Clayton Besaw, University of Central Florida dan Matthew Frank, University of Denver

Apakah baru saja terjadi upaya kudeta di Amerika Serikat (AS)?

Pendukung Presiden AS Donald Trump, mengikuti dorongan dari Trump, menyerbu Gedung Capitol pada 6 Januari lalu, menganggu proses pengesahan kemenangan Joe Biden dalam pemilihan presiden 2020 oleh Kongres.

Membawa spanduk dan bendera mendukung Trump, ratusan orang menembus barikade dan menghancurkan jendela untuk memasuki bangunan tempat Kongres AS bersidang. Lima orang tewas, termasuk satu polisi.

Walaupun melibatkan kekerasan dan mengejutkan, apa yang terjadi pada 6 Januari itu tidak bisa disebut sebagai kudeta.

Pemberontakan pendukung Trump ini adalah kekerasan pemilihan umum (pemilu), seperti kekerasan pemilu yang menjangkiti banyak negara demokrasi yang rapuh.

Apa itu kudeta?

Walau tidak ada definisi tunggal tentang kudeta , peneliti-peneliti yang mempelajari bidang ini, seperti kami, memiliki konsensus terhadap karateristik utama terkait apa yang bisa disebut oleh para akademisi sebagai “peristiwa kudeta”.

Ahli yang mempelajari kudeta, Jonathan Powell dan Clayton Thyne, mendefinisikan kudeta sebagai “upaya terbuka oleh pihak militer dan elite lainnya di dalam aparatur negara untuk menggulingkan kepala negara dengan menggunakan cara yang tidak konstitusional.”

Pada dasarnya, ada tiga parameter yang digunakan untuk menentukan apakah suatu pemberontakan bisa disebutkan sebagai peristiwa kudeta:

1) Apakah pelakunya adalah agen negara, seperti pejabat militer atau pejabat pemerintah yang memberontak?

2) Apakah target pemberontakan adalah kepala eksekutif pemerintah?

3) Apakah pelakunya menggunakan metode ilegal dan tidak konstitusional untuk mengambil kekuasaan eksekutif?


Baca juga: `Sekali masyarakat terlibat dalam kekerasan politik, akan mudah terulang kembali` – pendapat pakar kekerasan politik soal kejadian di gedung Capitol AS


Kudeta dan upaya kudeta

Upaya kudeta yang sukses terjadi di Mesir pada 3 Juli 2013, ketika Panglima Militer Abdel Fattah al-Sisi menggulingkan Presiden Mesir yang tidak populer waktu itu, Mohamed Morsi.

Morsi, pemimpin pertama mesir yang dipilih secara demokratis waktu itu, mengawasi pembuatan konstitusi yang baru. Al-sisi juga menangguhkan pembuatan konstitusi tersebut.

Peristiwa ini bisa dikatakan sebagai kudeta karena al-Sisi merebut kekuasaan dengan cara ilegal dan memperkenalkan peraturan hukumnya sendiri setelah pemerintah yang dipilih secara demokratis runtuh.

Kudeta tidak selalu berhasil menggulingkan pemerintah.

Pada 2016, anggota militer Turki mencoba menggulingkan Presiden Turki Reçep Erdogan. Tentara merebut area-area kunci di Ankara, Ibu Kota, dan Istanbul, termasuk jembatan Bosphorus dan dua bandara.

Namun, upaya kudeta tersebut tidak terkoordinasi dan tidak mendapat dukungan yang besar, dan gagal dengan cepat setelah Presiden Erdogan meminta pendukungnya untuk berkonfrontasi dengan para pelaku kudeta. Erdogan masih menjadi presiden hingga hari ini.

Apa yang terjadi di Capitol?

Pemberontakan di gedung Capitol tidak memenuhi tiga kriteria kudeta.

Pendukung Trump yang rusuh mengincar sebuah lembaga kekuasaan - Kongres - dan mereka melakukannya dengan cara ilegal, yaitu masuk tanpa izin dan perusakan properti. Parameter kedua dan ketiga bisa terpenuhi.

Namun, perusuh yang terlibat adalah warga sipil yang beroperasi dengan kemauan mereka sendiri, bukan agen negara.

Trump memang meminta pendukungnya untuk mendatangi Capitol satu jam sebelum banyak orang menyerbu masuk, bersikeras bahwa pemilu telah dicurangi, dan menyerukan “kami sudah muak.”

Ini terjadi setelah penyebaran kebohongan dan konspirasi pemilu selama berbulan-bulan yang membangun keyakinan adanya penyimpangan pemerintah di dalam benak banyak pendukung Trump.

Masih belum jelas apakah motivasi Trump memicu kemarahan pendukungnya memang bertujuan untuk menyerbu Kongres, dan Trump dengan datar meminta pendukungnya untuk pulang ketika kekerasan menjadi semakin parah.

Hingga saat ini, kerusuhan di Washington, D.C., tampak dilakukan tanpa persetujuan, bantuan, atau kepemimpinan aktif dari agen pemerintah seperti militer, polisi, atau pejabat simpatisan Partai Republik.

Meski demikian, para elite politik AS tidak suci dari kesalahan.

Dengan menyebarkan teori konspirasi terkait kecurangan pemilu, beberapa senator Partai Republik menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya kekerasan politik di AS, terutama kekerasan terkait pemilu.

Akademisi telah mendokumentasikan bahwa retorika politik yang kontroversial adalah bahan bakar yang meningkatkan risiko kekerasan terkait pemilu.

Pemilu memiliki taruhan yang tinggi; pemilu melambangkan perpindahan kekuasaan politik.

Ketika pejabat pemerintah merendahkan dan mendiskreditkan institusi demokratis di saat konflik politik memanas, persaingan pemilu bisa memicu kekerasan politik dan aturan massa.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Peristiwa yang mengejutkan pada 6 Januari itu adalah kekerasan politik yang terjadi cukup sering di demokrasi yang masih muda atau tidak stabil.

Pemilu di Bangladesh memiliki masalah kekerasan massa dan pemberontakan politik terus-menerus karena kekerasan pemerintah dan kemarahan oposisi selama bertahun-tahun.

Pemilu 2015 dan 2018 Bangladesh lebih mirip sebagai zona perang alih-alih proses transisi demokratis.

Di Kamerun, pemberontak bersenjata melakukan kekerasan pada pemilu 2020, mengincar bangunan pemerintah, oposisi, dan warga yang tidak bersalah. Tujuan mereka adalah untuk mendelegitimasi pemungutan suara sebagai tanggapan atas kekerasan sektarian dan pemerintah yang melewati batas.

Kekerasan pemilu AS berbeda dalam penyebab dan konteks dengan di Bangladesh dan Kamerun, tapi tindakan yang terjadi mirip.

Minggu lalu, tidak terjadi kudeta di AS, tapi pemberontakan yang didorong Trump ini kemungkinan besar akan mendorong AS masuk ke dalam turbulensi politik dan sosial.


Ignatius Raditya Nugraha menerjemahkan artikel ini dari Bahasa Inggris.The Conversation

Clayton Besaw, Research Affiliate and Senior Analyst, University of Central Florida dan Matthew Frank, Master`s student, International Security, University of Denver

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: