Putu Sukma Kurniawan, Universitas Pendidikan Ganesha

Awal 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia berpotensi mendapatkan tambahan pendapatan sebesar Rp350 triliun dari transaksi jual beli sertifikat emisi karbon.

Potensi ini mendorong pemerintah untuk menyiapkan aturan tentang perdagangan karbon dalam bentuk Peraturan Presiden.

Regulasi ini ditargetkan untuk selesai pada Agustus 2020 lalu. Namun, hingga kini belum juga diterbitkan dan tidak ada kejelasan mengapa tidak segera diterbitkan.

Sebelum berbicara soal aturan terkait transaksi jual beli karbon, ada baiknya memahami apa itu perdagangan karbon dan manfaatnya bagi Indonesia.

Jual beli emisi karbon

Perdagangan karbon merupakan kegiatan jual beli sertifikat yang diberikan kepada negara yang berhasil mengurangi emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim.

Perdagangan karbon (carbon trading) tidak jauh berbeda dengan transaksi jual beli yang dilakukan di pasar konvensional, yang berbeda adalah komoditas yang diperjualbelikan, yaitu emisi karbon.

Pembeli emisi karbon biasanya negara maju dan industri besar, sementara penjualnya adalah negara berkembang dengan hutan yang luas sebagai penyerap karbon dioksida sebagai penjual sertifikat.

Hutan menjadi sasaran utama karena fungsinya sebagai penyerap karbon dioksida. Melalui hutan lindungnya yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, Indoneia merupakan salah satu negara penjual emisi karbon yang aktif.

Emisi karbon yang bisa diperdagangkan adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrat oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorokarbon (PFCs), dan sulfur heksafluorida (SF6).

Keenam emisi ini menjadi pemicu utama pemanasan global di Bumi dan akhirnya menyebabkan krisis iklim.

Satu unit kredit karbon biasanya setara dengan penurunan emisi 1 ton karbon dioksida.

Saat ini, harga sertifikat emisi karbon sekitar 28 dolar per ton, naik 10 dolar dari tahun sebelumnya karena munculnya peraturan-peraturan terkait perdagangan karbon.

Manfaat ekonomi dan lingkungan bagi Indonesia

Indonesia sudah menjual emisi karbon sejak tahun 2005, salah satunya melalui proyek CDM (Clean Development Mechanism) atau Mekanisme Pembangunan Bersih.

Proyek CDM merupakan proyek penurunan emisi di negara berkembang yang bertujuan mendapatkan sertifikasi penurunan emisi (certified emission reduction) atau CER.

Dengan membeli ini, maka negara-negara industri maju bisa mengklaim target penurunan emisi mereka.

Data Kementerian Lingkungan Hukum dan Kehutanan tahun 2015 menyebutkan bahwa 37 dari total 215 proyek CDM telah berhasil menurunkan emisi sebesar 10.097,175 ton CO2e (satuan : karbon dioksida ekuivalen) dan 329,483 ton CO2e dari perdagangan karbon bilateral dengan Jepang.

Kerja sama ini menghasilkan investasi sebesar US$150 juta atau Rp2,1 triliun

Proyek CDM ini sebagian besar dari sektor energi terbarukan, pengolahan limbah menjadi energi, hingga pertanian dan kehutanan.

Hasil simulasi dari penelitian Kementerian Keuangan menunjukkan setiap tahun perdagangan karbon akan menyumbangkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar 7,5–26,1% dari realisasi pendapatan dari barang dan jasa (Pendapatan Badan Layanan Umum/BLU) tahunan untuk periode 2011-2018 atau sekitar Rp350 triliun dengan asumsi bahwa pemerintah memiliki komitmen yang tinggi untuk menekan laju deforestasi hutan dan menyusun kebijakan yang mendukung pelestarian hutan.

Jika dapat dimaksimalkan, perdagangan karbon akan memiliki peran yang besar dalam konteks penerimaan negara.

Selain manfaat ekonomi, perdagangan karbon merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk bisa mengejar target penurunan emisi sebesar 26% pada tahun 2020 dan 29% pada tahun 2030.

Yang perlu dikerjakan

Meski mendapatkan tentangan dari masyarakat sipil yang mengkhawatirkan model ini tidak akan berdampak kepada target menurunkan emisi dan hanya uang semata, pemerintah Indonesia tetap ingin mengembangkan perdagangan karbon ini.

Namun, pengembangan ini harus disertai dengan komitmen yang kuat, terutama dalam menetapkan peraturan terkait perdagangan karbon serta pembagian manfaat bagi masyarakat setempat.

Beberapa hambatan untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan lingkungan dari perdagangan karbon, antara lain, adalah kebakaran lahan dan hutan, konflik lahan dengan masyarakat setempat dan perusahaan, hingga perubahan tata guna lahan menjadi perkebunan, khususnya perkebunan kelapa sawit.

Pemerintah pusat dapat mengatasinya dengan misalnya memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam aktivitas perdagangan karbon, meningkatkan peran masyarakat adat dalam pelestarian hutan, dan menggunakan dana yang diperoleh dari hasil aktivitas perdagangan karbon untuk penguatan dan perlindungan masyarakat adat.

Dalam penyusunan peraturan, sebaiknya pemerintah menghormati hukum-hukum adat yang bisa membantu upaya pelestarian hutan dan lingkungan.

Beberapa riset menunjukkan bahwa peran masyarakat adat dan hukum adat sangat penting dalam menjaga dan melindungi hutan.

Perdagangan karbon bisa menjadi solusi bagi masalah deforestasi dan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bahwa manfaat ekonomi dan lingkungan bisa diraih secara bersamaan jika kita berkomitmen melindungi lingkungan.The Conversation

Putu Sukma Kurniawan, Staf Pengajar Program Studi Akuntansi, Universitas Pendidikan Ganesha

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: