Nabiyla Risfa Izzati, Universitas Gadjah Mada

Salah satu bab yang paling banyak menimbulkan kontroversi dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang baru disahkan adalah Bab Ketenagakerjaan.

Perubahan terhadap beberapa pasal dalam UU tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan banyak menjadi sorotan karena dianggap akan membawa kerugian bagi pekerja.

Upaya pengurangan atau pelonggaran aturan hukum ketenagakerjaan dengan mengorbankan perlindungan bagi pekerja adalah langkah keliru, berdasarkan logika yang keliru pula.


Baca juga: 3 ancaman UU Ciptaker bagi para pembela lingkungan dan HAM


Deregulasi ketenagakerjaan

Pemerintah meyakini aturan hukum ketenagakerjaan yang terlalu kaku merupakan salah satu penghalang investasi untuk masuk ke Indonesia dan, karena itu, merasa perlu melakukan deregulasi.

Beberapa revisi pasal dalam Bab Ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja jelas mencerminkan upaya ini.

Sebagai contoh, ketentuan dalam Pasal 56 UU Ketenagakerjaan tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) diubah sehingga tidak lagi berbatas waktu maksimal 2 tahun dengan kemungkinan perpanjangan maksimal 1 tahun.

Artinya, akan semakin banyak pekerja yang dipekerjakan dengan jenis perjanjian kontrak dalam jangka waktu yang panjang. Perusahaan juga tidak lagi memiliki kewajiban untuk mengubah status pekerja kontrak menjadi pekerja tetap, ketika jangka waktu tiga tahun sudah terlewati.

Begitu juga perubahan ketentuan istirahat panjang di Pasal 79 yang tadinya diwajibkan oleh UU menjadi hanya dapat diberikan jika diatur dalam perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perusahaan.

Istirahat panjang yang tadinya merupakan hak yang wajib diberikan, menjadi sesuatu yang sifatnya hanya pilihan.

Kedua pasal itu menunjukkan berkurangnya kontrol negara terhadap aturan hukum ketenagakerjaan.

Hal-hal terkait hubungan kerja, seperti jangka waktu perjanjian kontrak dan istirahat panjang, dikembalikan pada mekanisme kesepakatan para pihak - yakni pekerja dan pengusaha - melalui perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perusahaan.

Ini jelas mengurangi perlindungan bagi pekerja, karena dalam hubungan yang timpang antara pekerja dan pengusaha, sangat besar kemungkinan kesepakatan antara pekerja dan pengusaha merugikan pihak pekerja.


Baca juga: "Ada hoaks di balik demo": membedah keberhasilan strategi _gaslighting_ pemerintah


Logika keliru

Dengan banyaknya pasal yang kontroversial di Bab Ketenagakerjaan, wajar jika bab ini seperti menjadi arena perdebatan utama dalam narasi kontra UU Cipta Kerja.

Belakangan, pihak pendukung UU Cipta Kerja mengkritik mengapa protes terhadap UU Cipta Kerja seperti terfokus di Bab Ketenagakerjaan.

Padahal, menurut mereka, banyak bab lain di UU omnibus itu yang bernilai positif, serta berprospek baik bagi perbaikan perekonomian, seperti kemudahan membuka usaha, dan dukungan terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Di sinilah menurut saya masalah utamanya.

Sedari awal, memasukkan Bab Ketenagakerjaan di UU yang jelas-jelas tujuannya adalah untuk peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha adalah hal yang tidak tepat.

Perubahan yang dilakukan UU Cipta Kerja terhadap beberapa pasal UU Ketenagakerjaan, bukan malah memberikan perlindungan tambahan bagi pekerja, tapi justru menguranginya.

Ini karena perspektif yang diusung oleh UU Cipta Kerja memang untuk kepentingan bisnis, bukan untuk kepentingan pekerja.

Pada tanggal 24 April 2020, Presiden Joko “Jokowi” Widodo sempat menunda pembahasan kluster ketenagakerjaan dalam rancangan UU (RUU) Cipta Kerja.

Sayangnya, keputusan ini berubah dengan sangat cepat dan drastis.

Kluster ketenagakerjaan tiba-tiba dimasukkan kembali dalam draf RUU Cipta Kerja per tanggal 25 September 2020, dan pembahasannya dikebut.

Akibatnya sudah jelas terlihat. Banyak pasal di Bab Ketenagakerjaan yang disusun dengan tidak memperhatikan kondisi sosiologis hubungan kerja, yakni ketimpangan posisi pekerja dengan pengusaha.

Pasal-pasal ini jugalah yang kemudian semakin memancing reaksi keras masyarakat terhadap pengesahan UU Cipta Kerja.

Salah satu pasal yang dengan terang mencerminkan kekeliruan logika ini adalah perubahan ketentuan tentang pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.” (Pasal 151, ayat 2, UU Ketenagakerjaan)

Ketentuan tersebut kemudian diubah menjadi:

“Dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maksud dan alasan pemutusan hubungan kerja diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.” (Pasal 151, ayat 2, UU Ketenagakerjaan setelah diubah lewat UU Cipta Kerja)

Perubahan Pasal 151 ini memunculkan narasi bahwa UU Cipta Kerja memungkinkan adanya PHK sepihak.

Pemerintah membantah keras dan mengatakan bahwa ketentuan dalam ayat 3 dan 4 pasal tersebut tetap membuka kesempatan bagi pekerja untuk melakukan upaya perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh (bipartit) dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial lain jika mereka menolak di-PHK.

“Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan hubungan kerja, penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.”

“Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.” (Pasal 151, ayat 3 dan 4, UU Ketenagakerjaan)

Dilihat sekilas, memang seperti tidak ada yang salah.

Masalahnya, logika ini terbangun dari pandangan bahwa hubungan kerja itu bersifat ideal, bahwa posisi pekerja dan pengusaha setara sehingga mudah saja bagi pekerja untuk menolak “pemberitahuan PHK” yang dilakukan oleh pengusaha, dan bahwa mereka juga akan dengan mudah dapat melakukan upaya bipartit dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial untuk mempertahankan haknya.

Pada kenyataan di lapangan, menolak PHK bukanlah hal yang mudah dilakukan.

Ketimpangan posisi tawar, ketakutan terhadap atasan, serta ketidaktahuan atas hak-haknya sebagai pekerja acapkali membuat mereka tak berkutik jika terjadi PHK.

UU Ketenagakerjaan mencegah kemungkinan terjadinya PHK secara sepihak dan sewenang-wenang lewat dua hal: kewajiban untuk berunding dulu sebelum melakukan PHK; dan jika perundingan tidak berhasil, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Di UU Cipta Kerja, perlindungan ini menguap sebab terbuka kemungkinan PHK dilakukan hanya melalui pemberitahuan sepihak dari pengusaha ke pekerja.


Baca juga: Bagaimana UU Cipta Kerja merusak desentralisasi yang dibangun setelah reformasi


Perlindungan pekerja menghambat investasi?

Aturan ketenagakerjaan Indonesia yang keras - PHK sepihak tidak mudah dilakukan, pemecatan berbiaya tinggi bagi pengusaha - kerap dijadikan kambing hitam hambatan investasi. Namun kajian dari World Economic Forum menunjukkan hasil yang berbeda.

World Economic Forum Competitiveness Report secara konsisten menempatkan korupsi sebagai masalah utama penghambat investasi di Indonesia.

Aturan ketenagakerjaan hanya menempati peringkat ke-12 dari penghambat terbesar investasi. Etos kerja pekerja justru menjadi hal yang lebih berpengaruh; etos kerja menempati peringkat ke-7 dalam kajian tersebut.

Padahal, bagaimana mungkin meningkatkan etos kerja pekerja jika perlindungan yang diberikan terhadapnya justru melemah?

Pada 2018, Singapura - negara dengan ranking ease doing business tertinggi di ASEAN -justru mengamandemen hukum ketenagakerjaannya menjadi lebih protektif terhadap pekerja.

Ini merupakan salah satu bukti bahwa kemudahan bisnis sebenarnya bisa berjalan beriringan dengan perlindungan pekerja.


Baca juga: Selain Cipta Kerja, ada tiga omnibus law lain yang menunggu disahkan. Apa layak diteruskan?


Bukan jalan pintas

Kebutuhan terhadap lapangan kerja baru adalah sebuah keniscayaan untuk memastikan hubungan kerja tetap berjalan.

Upaya untuk menarik investor masuk, mengembangkan UMKM, dan memastikan pengusaha tetap bertahan di kondisi yang serba sulit seperti sekarang tentu juga sangat penting dilakukan oleh pemerintah.

Namun, melonggarkan perlindungan terhadap pekerja bukanlah cara yang tepat.

Masih banyak instrumen hukum lain yang bisa dimanfaatkan untuk memudahkan bisnis dan melindungi kepentingan pengusaha, misalnya dengan memberikan insentif pajak, memastikan tidak ada korupsi dan pungli dalam proses pendirian perusahaan, dan menjamin birokrasi yang mudah dan tidak berbelit-belit.

Dengan penolakan masyarakat yang begitu keras terhadap UU Cipta Kerja, khususnya terkait bab ketenagakerjaan, pemerintah perlu menyadari bahwa deregulasi aturan ketenagakerjaan bukanlah jalan pintas yang tepat diambil.The Conversation

Nabiyla Risfa Izzati, Lecturer of Labour Law, Universitas Gadjah Mada

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: