Yessar Rosendar, The Conversation

Setelah kemarin terjadi kelangkaan kedelai menyulitkan produsen tempe dan tahu, Sekarang permasalahan serupa terjadi kepada daging sapi.

Daging sapi mengalami kenaikan harga melebihi Rp 120.000 per kilogram yang menjadi harga jual pedagang ke pembeli, ini akhirnya membuat pedagang daging juga melakukan mogok dagang.

Tren tingginya harga sapi ini masih berlanjut dan berpotensi kembali naik sampai Rp 180 ribu per kilogram pada saat permintaan tinggi menjelang Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri pada bulan Mei nanti. Untuk meredam potensi itu pemerintah pun membuka keran impor sapi tahun ini sebanyak 502.000 ekor.

Kami bertanya kepada dua peneliti dan menemukan bahwa penyebab mahalnya harga daging adalah kebergantungan Indonesia terhadap pasokan impor sapi potong dari Australia dan panjangnya proses distribusi daging sapi di Indonesia.

Lukas/Pexel, CC BY

Dua penyebab harga daging mahal

Menurut Rusli Abdulah, peneliti dari Institute for Development Economics and Finance (Indef) masih tergantungnya beberapa komoditas pertanian atau pangan domestik terhadap pasar luar negeri akibat produksi dalam negeri yang tidak bisa mencukupi kebutuhan.

Untuk tahun ini saja diberitakan stok daging sapi hanya mencapai 473.814 ton, namun kebutuhan daging sapi diperkirakan meningkat menjadi 696.956 ton.

“Sudah menjadi hal yang umum, semakin erat atau besar kebutuhan pangan dipenuhi dari luar negeri, maka makin rentan,” ujar Rusli.

Penyebab utamanya adalah kenaikan harga daging sapi yang diambil dari sapi bakalan.

Sapi bakalan adalah sapi berusia 1-2 tahun yang mempunyai sifat unggul untuk dipelihara dan digemukkan selama kurun waktu tertentu guna tujuan produksi daging.

Menurut Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo), kenaikan harga sapi bakalan berpengaruh besar bagi biaya produksi pengusaha peternak sapi potong.

Pasalnya harga sapi bakalan merupakan komponen terbesar dalam biaya produksi selain pakan dan kurs dollar.

Celakanya, peternak Australia sedang melakukan pengurangan ekspor untuk menambah populasi sapi.

Sementara permintaan dari negara lain seperti Vietnam, Cina, dan bahkan dari dalam negeri Australia sendiri meningkat.

Sapi bakalan di Indonesia sendiri mayoritas di datangkan dari Australia dan harganya sudah naik sejak pertengahan 2020.

Pada Juni 2020, harga per kg hidup sapi bakalan kisaran US$2,8 dollar atau Rp 39,000 per kg berat hidup. Pada Januari 2021, menjadi US$3,78 atau Rp 52,000 per kg berat hidup.

Kepala riset Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta, menambahkan rantai distribusi di Indonesia yang panjang membuat harga daging menjadi lebih mahal.

Indonesia memilih mengimpor sapi bakalan yang harus digemukkan lagi dan dipotong di Indonesia.

Setelah itu, daging sapi yang dihasilkan dapat dijual langsung ke pedagang grosir berskala besar di pasar atau melalui tengkulak yang membantu Rumah Potong Hewan (RPH) untuk mendapatkan pembeli.

Tahapan selanjutnya adalah menjual daging sapi ke pedagang grosir berskala kecil. Merekalah yang menjual daging sapi ke pedagang eceran di pasar tradisional atau supermarket, sebelum akhirnya sampai di tangan konsumen.

“Proses panjang ini tentu menimbulkan biaya tambahan yang tidak sedikit,” ujar Felippa.

Pemerintah harus pastikan pasokan setahun kedepan

Bagi komoditas-komoditas yang tidak bisa diproduksi di dalam negeri untuk jangka waktu menengah, maka pemerintah harus memastikan keamanan pasokan komoditas tersebut setidaknya untuk 1 tahun ke depan.

Hal tersebut bisa dilakukan melalui diplomasi perdagangan ke Australia, salah satunya dengan memaksimalkan Perjanjian Ekonomi Komprehensif Indonesia - Australia (IA-CEPA).

Pemerintah juga bisa memberikan dukungan pembiayaan bagi importir (baik importir BUMN/Swasta) untuk mengamankan pasokan dalam satu tahun ke depan.

“Kasus kedelai misalnya, jika importir sudah deal pasokan kedelai ke Indonesia hingga awal 2022, maka pasokan kedelai ke Indonesia harusnya tidak tersendat di tengah kenaikan permintaan dari Cina sebesar 2 kali lipat,” kata Rusli.

Sementara menurut Felippa, ketahanan pangan dapat tercapai jika makanan bukan hanya tersedia, namun juga terjangkau, melalui produksi domestik maupun impor. Felippa yakin bahwa produksi domestik dan impor bisa saling melengkapi.

“Hal itu perlu ditunjukkan dengan keseriusan untuk membenahi produktivitas pangan kita, memodernisasi pertanian, memberikan peningkatan kapasitas kepada para pekerja di sektor pertanian dan membuka diri untuk investasi dari luar” ujar Felippa.

Selain itu Felippa juga menambahkan bahwa sistem impor juga perlu dibenahi.

Selama ini implementasi langkah-langkah perlindungan pasar seperti menerapkan berbagai hambatan untuk impor terbukti tidak efektif dalam mengangkat produksi dalam negeri dan malah menambah biaya ke impor yang diteruskan ke konsumen.The Conversation

Yessar Rosendar, Business + Economy (Indonesian edition), The Conversation

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: