Nuurrianti Jalli, Northern State University

Di Asia Tenggara, TikTok berpotensi jadi platform untuk menyuarakan hal-hal seputar politik.

Di Indonesia, kaum muda pengguna TikTok secara strategis memakai media sosial ini untuk menyatakan sikap protes terhadap undang-undang yang kontroversial UU Cipta Kerja

Sebuah video konten yang menunjukkan protes warga di Semarang, Jawa Tengah, viral di TikTok dengan mengantongi jumlah like sebanyak 1,2 juta dan telah dilihat 8,6 juta kali. Video tersebut juga sudah mendapat 11.000 komentar dukungan pada aksi tersebut, termasuk dari pengguna TikTok Malaysia.

Konten serupa juga ada di Thailand dan Myanmar. TikTok membantu para pengunjuk rasa dengan memperkuat aspirasi mereka yang menuntut demokrasi dan mengakhiri kepemimpinan diktator militer.

Studi kasus terbaru saya di Indonesia, Thailand, dan Myanmar menyimpulkan bahwa TikTok memiliki peran dalam memfasilitasi penyebaran konten isu politik serta menyebarkannya ke para pengguna TikTok global terhadap apa yang sedang terjadi di Asia Tenggara.

Algoritme yang unik

Penelitian ini saya lakukan sejak 15 Januari hingga 15 Februari dengan mengambil data pada TikTok dengan menggunakan teknik bola salju.

Melalui teknik ini, saya menggunakan kata kunci langsung seperti ‘omnibuslaw’ (undang-undang omnibus) ,‘thaiprotest’ (protes di Thailand), dan ‘myanmarprotest’ (protes di Myanmar), untuk menemukan berbagai video terkait. Selain itu, secara mandiri saya juga mengumpulkan tagar populer pada video yang paling banyak dilihat untuk mengindetifikasi tagar lainnya yang digunakan.

Kenapa teknik ini digunakan? Karena sejauh ini belum ada alat yang bisa secara spesifik mengumpulkan data di TikTok, tidak seperti media sosial lainnya yakni Facebook, Twitter, Youtube, atau Reddit.

Nuurrianti Jalli (2021)

Dari riset ini, saya menemukan keunikan tersendiri pada algoritme TikTok, yang bisa memungkinkan naiknya jumlah view melalui promosi organik. Teknik ini, membuat TikTok mampu menjadi alat aktivitas politik yang strategis.

Algoritme yang ada juga dapat membuat audiens di luar Asia Tenggara untuk ikut aktif di konten tersebut melalui berbagai interaksi dan likes melalui ‘for you page’ di TikTok atau akrab disebut ‘fyp’.

Dengan algoritme ini, konten politis yang disebar oleh pengguna TikTok dapat membuka diskusi komentar bukan hanya untuk pengguna lokal, tapi bisa sampai ke negara di Eropa dan Amerika.

Saya telah melihat komentar seperti “Ada apa sih di Thailand?” atau “Ada apa di Indonesia?” ketika video protes tersebar di TikTok dan muncul di fyp saya.

Karena fyp pengguna TikTok mengikuti ‘pola’ unik terkait tren apa yang dilihat dan disukai di TikTok, pola ini memungkinkan konten politis di Asia Tenggara bisa semakin dilihat lebih banyak oleh pengguna TikTok di mana pun mereka berada selama pengguna telah melihat atau menyukai konten serupa sebelumnya.

Sebuah contoh bagaimana video demo di Thailand disebar para pengunjuk rasa dan diangkat oleh seorang content creator di Amerika Latin. Sumber dari @dreamsbls via TikTok. @dreamsbls

Berdasarkan pengamatan saya, media sosial lain seperti Facebook, Twitter, dan Youtube juga merekam fenomena yang sama, tapi tidak ada yang memberikan jangkauan seluas TikTok.

Saya percaya algoritme unik TikTok yang mendukung konten berdasarkan interaksi, ketertarikan, dan eksplorasi pengguna di aplikasi, membuatnya bisa lebih viral dibanding dengan media sosial yang lain.

Populer di antara yang muda dan tua

Mendekati usia lima tahun sejak muncul pertama kali pada September 2016, TikTok sudah menjadi aplikasi media sosial yang tumbuh pesat. Saat ini, penggunanya sudah mencapai 800 juta di seluruh dunia per Januari 2020.

Peningkatan jumlah pengguna baru TikTok membuat media sosial ini semakin populer di Asia Tenggara.

Dengan total populasi sekitar 658 juta orang, aplikasi ini telah diunduh sebanyak 360 juta kali di Asia Tenggara pada Agustus 2020. TikTok sendiri menjadi sangat populer di antara Gen Z dan Milenial.

Saat ini, orang tua juga sudah mulai bergabung, termasuk politikus dan berbagai lembaga kementerian di Asia Tenggara.

Sebut saja, mantan Perdana Menteri Malaysia Maharthir Mohammad yang membuat akun TikTok untuk berkomunikasi kaum muda.

Di Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika membuat akun TikTok pada Maret 2019 dengan tujuan yang sama.

Ketika TikTok menjadi semakin populer, para peneliti menjadi tertarik pada aplikasi itu untuk melihat bagaimana fenomena ini bisa berdampak pada peristiwa politik Asia Tenggara.

Seorang TikToker @whoops.its.lilly, tinggal di Inggris dan menggunakan platform ini untuk mengedukasi masyarakat terhadap kejadian di Myanmar menggunakan tagar #savemymyanmar.

TikTok sebagai wadah aktivitas politik

Dengan popularitas TikTok yang luar biasa di Asia Tenggara, platform tersebut menjadi wadah terkini bagi anak muda untuk menyuarakan aspirasi politik mereka.

TikTok juga sangat berpeluang jadi ruang diskusi dan wadah bagi aktivitas politik oleh negara lain di dunia. Hal ini ditunjukkan melalui kasus heboh antara pendukung Kpop dengan mantan Presiden Amerika Donald Trump pada 2020.

Kasus tersebut menunjukkan, bila digunakan secara tepat, Tiktok punya kemampuan sebagai ‘batu loncatan’ bagi aktivitas politik berskala kecil, yang berada di negara dengan kebebasan berekspresi yang dibatasi.

Kita juga bisa melihat peningkatan penyebaran konten TikTok di media sosial lain seperti Facebook dan Twitter. Pers pun juga melirik konten TikTok sebagai materi berita.

Terlepas adanya keraguan terhadap aplikasi yang berasal dari Cina ini pada awal 2017, saat ini TikTok sudah membuktikan kekuatannya sebagai media sosial yang bukan sekadar platform yang menyebarkan video joget saja, tapi juga sebagai wadah ekspresi politik bagi pengguna global. Meski ironinya, hal ini tidak berlaku masyarakat Cina, negara tempat TikTok berasal.

Wiliam Reynold menerjemahkan dari bahasa Inggris.The Conversation

Nuurrianti Jalli, Assistant Professor of Communication Studies College of Arts and Sciences Department of Languages, Literature, and Communication Studies, Northern State University

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: