Yohanes Sulaiman, Universitas Jendral Achmad Yani

Indonesia, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, tetap bersikeras menyelenggarakan pemilihan kepada daerah (pilkada) pada Desember 2020 meski angka kasus COVID-19 terus meningkat.

Pekan lalu, angka kasus di Indonesia telah lampaui 300.000 dan sejauh ini belum ada tanda melambatnya penyebaran.

Ahli kesehatan telah menyarankan penundaan pilkada guna mencegah penyebaran virus, tapi tidak digubris.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo tetap ngotot mengadakan pilkada. Anak sulungnya, Gibran Rakambuming Raka, maju sebagai calon Wali Kota Solo, Jawa Tengah. Sedangkan menantunya, Bobby Nasution, menjadi calon Wali Kota Medan, Sumatera Utara.

Jokowi telah menolak usulan dari dua organisasi Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang meminta penundaan pilkada. Kedua organisasi tersebut khawatir terhadap risiko penyebaran virus ketika pilkada tetap berlangsung.

Penolakan terhadap usulan organisasi Islam tersebut, terutama NU penting untuk dicermati sebab, Wakil Presiden Jokowi, Ma`aruf Amin, berasal dari NU dan NU memegang peran penting dalam terpilihnya Jokowi pada pemilihan presiden 2019 silam.

Jokowi dikenal dengan julukan “Presiden Rakyat”, tapi tampaknya dia kurang peduli pada suara publik yang juga menyarankan penundaan pilkada. Hasil survei di masyarakat menunjukan 63% memilih untuktunda pesta demokrasi ini.

Saya berpendapat, bahwa keputusan pemerintah tidak menunda pilkada sebagian besar disebabkan oleh alasan ekonomi, meski faktor politik juga turut menentukan.

Alasan ekonomi

Pada September, enam bulan sesudah virus COVID-19 masuk di Indonesia, Jokowi mengubah fokus kebijakan dari ekonomi ke sektor kesehatan.

Akan tetapi, keputusan Jokowi untuk tetap menjalankan pilkada menunjukkan bahwa pemerintah masih menjadikan ekonomi prioritasnya.

Pilkada selalu terlihat menguntungkan dari sisi ekonomi, seperti menyuntikkan anggaran di masyarakat, baik secara legal melalui persiapan logistik pemilu, atau bahkan ilegal melalui praktik jual-beli suara, apalagi ketika ekonomi bangsa sedang sulit bahkan mengalami resesi.

Pemerintah terus keluarkan anggaran untuk infrastuktur guna memicu pertumbuhan ekonomi, sayangnya proyek yang mengandalkan perusahaan milik negara tidak memberi dampak besar, setidaknya dalam jangka pendek.

Pemilihan kepala daerah bisa memberikan suntikan dana lebih cepat dan bisa meningkatkan daya beli dan stimulus ekonomi masyarakat.

Alasan kedua, ialah anggaran pilkada itu sendiri.

Selama pandemi, pemerintah telah mengeluarkan lebih banyak uang dari yang dianggarkan sebelumnya untuk membeli alat pelindung selama pemilihan. Hal ini membuat anggaran pilkada membesar hingga 35% menjadi Rp 20 triliun.

Sampai saat ini, 93,2% dari total anggaran telah dikucurkan oleh pemerintah pada awal September

Jika pilkada dibatalkan, pemerintah harus mengeluarkan uang lebih banyak. Ini bisa merugikan keuangan negara yang sudah membengkak karena COVID-19.

Alasan politik

Semakin lama pandemi berlangsung, semakin parah dampaknya pada kredibilitas pemerintahan Jokowi. Hal ini tentu juga akan berdampak pada ambisi rekan politik serta keluarganya yang mencalonkan dalam pilkada.

Meski tingkat kepercayaan masyarakat pada Jokowi masing tingga yaitu 79%, survei menunjukkan bahwa 82% dari responden menilai kondisi ekonomi negara memburuk.

Menjamin kesejahteraan ekonomi penting bagi presiden yang menjabat. Salah satu alasan terpenting mengapa Presiden pertama Sukarno pada 1960-an dan penggantinya Soeharto pada 1998 kehilangan posisinya adalah karena kondisi ekonomi yang buruk, yang mendorong adanya protes besar yang akhirnya meruntuhkan rezim mereka.

Selain itu, banyak petahana secara bebas menggunakan bantuan COVID-19 pemerintah untuk tujuan politik mereka. Beberapa kandidat telah menggunakan uang untuk melobi dukungan dari partai dan pemimpin daerah yang berpengaruh dalam kemenangan mereka.

Kandidat ini akan menghadapi risiko harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk mengamankan dukungan politik mereka dalam masa-masa tidak menentu saat pandemi.

Kekurangan dari argumen pemerintah

Pemerintah sendiri menyatakan alasan tetap mengadakan pilkada adalah karena penundaan pilkada melanggar hak konstitusi rakyat untuk memilih dan akan berakibat pada kosongnya pemimpin di tingkat daerah.

Tapi tidak satu pun dari alasan itu yang valid. Menunda pemilu bukan berarti melanggar hak konstitusional rakyat untuk memilih selama pilkada akan tetap dilaksanakan setelah wabah terkendali. Tidak ada dalam konstitusi yang mencegah penundaan pemilihan kepala daerah.

Ini juga tidak menyebabkan krisis kosongnya kepemimpinan selama pemerintahan mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu). Pemerintah sendiri juga telah menunda pilkada satu kali pada September lalu.

Pemerintah juga bisa memilih pejabat daerah atau memperpanjang masa jabatan kepala daerah saat ini untuk memecahkan masalah ini.

Argumen lain untuk tidak menunda pilkada adalah fakta bahwa negara lain, terutama Amerika Serikat, tidak menunda pemilihan presiden mereka.

Argumen ini juga bermasalah.

Korea selatan yang menyelenggarakan pemilihan umum saat pandemi bisa mengontrol jumlah kasus COVID-19 ketika itu, sedangkan Indonesia belum mampu melakukannya.

Untuk kasus Amerika Serikat, hukum di Amerika Serikat secara tegas mengatakan, masa jabatan empat tahun presiden dan wakil presiden harus berakhir pada 20 Januari waktu siang. Akibatnya penundaan pemilihan presiden sulit untuk dilakukan.

Belum lagi fakta bahwa penundaan pemilihan Presiden Amerika Serikat harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat. Dengan polarisasi politik yang tajam di Amerika Serikat saat ini, butuh waktu yang lama untuk mendapatkan persetujuan tersebut.

Kesimpulannya, meski pemerintahan Jokowi telah memberi argumen untuk tidak menunda pilkada, pada akhirnya pertimbangan ekonomi dan politik yang paling berpengaruh.


Wiliam Reynold menerjemahkan artikel ini ke dalam Bahasa Indonesia.The Conversation

Yohanes Sulaiman, Associate Lecturer, School of Government, Universitas Jendral Achmad Yani

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: