Angga Ariestya, Universitas Multimedia Nusantara

Kelompok anak muda atau Generasi Z, seperti Greta Thunberg dari Swedia, Vanessa Nakate dari Uganda, dan Salsabila Khairunisa dari Indonesia, telah memimpin dan menginspirasi gerakan perubahan iklim, beberapa tahun belakangan.

Namun, beberapa studi awal di negara-negara Barat menunjukkan bahwa informasi terkait iklim tidak sampai ke kelompok muda yang disebut Generasi Z ini.

Berdasarkan informasi ini, saya pun melakukan penelitian awal untuk mengamati Gen-Z di Indonesia terkait perubahan iklim.

Hasil awal penelitian saya menunjukkan kelompok muda Indonesia memiliki kesadaran tinggi soal perubahan iklim.

Meski demikian, kesadaran tinggi ini tidak serta merta berujung pada komitmen mereka untuk melakukan sesuatu untuk mengatasi perubahan iklim.


Baca juga: Mencairnya lapisan es dan pengaruhnya bagi laut Indonesia. Ini kata panel ilmuwan PBB


Panel PBB untuk ilmuwan perubahan iklim atau The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2013, menyatakan, pada 2050, seorang anak yang lahir pada tahun 2000-an cenderung hidup di planet Bumi yang lebih hangat 0,8°C hingga 2,6°C, dengan permukaan laut lebih tinggi 5-32 cm dibandingkan pada 1990.

Ini berarti Gen-Z pada usia 50 tahun harus semakin sering menghadapi panas ekstrem dan bencana banjir.

Kesadaran akan perubahan iklim di kaum muda

Penelitian Anthony Leiserowitz, Nicholas Smith, dan Jennifer R. Marlon, tahun 2011, menunjukkan relatif sedikit remaja Amerika (berusia 13–17 tahun) yang memiliki pemahaman mendalam tentang perubahan iklim.

Sementara, hasil riset di Norwegia, tahun 2016, hanya 38,7% generasi muda menyatakan memiliki pengetahuan yang baik tentang perubahan iklim.

Kedua riset tersebut setidaknya memberikan gambaran kesadaran kognitif Gen-Z di negara-negara Amerika Utara dan Eropa, negara-negara Barat yang kaya, atas perubahan iklim belum baik.

Penelitian saya di Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Multimedia Nusantara menunjukkan hal yang berbeda.

Hasil penelitian awal saya menunjukkan kesadaran kognitif kaum muda sangat tinggi terhadap perubahan iklim.

Saya meneliti respons mahasiswa generasi Z (kelahiran sesudah atau pada tahun 1997) yang tinggal di perkotaaan terkait dengan pemberitaan perubahan iklim.

Penelitian ini bertujuan untuk memetakan kesadaran kognitif (pengetahuan yang terbentuk tentang perubahan iklim), afektif (perasaan cemas atau takut atas pengetahuannya tentang perubahan iklim), dan konatif (keinginan atau komitmen untuk segera bertindak karena kesadaran kognitif dan afektifnya tersebut) atas perubahan iklim yang mereka baca dari berita daring.

Penelitian awal saya mendapati bahwa nilai kesadaran perubahan iklim gen-Z >80%.

Yang menarik adalah kesadaran kognitif kaum muda ini tidak berkorelasi kuat dengan kesadaran konatif mereka.

Berdasarkan uji statistik, nilai korelasi antara kesadaran kognitif dan konatif adalah 0.471. Semakin tinggi nilai (mencapai 1) semakin kuat korelasi.

Artinya, kaum muda Indonesia masih enggan melakukan sesuatu untuk mengurangi masalah perubahan iklim walaupun memiliki kesadaran kognitif yang tinggi.

Dalam penelitian ini, saya memilih partisipan secara acak dari mahasiswa UMN, rata-rata tinggal di kota Tangerang Selatan.

Sampel yang diambil homogen, artinya memiliki karakter demografi yang sama, baik dari segi usia, pendidikan, dan rata-rata pendapatan.

Saya membagi 110 responden ke dalam dua kelompok, masing-masing 55 orang.

Saya memberikan partisipan kelompok pertama berita daring yang “dimanipulasi” dengan memberitakan tentang bencana kekeringan, kelaparan, dan banjir sebagai dampak perubahan iklim.

Sementara, partisipan kelompok kedua mendapatkan berita daring tentang perubahan iklim tanpa “dibingkai” dengan bencana.

Saya mengumpulkan responden ke dalam ruangan dan waktu yang bersamaan dan memberikan artikel-artikel yang memiliki pembingkaian manipulatif secara bergantian.

Artikel-artikel tersebut dimuat dalam website fiktif, seakan-akan merupakan portal media daring.

Setelah itu, para responden mengisi kuesioner dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama berulang kali.

Pertanyaan mengandung unsur-unsur pertanyaan tentang pengetahuan, hal yang dirasakan, dan komitmen untuk bertindak terkait perubahan iklim.

Tanpa pembingkaian berita, kaum muda ini sudah menyadari perubahan iklim disebabkan oleh aktivitas manusia dan menjadi ancaman serius bagi mereka.

Apakah karena Indonesia merupakan negara yang rawan bencana sehingga kesadaran mengenai perubahan iklim terbangun sangat kuat di kalangan muda Indonesia?

Hasil studi ini masih perlu kajian lebih lanjut untuk mengetahui sejauh mana faktor geografis, sosial, dan budaya mempengaruhi kesadaran perubahan iklim.

Membingkai pesan (Message Framing)

Penelitian dari peneliti Inggris berjudul How do young people engage with climate change? The role of knowledge, values, message framing, and trusted communicators pada 2015 menunjukkan pembingkaian pesan dan informasi tentang perubahan iklim (message framing) dapat mempengaruhi persepsi dan tanggapan generasi muda.

Dalam konteks pemberitaan tentang perubahan iklim, media seringkali mengonstruksi ketidakpastian, misalnya, membangun cerita bahwa perubahan iklim memiliki risiko atau berita bencana.

Ini terlihat dari pemilihan judul (headline) atau teks (body text).

Bingkai bencana ini, sebagian besar, menekankan konsekuensi negatif bagi kehidupan masyarakat, seperti masalah ketersediaan air dan makanan, naiknya permukaan laut dan suhu permukaan laut, banjir, angin topan, kerusakan ekosistem dan keanekaragaman hayati, serta dampak kesehatan yang merugikan.

Hingga saat ini, sepengetahuan saya, riset tentang pembingkaian berita perubahan iklim di Indonesia masih sangat jarang.

Ini yang membuat saya melakukan penelitian terkait kesadaran Gen-Z akan perubahan iklim.

Adam Corner, Direktur Riset Climate Outreach, di Inggris, mengingatkan dalam artikelnya bahwa membingkai perubahan iklim sebagai bencana lingkungan yang akan terjadi dapat berkontribusi pada rasa putus asa dan perasaan tidak berdaya, yang dapat menyebabkan kekecewaan, apatis, dan tidak aktif dari kaum muda.

Sebaliknya, bingkai yang lebih positif dan emosional dapat memunculkan rasa harapan, keterlibatan, dan banyak lagi strategi konstruktif untuk mengatasinya dari kaum muda.

Peran penting media

Di masa depan, permasalahan disinformasi dan misinformasi tentang perubahan iklim akan semakin menjadi tantangan komunikasi perubahan iklim.

Selain itu, diskusi publik tentang perubahan iklim akan lebih meluas di media sosial.

Konsekuensinya, para pemerhati lingkungan, ilmuwan, pemerintah sudah harus mulai mempertimbangkan two step flow of communication, dengan pelibatan influencer di media sosial dalam mengkomunikasikan perubahan iklim agar informasi yang berkembang dekat dengan keseharian individu.

Saat ini terdapat beberapa komunitas-komunitas anak muda di Indonesia yang bergerak dalam kampanye aksi perubahan iklim, seperti Climate Rangers, KeMANGTEER, Youth for Climate Change, dan masih banyak lainnya.

 

Untuk meningkatkan kesadaran masalah perubahan iklim di kalangan kaum muda yang cenderung hipertekstual (aktif membaca teks-teks pada media daring melalui tautan/link yang tersedia), kuncinya ada pada penggunaan media sosial, komunikasi interpersonal (antara siapa dan siapa) yang termediasi internet, serta peliputan oleh media arus utama secara daring.

Bagi semua yang terlibat dalam gerakan mengatasi perubahan iklim, selain diskusi publik, aksi nyata tetap diperlukan agar media sosial tidak hanya menjadi ruang publik semu yang menghasilkan clicktivist (suatu aktivisme di media baru berupa klik semata tanpa terwujud dalam aktivisme di masyarakat yang memiliki dampak sosial dan lingkungan).The Conversation

Angga Ariestya, Dosen Komunikasi, Universitas Multimedia Nusantara

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: