Wishnu Mahraddika, Australian National University dan Krisna Gupta, Australian National University

Walau mendapatkan berbagai macam perlawanan dari publik, Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020, atau lebih dikenal dengan sebutan UU Cipta Kerja telah resmi tercatat dalam lembar negara. Untuk itu pemerintah harus berupaya agar bisa memaksimalkan UU ini untuk lebih menyejahterakan para pekerja.

Salah satu cara untuk meningkatkan penghasilan para pekerja adalah dengan meningkatkan partisipasi Indonesia dalam rantai pasok global, dimana sebuah perusahaan bisa menghubungkan sebuah produk dari penghasil, pengolah, distributor, hingga konsumen akhir dalam skala global.

Contohnya perusahaan asal Indonesia menjadi pemasok ban untuk sebuah mobil yang dirakit di negara lain.

Sayangnya saat ini partisipasi Indonesia di dalam rantai pasok global sangat rendah. Menurut laporan dari Bank Dunia berbagai macam hambatan seperti biaya logistik yang tinggi membuat produk dari Indonesia menjadi kurang kompetitif.

Contohnya saja, biaya penggunaan fasilitas pelabuhan (port dues) di Tanjung Priok lima kali lipat lebih mahal dari pelabuhan di Singapura. Ini artinya perusahaan yang mengimpor bahan baku akan membayar lebih mahal, tentunya akan lebih murah memproduksi suatu barang jika membuat pabrik di Singapura.

Rantai pasok global akan memperluas akses Indonesia ke pasar global, memperbesar peluang produksi dan lapangan pekerjaan karena melayani pasar yang lebih luas.

Selain itu, dengan rantai pasok global, Indonesia dapat memilih tahapan di rantai produksi yang paling sesuai untuk profil tenaga kerjanya. Beberapa studi kasus menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang berpartisipasi dalam rantai pasok global memberikan upah yang lebih baik dibandingkan perusahaan konvensional.

Hambatan non-tarif menjadi penghalang

Indonesia dianugerahi dengan beberapa faktor pendukung untuk menjadi salah satu partisipan penting dalam rantai pasok global seperti lokasi yang strategis, jumlah penduduk usia produktif atau yang bekerja mencapai 185,34 juta jiwa, dan ketersediaan sumber daya alam.

Namun, faktor-faktor tersebut tidak cukup.

Apabila Indonesia ingin meningkatkan peranannya dalam kegiatan rantai pasok global salah satu yang perlu diperbaiki adalah hambatan non-tarif untuk perdagangan internasional.

Hambatan non-tarif adalah penghalang untuk membatasi perdagangan internasional yang tidak menggunakan bea masuk atau pajak. Umumnya hambatan non-tarif ditujukan untuk melindungi kepentingan suatu negara dalam perdagangan internasional, seperti melindungi produsen dalam negeri.

Hambatan non-tarif ini termasuk pengenaan kuota yang membatasi jumlah impor yang bisa dilakukan, seperti menjatah jumlah impor garam yang dibutuhkan industri pengolahan.

Bahkan ada pelarangan impor seperti contohnya saja membatasi impor baja untuk bahan baku industri di dalam negeri.

Belum lagi kewajiban-kewajiban lain seperti Standar Nasional Indonesia (SNI) yaitu standar yang harus dimiliki suatu produk jika dibuat di Indonesia.

Indonesia telah melakukan pekerjaan yang cukup baik dalam mengintegrasikan ekonominya dengan dunia internasional.

Sejak krisis ekonomi Asia pada 1998, level tarif Indonesia terus mengalami penurunan. Keterlibatan Indonesia di perundingan perjanjian perdagangan bebas bersama ASEAN pada akhir 2000an mempercepat penurunan tarif.

Namun, seakan-akan mengkompensasi penurunan tarif, pemerintah Indonesia meningkatkan peran hambatan non-tarif dalam perdagangan Indonesia.

Indonesia sendiri, berdasarkan data World Trade Organization, berada pada peringkat 43 diantara negara-negara di dunia untuk jumlah hambatan non-tarif. Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya Indonesia berada pada peringkat ke-4 non-tarif terbanyak, setelah Malaysia, Filipina, dan Thailand.

Beberapa kebijakan non-tarif ini, terutama kuota, tidak hanya mengurangi kelancaran rantai pasok, tapi juga berpotensi dieksploitasi oleh pemburu rente atau pengusaha yang mendapatkan lisensi khusus, monopoli, dan fasilitas lain dari penguasa sekaligus menghambat pelaku lain masuk pasar.

Rantai pasok global adalah kegiatan mengurai proses produksi sebuah barang untuk mendapatkan harga yang kompetitif. Sebuah perusahaan dipilih untuk berpartisipasi dalam rantai pasok global apabila perusahaan tersebut dapat meningkatkan efisiensi biaya dalam memproduksi suatu barang atau jasa.

Dalam kegiatan rantai pasok global, sebuah perusahaan atau pabrik dapat memproses barang mentah menjadi barang antara, barang antara menjadi barang setengah jadi, atau barang antara menjadi barang jadi. Kegiatan tersebut akan meningkatkan intensitas aliran barang masuk (impor) dan barang keluar (ekspor).

Apabila banyak hambatan dari aliran barang tersebut, baik berupa tarif maupun non-tarif, maka akan sulit bagi perusahaan di Indonesia untuk dapat bersaing dan berpartisipasi dalam kegiatan rantai pasok global.

Pemerintah dapat membantu perusahaan-perusahaan Indonesia ikut dalam kegiatan rantai pasok global dengan meningkatkan kemudahan transaksi perdagangan internasional.

Kebijakan yang dapat diproritaskan

Dua kebijakan lanjutan yang dapat diprioritaskan dalam jangka pendek adalah meningkatkan kelancaran arus barang dan kemudahan investasi.

Pertama sangat penting bagi Indonesia untuk menjaga kelancaran dan menekan biaya arus impor berupa bahan baku dan komponen yang tidak dapat diproduksi di Indonesia untuk keperluan manufaktur.

Peraturan non-tarif sebaiknya diarahkan ke penyamaan dengan negara mitra alih-alih membuat standar sendiri yang dapat berakibat pada meningkatnya biaya produksi.

Selain itu, restriksi kuota memang sebaiknya ditekan penggunaannya untuk meningkatkan transparansi kebijakan dan tata laksana yang baik.

Dalam skenario ideal, pemerintah perlu secara agresif memperluas perjanjian dagang dengan beberapa mitra di luar negeri. Hal ini juga dapat memudahkan barang hasil rakitan di Indonesia untuk menembus pasar luar negeri.

Kegiatan rantai pasok global berkaitan erat dengan penanaman modal asing (PMA). Investasi dalam bentuk PMA tidak hanya berperan untuk mengisi kebutuhan pembiayaan investasi domestik, namun juga dapat mempercepat pengembangan teknologi dan kemampuan produsen lokal.

Selain itu, penggunaan tenaga kerja asing untuk bidang yang belum dapat dipenuhi secara domestik juga sebaiknya dipermudah.

Untuk menarik PMA, diperlukan peraturan yang tidak hanya sederhana, tetapi juga ditegakkan dengan konsisten. Untuk itu penegakan hukum di Indonesia harus juga diperbaiki agar menciptakan iklim usaha yang mendukung.The Conversation

Wishnu Mahraddika, PhD Scholar, Australian National University dan Krisna Gupta, PhD Student at The Australian National University, Australian National University

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: