Stevanus Pangestu, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Pandemi COVID-19 telah menyebabkan lebih banyak orang khususnya kaum muda terhimpit utang berlebihan (over-indebtedness) karena kesempatan untuk meminjam uang semakin terbuka lewat fasilitas daring.

Percepatan penggunaan layanan digital terjadi di berbagai industri, termasuk di usaha pinjaman online.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sebagai lembaga pengatur dan pengawas industri jasa keuangan, melaporkan hingga November 2020, jumlah penyaluran pinjaman online melalui Peer-to-Peer (P2P) mencapai Rp146,25 triliun, atau 96,19% lebih tinggi dari tahun sebelumnya.

Jika ini dilakukan secara konsumtif dan tidak berhati-hati, maka pinjaman-pinjaman ini akan menimbulkan kondisi keuangan yang tidak sehat.

Bahaya over-indebtedness

Umumnya, berutang itu sebaiknya tidak melebihi 35% dari penghasilan pribadi.

Studi-studi telah mengemukakan dampak negatif over-indebtedness pada skala mikro atau individu sampai makro atau luas.

Pada tingkat individu atau rumah tangga, keadaan ini berdampak buruk terhadap kesehatan fisik maupun mental, produktivitas di tempat kerja, dinamika pernikahan, dan bahkan dapat menyebabkan insiden bunuh diri.

Pada tingkat makro, utang berlebihan dapat menghantam pertumbuhan dan stabilitas ekonomi karena produktivitas yang menurun.

Situasi yang rentan bagi generasi muda

Di tengah pandemi, anak muda lebih rentan mengalami utang berlebihan.

Mereka yang muda mungkin masih bergantung kepada orang tua atau baru mulai merintis karier sehingga penghasilannya masih pada tingkat awal.

Celakanya banyak kaum muda juga memiliki literasi keuangan atau pengetahuan tentang produk keuangan yang rendah.

Berdasarkan riset dari OJK pada tahun 2019, kalangan milenial usia 18-25 tahun hanya memiliki tingkat literasi sebesar 32,1%, sedangkan usia 25-35 tahun memiliki tingkat literasi sebesar 33,5%.

Ini merupakan pekerjaan rumah yang besar, karena banyak kaum muda ini mulai tertarik untuk berinvestasi dan jika tidak dibekali dengan literasi keuangan yang baik maka akan menjerumuskan mereka pada utang berlebihan.

Tak jarang, investor pemula bahkan bisa tergoda sampai meminjam uang untuk membeli saham.

Lebih parah jika mereka memperoleh pinjaman dari perusahaan teknologi finansial ilegal yang mengenakan bunga yang besarnya tidak wajar.

Ketentuan OJK mengatur bunga tertinggi pinjaman online adalah 0,8% per hari atau 24% per bulan, sedangkan yang ilegal bisa mencapai lebih dari 1% per hari dan 30% per bulan.

Salah satu terjadi pada kasus investor pemula yang mengalami kesulitan keuangan karena nekat berinvestasi saham dengan berutang.

Mereka meminjam dari pinjaman daring sampai ke menggadaikan surat kepemilikan kendaraan. Salah satunya bahkan meminjam ke 10 pinjaman online untuk membeli saham senilai Rp170 juta.

Cara ini dilakukan atas dasar ingin cepat memperoleh keuntungan.

Permasalahannya adalah harga saham sangat berfluktuasi di tengah kondisi yang tak pasti. Ketika harga saham turun, maka rugilah yang dialami. Investor ini juga kemudian harus memenuhi kewajiban ditambah bunga atas pinjaman yang dibuat.

Kondisi ini tentu saja dapat menganggu iklim investasi di Indonesia. Saat ini, investor saham di Indonesia saat ini sudah mencapai 4 juta orang dan didominasi oleh mereka yang berusia di bawah 30 tahun.

Terkait investasi, investor paling ternama di dunia asal Amerika Serikat, Warren Buffett pun mengimbau agar jangan pernah berinvestasi saham dengan berutang.

Karena tidak ada pihak yang dapat meramal dengan pasti pergerakan harga saham jangka pendek. Menyaksikan penurunan nilai aset seperti ini dan mengalami kerugian tentu tidak baik bagi kesehatan mental karena menimbulkan kecemasan.

Keputusan investasi yang baik tidaklah berlandaskan emosi. Warren berkata jika kita tidak dapat mengendalikan emosi, kita tidak dapat mengelola uang kita dengan baik.

Mencegah utang berlebihan

Salah satu cara untuk mencegah diri terjerumus ke kondisi over-indebtedness adalah dengan meningkatkan literasi keuangan.

Memiliki literasi keuangan berarti mampu memilih produk keuangan yang sesuai dengan kebutuhan dan mengelola aset pribadi dengan baik, termasuk di dalamnya manajemen kas, utang, dan investasi.

Akses terhadap produk dan jasa keuangan yang semakin baik tidak semata-mata berarti masyarakat langsung lebih cerdas dan berperilaku keuangan dengan baik.

Masyarakat masih membutuhkan proses edukasi yang memakan waktu untuk meningkatkan kesadaran mereka.

Dengan senantiasa meningkatkan literasi keuangan, kita dapat terhindar dari himpitan utang berlebihan.

Mereka yang melek keuangan akan lebih mampu dalam merencanakan keuangan, mengendalikan pengeluaran, dan menimbang risiko serta memilih investasi yang baik.

Meningkatkan literasi keuangan dapat dimulai dari mencatat dan merencanakan pengeluaran, berlatih mengendalikan diri melawan godaan belanja barang yang tidak dibutuhkan, belajar berinvestasi dengan baik, dan mencari mentor keuangan.

Kita juga dapat mengambil kursus daring personal finance yang ditawarkan secara gratis seperti misalnya oleh Coursera.

Intinya, artikel ini bukanlah mengecam penggunaan utang.

Jika digunakan secara hati-hati dan bijaksana, justru pendanaan utang dapat membawa kepada penambahan kekayaan selama digunakan untuk transaksi yang produktif, misalnya pembelian aset yang nilainya akan meningkat di masa depan.

Pada akhirnya, ingatlah bahwa yang baik adalah tiang yang lebih besar dari pasak dan bukan sebaliknya.The Conversation

Stevanus Pangestu, Assistant Professor at the Faculty of Economics and Business, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: