor di beberapa jurnal ilmiah ingin menjelaskan apa sebenarnya self-plagiarism serta apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam reproduksi ulang suatu karya ilmiah pribadi.


Baca juga: Jalan evolusi bibliometrik Indonesia


Definisi dari self-plagiarism

Self-plagiarism adalah reproduksi ide, data, atau hasil penemuan lainnya dalam karya ilmiah pribadi yang telah diterbtitkan tanpa memberi pengakuan pada publikasi sebelumnya. Tindakan ini banyak dilakukan di berbagai negara untuk meningkatkan angka publikasi, sitasi, hingga memudahkan kenaikan jabatan akademis.

Menurut Ben Martin, peneliti kebijakan sains di University of Sussex, Inggris, praktik self-plagiarism dalam publikasi riset biasanya bisa berbentuk dua jenis pelanggaran yang saling terkait, yakni apa yang disebut dengan salami publishing dan redundant publication.

Salami publishing adalah upaya dari seorang penulis untuk secara sengaja membagi karya ilmiahnya ke dalam beberapa karya terpisah supaya menghasilkan jumlah publikasi yang lebih banyak. Istilah ini merujuk pada salami, sejenis sosis yang harus dipotong untuk penyajiannya sehingga menjadi lembar yang lebih tipis.

Dalam banyak kejadian, karya-karya hasil praktik di atas bahkan sekadar merupakan jiplakan (‘copy paste’) konten ilmiah dari dokumen yang satu ke dokumen yang lain, sehingga menjadi terpisah-pisah namun tanpa banyak perbedaan. Ini mungkin yang terjadi pada kasus Muryanto Amin.

Hasil karya yang dibagi-bagi akibat salami publishing akhirnya menghasilkan potongan karya yang tidak memberikan kontribusi bermanfaat - yang disebut Martin sebagai redundant publication (publikasi yang mubazir).

Beberapa akademisi seperti Serge Horbach dan Willem Halffman, peneliti studi sains dan teknologi di Radboud University, Belanda berpendapat ada beberapa penyebab munculnya praktik ini.

Di antaranya adalah adanya tekanan budaya akademik untuk gencar mempublikasikan karya ilmiah, kemudahan mengakses sumber informasi dari internet, tidak adanya aturan yang jelas dari institusi maupun perundang-undangan formal terkait plagiarisme, hingga kurangnya pengawasan dari penilaian rekan sejawat dan evaluasi tim editor jurnal.

Namun, secara global, hingga saat ini praktik self-plagiarism sebenarnya masih banyak memancing perdebatan mengenai sejauh apa sebuah kutipan bisa dinyatakan sebagai tindakan penjiplakan.

Misalnya, beberapa akademisi beranggapan susah menuduh seseorang melakukan pencurian dari sesuatu yang sejak awal menjadi miliknya. Beberapa lainnya menyatakan praktik ini merupakan hal yang sulit dihindari di dunia penelitian.

Jadi, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan?

Selain masih adanya perdebatan, di Indonesia sendiri batasan daur ulang tulisan belum diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi yang selama ini dijadikan acuan etika dalam menghasilkan karya ilmiah.

Namun, kasus yang pernah menerpa Peter Nijkamp, profesor ekonomi di Vrije Universiteit Amsterdam, Belanda pada tahun 2013 lalu bisa menjadi pelajaran.

Nijkamp sendiri dikenal sebagai salah satu ekonom paling produktif di dunia dengan menghasilkan lebih dari 2.300 artikel penelitian sejak tahun 1975.

Peter Nijkamp, profesor ekonomi di Vrije Universiteit Amsterdam, Belanda. (Flickr/Smart Cities), CC BY

Kasus bermula dari adanya laporan plagiarisme dalam disertasi milik mahasiswa doktoral bimbingan Nijkamp, yakni Karima Kourtit. Keduanya kemudian diduga telah melakukan penjiplakan ulang setidaknya dalam enam belas publikasi yang diambil dari karya-karya Nijkamp sebelumnya.

Penemuan tersebut menjadi awal proses penyelidikan panjang oleh pihak universitas terhadap publikasi Nijkamp selama ini. Ia dianggap melakukan self-plagiarism setelah 60 artikel dari 261 sampel tulisan miliknya terbukti tumpang tindih dengan karya tulisnya yang terdahulu.

Pada akhirnya Nijkamp tidak dihukum. Namun, kasus ini mengundang banyak perhatian karena menimbulkan diskusi mengenai batasan dari self-plagiarism.

Sebagai respons, pemerintah Belanda kemudian memasukkan ketentuan mengenai daur ulang tulisan ke dalam Kode Etik Praktik Akademik, yang kemudian diikuti oleh Committee on Publication Ethics (COPE), organisasi nirlaba penyusun panduan etika untuk para pengurus jurnal di seluruh dunia.

Keduanya sepakat bahwa batasan penggunaan ulang sebuah tulisan oleh penulis yang sama hanya diizinkan selama dituliskan ulang secara singkat - seperti hanya terdiri dari beberapa kalimat atau satu paragraf di bagian pendahuluan, landasan teori, dan metodologi.

Sementara penulisan ulang bagian pembahasan dan kesimpulan secara umum tidak diizinkan. Penulis juga diwajibkan untuk selalu jujur dan terbuka terkait hal-hal yang digunakan kembali.

Hal-hal tersebut dilakukan supaya kontribusi akademik yang sudah disumbangkan di penelitian sebelumnya tidak berulang.

Refleksi bagi akademisi

Menindaklanjuti kasus Muryanto, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saat ini berencana memperbarui peraturan yang berlaku agar dapat mencakup isu self-plagiarism.

Hal tersebut adalah langkah awal yang baik untuk memperjelas batasan self-plagiarism, namun ada beberapa hal lain yang bisa menjadi catatan perbaikan.

Pemerintah harus melakukan perubahan budaya akademik sehingga lebih berorientasi pada kualitas. Beberapa akademisi, misalnya, sudah banyak membahas bagaimana pendidikan tinggi di Indonesia terlalu fokus pada banyak-banyakan publikasi dan sitasi jurnal terindeks Scopus, ketimbang memastikan kualitas atau manfaatnya.


Baca juga: Efek kobra, dosen Indonesia terobsesi pada indeks Scopus dan praktik tercela menuju universitas kelas dunia


Ini mendorong akademisi untuk mencari “jalan pintas” dengan meningkatkan jumlah publikasi maupun sitasi dengan cara apapun- salah satunya dengan praktik self-plagiarism.

Kampus dan institusi akademik harus meningkatkan proses pengawasan seperti memperbaiki sistem penilaian rekan sejawat dan pengawasan dan evaluasi hasil penelitian.

Penting bagi pemerintah, institusi pendidikan, akademisi, maupun mahasiswa untuk selalu mengingat bahwa esensi sebuah karya ilmiah adalah untuk memberikan kontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan.

Hanya memandang karya penelitian tidak lebih dari sekadar angka kredit atau alat pembangun reputasi, pada hakikatnya mengecilkan peranan dan dampak perubahan yang ingin dicapai oleh sebuah karya ilmiah.The Conversation

Kartika Paramita, Lecturer of Law Studies, Universitas Prasetiya Mulya

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: