Stanislaus Risadi Apresian, Universitas Katolik Parahyangan

Indonesia, sebagai salah satu negara yang sudah meratifikasi Perjanjian Paris, absen dalam pertemuan virtual tingkat tinggi, Climate Ambition Summit 2020, pada Desember lalu.

Perjanjian Paris adalah perjanjian yang mengikat secara hukum yang telah disepakati oleh negara-negara anggota UNFCCC (Badan PBB untuk Perubahan Iklim) pada tahun 2015.

Pertemuan ini mengumpulkan negara-negara di dunia untuk meningkatkan target penurunan emisi mereka karena adanya kekhawatiran pandemi memperlambat upaya mengatasi dampak krisis iklim yang sedang terjadi.

Awal Januari ini, Indonesia menyatakan tidak akan meningkatkan target emisi, yaitu 29% dan 41% dengan bantuan internasional hingga tahun 2030, dan hanya akan memaparkan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim pada pertemuan iklim berikutnya

Alasan dari pemerintah adalah Indonesia bisa meyakinkan dunia dengan dokumen Kontribusi Iklim Nasional (Nationally Determined Contribution) terbaru, meski tidak menaikkan target penurunan emisi.

Dokumen tersebut sudah menjelaskan bagaimana Indonesia secara ambisius bisa mencapai target yang sudah ditetapkan sebelumnya dengan langkah-langkah yang realistis dan logis.

Sampai tulisan ini diterbitkan, Pemerintah Indonesia belum mengirimkan dokumen tersebut kepada UNFCCC.


Baca juga: Apakah tertundanya pertemuan iklim COP26 mengganggu upaya untuk mengurangi emisi karbon? Ini penjelasannya


Hal ini tentu saja cukup disayangkan karena Indonesia merupakan salah satu negara penghasil emisi terbesar di dunia, terutama dari sektor kehutanan.

Berdasarkan data Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2020, emisi dari sektor tersebut mencapai 723.510 ribu ton C02e (karbon dioksida ekuivalen) pada tahun 2018 dan total luas wilayah hutan dan lahan yang terbakar mencapai 529.266,64 hektare atau hampir setara dengan luas wilayah pulau Bali.

Angka tersebut merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan sektor lain.

Dengan angka yang begitu mengkhawatirkan, tantangan Indonesia akan semakin besar untuk memenuhi target emisi, tapi ahli menyatakan bahwa jika Indonesia tidak menaikkan target emisinya maka Indonesia bisa mengalami beberapa kerugian.

1) Meningkatkan risiko

Dalam pidatonya di pertemuan tingkat tinggi negara-negara anggota UNFCCC ke 21, atau COP21 (Conference of Parties 21), di Paris, Prancis, Presiden Joko “Jokowi” Widodo menyampaikan kerentanan Indonesia terhadap perubahan iklim dengan statusnya sebagai negara dengan banyak pulau kecil dan 60% penduduk tinggal di wilayah pesisir.

Indonesia menjadi salah satu negara paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, mulai dari kekeringan, kenaikan air muka laut, gelombang panas, hingga cuaca ekstrem yang semakin sering dan parah.

Jika Indonesia tidak ikut meningkatkan target pengurangan emisi menjadi lebih ambisius maka Indonesia akan mengalami kerugiannya dalam jangka panjang.

Banjir akibat cuaca ekstrem semakin intens di seluruh daerah di Indonesia. ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra/hp

2) Melukai reputasi internasional

Indonesia sudah memiliki rekam jejak yang baik dalam perundingan iklim.

Salah satunya adalah menjadi tuan rumah untuk penyelenggaraan pertemuan tingkat tinggi PBB untuk Perubahan Iklim ke-13 atau COP13 di Bali pada tahun 2007 dan menghasilkan Bali Action Plan.

Apabila tidak memiliki target iklim yang ambisius, citra dan reputasi Indonesia di dunia internasional yang sudah terbangun sejak COP13 bisa memburuk.

Indonesia akan mendapatkan kritik dan tekanan dari komunitas internasional dalam kerangka Perjanjian Paris.

Keluarnya Amerika Serikat dari Perjanjian Paris adalah contoh nyata bagaimana keputusan tersebut mendapat kecaman dari dunia internasional dan publik domestik.

Aktivis Greenpeace Indonesia memprotes kebijakan Presiden Donald Trump yang menyatakan Amerika Serikat mundur dari Perjanjian Paris. ANTARA FOTO/Widodo S Jusuf/ama/17

Selanjutnya, Indonesia akan kalah bersaing dengan negara berkembang yang berkomitmen memperbaharui target pengurangan emisi menjadi lebih ambisius seperti negara tetangga, Kamboja, Laos, dan Myanmar yang hadir dalam Climate Ambition Summit 2020.

3) Peluang untuk akses dana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim jadi terbatas

Upaya pengurangan emisi nasional membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Kementerian Keuangan mengatakan Indonesia membutuhkan dana sekitar Rp3.586 triliun untuk pendanaan program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim hingga tahun 2030.

Apabila Indonesia tidak ikut meningkatkan ambisi target emisi, maka memiliki peluang sedikit untuk mengakses pendanaan internasional untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Misalnya, melalui Green Climate Fund,Global Environment Facility, Adaptation Fund serta skema bantuan bilateral.


Baca juga: Dana Desa bisa digunakan untuk proyek perubahan iklim. Ini caranya


Green Climate Fund dan Adaptation Fund merupakan lembaga pendanaan internasional yang dibentuk oleh UNFCCC dan memiliki peran khusus mendukung pencapaian Perjanjian Paris.

Green Climate Fund mendanai aksi mitigasi dan adaptasi, sedangkan Adaptation Fund fokus mendanai proyek dan program adaptasi perubahan iklim.

Sementara, Global Environment Facility (GEF) adalah lembaga pendanaan internasional yang dibentuk sejak KTT Bumi tahun 1992 yang juga mendukung isu-isu lainnya, seperti keanekaragaman hayati, pencemaran, hingga degradasi lahan, tidak hanya isu perubahan iklim.

Total dana dari ketiga lembaga tersebut mencapai US$12,2 miliar atau Rp173 triliun.

Untuk Indonesia, dana-dana internasional ini bisa disalurkan ke beberapa lembaga, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Kementerian Keuangan, Badan PBB untuk Program Pembangunan (UNDP), Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), Badan PBB untuk Pangan dan Pertanian (FAO), Kemitraan, dan PT Sarana Multi Infrastruktur.

Belum terlambat

Edvin Aldrian, perwakilan Indonesia di IPCC (Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Panel Ilmuwan Iklim) menyampaikan dalam wawancaranya dengan saya bahwa target iklim yang baru dan ambisius bisa meyakinkan dunia internasional tentang keseriusan Indonesia terhadap isu perubahan iklim dan mengurangi emisi karbon, khususnya dari sektor kehutanan.

Lebih lanjut, hal tersebut juga bisa meningkatkan posisi tawar Indonesia dalam negosiasi internasional, seperti Indonesia-EU Comprehensive Economic Partnership Agreement, sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Uni Eropa, terkait dengan perdagangan jasa, investasi, hingga pembangunan berkelanjutan.

Perjanjian ini menyaratkan agar para pihak memenuhi standar lingkungan sesuai dengan perjanjian internasional, termasuk Perjanjian Paris.

Selain itu, peningkatan target emisi bisa berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.

Di Amerika Serikat, Presiden Joe Biden sudah menyatakan upaya pengurangan emisi melalui energi bersih dan terbarukan dapat menciptakan 10 juta lapangan pekerjaan baru di negara tersebut

Baru-baru ini, Presiden Jokowi menjajaki peluang investasi Tesla di Indonesia di sektor industri mobil listrik dan baterai kendaraan listrik.

Ini bisa menjadi peluang penciptaan lapangan kerja dan investasi di sektor energi dan transportasi yang bisa didapatkan Indonesia sambil meningkatkan ambisi penurunan emisi.

Saat ini, perhatian negara-negara masih tertuju kepada penanganan penyebaran pandemi dan pemberian vaksin.

Meskipun demikian, negara-negara tidak bisa mengesampingkan upaya penanganan dampak perubahan iklim yang merupakan agenda global jangka panjang.

Mencegah pemanasan global adalah tugas yang sangat sulit, namun bukan suatu hal yang mustahil untuk dilakukan.

Apabila seluruh negara, termasuk Indonesia, tidak meningkatkan ambisi penurunan emisi, maka kita tidak bisa mencegah kenaikan suhu Bumi sampai batas 1,5 derajat Celsius.

Masih belum terlambat bagi Indonesia untuk meningkatkan target pengurangan emisi nasional demi menghindari kerugian yang lebih besar lagi, baik dari segi kerusakan lingkungan dan ekonomi.The Conversation

Stanislaus Risadi Apresian, Lecturer in International Relations, Universitas Katolik Parahyangan

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: