Melani Budianta, Universitas Indonesia

Artikel ini adalah bagian dari seri “Sembilan Bulan Pandemi COVID-19 di Indonesia”.

Beberapa saat setelah pandemi COVID-19 membuat laju kehidupan seakan berhenti. Lalu lalang menuju tempat kerja dan interaksi bersama diganti dengan kerja di rumah sendiri-sendiri. Penyair Sapardi Djoko Damono menyemangati para pengikut Instagram-nya dengan mengatakan pandemi bukan penghalang untuk menulis karena “imajinasi tidak bisa dikurung”.

Meski Sapardi tak menyaksikan berakhirnya pandemi, karena ia meninggal pada usia 80 tahun pada 19 Juli 2020, tetapi, apa yang dikatakannya terbukti dengan membanjirnya produksi sastra sepanjang 2020.

Sunu Wasono, pengajar sastra di Universitas Indonesia, mengibaratkan gejala ini sebagai “tsunami”.

Berikut kita simak beberapa karya kreatif yang muncul sejak Maret sampai akhir November 2020.

1. Bubarnya Agama

Pada Maret 2020, seorang penulis dan penggerak tasawuf dari Aceh bernama Said Muniruddin mengunggah sebuah puisi di lamannya berjudul Bubarnya Agama.

Puisi itu menjadi viral, terutama ketika diedarkan melalui media sosial.

Dalam perjalanannya menyusuri berbagai media, judul puisi diubah entah oleh siapa menjadi Tuhan Mengajarkan Melalui Corona dan nama penulis yang dicatut adalah Mustafa Bisri, penyair, pengasuh pesantren dan agamawan dari Rembang Jawa Tengah yang akrab disebut Gus Mus.

Bait-bait puisi pun mendapat tambahan dan elaborasi di sana sini.

Intinya masih tetap sama, yakni bagaimana virus “corona memurnikan agama”, dengan lumpuhnya keramaian ritual, dan memaksa manusia untuk menemukan Tuhan dalam keheningan dan diri sendiri.

Walaupun sempat menuai kontroversi, puisi itu menyentuh banyak orang dan terus menerus dikutip dengan cara yang berbeda-beda oleh netizen dan pemakai sosial media.

2. Sepersejuta Milimeter dari Corona

Tengsoe Tjahjono, pelopor genre cerita pendek (cerpen) tiga paragraf (pentigraf), dalam waktu satu bulan (15 Maret hingga 15 April lalu) berhasil mengumpulkan 269 cerpen karya penulis Indonesia yang tergabung dalam kelompok bernama Kampung Pentigraf Indonesia.

Kampung di sini bukan suatu lokasi, tapi suatu wadah bagi penulis yang menulis cerpen tiga alinea yang didirikan beberapa tahun sebelumnya.

Kontributor antologi pentigraf ini berasal dari berbagai daerah di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Bali, dan bahkan sampai ke luar negeri seperti Singapura dan Malaysia.

Judul-judul seperti “Namaku Corona”, “Bayi Corona”, “Work from Home”, “Pagebluk”, “Pakai Maser”, “Korina dan Korona”, “Positif” jelas mengacu pada topik yang diangkat, tapi isinya bisa tak terduga.

Cerpen “Namaku Corona”, misalnya, memperkenalkan tokoh yatim piatu yang tak paham dari mana asal usulnya. Perkiraan pembaca, kedua orang tuanya sudah meninggal karena wabah, yang menyebabkan tokoh dibesarkan di asrama, “seakan-akan” dikukuhkan di alinea kedua.

Namun, alinea ketiga membuyarkan perkiraan tersebut ketika Ibu Asrama memperkenalkan Corona dengan “ayahnya”, seorang profesor yang mengaku telah “menciptakannya”:“Kamu sebenarnya adalah manusia hybrid hasil rekayasa genetika. Kamu tak punya masa lalu karena memorimu sebatas yang ada di chip yang kami tanam di tubuhmu itu.”

3. Kemanusiaan pada Masa Wabah Corona

Antologi yang tebalnya 920 halaman ini adalah satu kumpulan puisi, esai, cerpen karya 110 penulis yang tergabung dalam Satupena, sebuah asosiasi penulis Indonesia yang didirikan oleh Badan Ekonomi Kreatif pada 2018.

Genre yang paling menonjol adalah esai lintas disiplin, puisi, dan cerpen.

Buku ini, menurut editor-nya, Nasir Tamara, menghimpun ingatan-ingatan manusia pada masa pandemi.

Wartawan senior Debra Yatim yang menyumbang dengan esainya “The Role of Poetry when the World is Uncertain” menyampaikan bahwa “kunci dari gerendel yang memasung” pada era pandemi “adalah sastra.”

Dalam buku ini, selain sebagai terapi, karya sastra juga menjadi ruang reflektif. Para pengarang menggali kembali tradisi lama untuk mengarifi kondisi masa kini, dengan “berpantun melawan corona” atau mengingat petatah-petitih Aceh (“pat taeun nyang hana ubat” – tiada wabah yang tiada obatnya) untuk “mengalirkan energi positif”.

4. Peradaban Baru Corona

Buku antologi ini berisi puisi karya 99 penyair yang “pernah atau masih menjadi wartawan”.

Buku ini tampil dengan edisi mewah dengan 134 halaman berwarna penuh ini juga memuat prolog dari sastrawan Remy Sylado selaku kurator, dan epilog dari budayawan Abdul Hadi Widji Muthari.

Kontributor buku ini termasuk wartawan yang sekaligus penyair, Adri Darmadji Woko, sastrawan Eka Budianta, dan penyair Sutardji Calzoum Bachri

5. Pesan Penyintas Siang

Buku ini merupakan hasil dari “Program Nulis Dari Rumah” yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Ditujukan untuk menyemangati penulis pada masa pandemi, program yang menargetkan 100 cerpen dan 100 esai ini mendapatkan lebih dari 1.000 tulisan.

Pesan Penyintas Siang terbagi atas tiga tema.

Bagian pertama terdiri dari cerpen-cerpen yang berfokus pada COVID-19, bagian kedua adalah cerpen-cerpen yang menggali nuansa Nusantara, dan yang ketiga merefleksikan secara kritis tema kebangsaan.

Meminjam kata-kata seniman Agus Noor di sampul belakang buku Pesan Penyintas Siang, antologi ini “tidak hanya menandai sebuah zaman, tetapi juga menjadi rekaman dan ingatan atas apa yang menjadi pergulatan manusia Indonesia di saat pandemi…” tapi sebagai sebuah “dokumen kemanusiaan.”

6. COVID-20 dan Sepilihan Fiksi Lainnya

Antologi ini menghimpun karya penulis muda Aris Rahman P. Putra dari berbagai daerah dengan tema kiamat dan dikemas dalam sebuah buku elektronik.

Dari semua antologi yang dibahas di sini, 38 karya dari 32 penulis ini paling bebas, lepas dari kungkungan rambu-rambu kesantunan dan kepatutan. Barangkali memang karena tak ada lagi yang perlu ditaati ketika dunia yang dibayangkan adalah dunia distopia, sesudah atau ketika kehancuran bumi dan manusia/kemanusiaan terjadi.

Maka cerpen-cerpen ini bicara dengan nada satiris, humor, ironis, getir, mati rasa atau biasa-biasa saja, tentang adegan datangnya kiamat, yang tak jarang penuh kekerasan. Imajinasi bisa sampai ke proses meledakkan matahari, detik-detik melihat monster mengeluarkan isi perut Ibu yang telah ditunggu-tunggu seharian, nostalgia pohon terakhir yang dikorbankan oleh manusia penyintas, dan segala macam kemungkinan kemusnahan semesta bisa terjadi.

Setiap karya tidak lebih dari satu setengah halaman, dan ada yang terdiri dari tiga baris.

Para penulisnya rata-rata lahir pada tahun 1990-an.

Jangan terlalu serius menelisik biodata mereka. Ada yang lengkap catatan karyanya, ada yang hanya mencantumkan apa yang disukai, seperti “kebingungan”, yang tidak disukai seperti “karet gelang” atau cita-cita “ingin menjadi pohon.” Ini bacaan pandemi yang tampil paling milenial, beda dari yang lain.

Selain mengungkapkan kemungkinan imajinasi dan pengolahan estetis dari pandemi COVID-19 sebagai suatu peristiwa global multidimensi, “tsunami sastra” pada era wabah corona ini mempunyai beberapa fungsi.

Pertama, karya-karya itu akan menjadi “saksi zaman” yang merekam struktur perasaan masyarakat pada zaman yang tak normal itu. Kedua, karya sastra itu menjadi semacam terapi, untuk mengolah tekanan yang berat dan menyalurkannya menjadi suatu bacaan yang terasa dekat dan relevan bagi yang sama-sama mengalaminya.The Conversation

Melani Budianta, Professor, Faculty of Humanities (FIBUI) University of Indonesia, Universitas Indonesia

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: