Rahmat Edi Irawan, Binus University dan Merry Fridha, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Saat ini, bukan hal yang aneh ketika orang tua membagi foto dan video anak mereka di media sosial.

Para orang tua ini dengan bangga menampilkan anak beserta diri mereka dalam satu foto maupun video disertai dengan ungkapan kebanggaan terhadap kepintaran sang anak.

Kebiasaan tersebut dikenal dengan sebutan sharenting yang berasal dari kata oversharing dan parenting yang bisa diartikan sebagai salah satu pola pengasuhan yang cenderung membagikan berbagai sisi perkembangan anak melalui media sosial.

Perilaku sharenting ini diperkirakan mulai ada sejak media sosial hadir dan banyak orang tua yang melakukannya tanpa menyadari risiko dan dampak yang terjadi pada anak mereka.

Artikel ini berusaha membahas beberapa akibat negatif dari aksi sharenting dan apa yang bisa kita lakukan untuk mencegahnya.

Sharenting: antara eksploitasi dan komersialisasi anak

Setiap orang tua bisa melakukan sharenting, baik mereka orang biasa maupun orang terkenal.

Orang tua ini dengan bangga membagikan foto dan video anak mereka sejak masih dalam janin hingga mereka lahir dan tumbuh.

Umumnya orang tua merasa bahwa sharenting bukan hal yang salah karena tidak ada yang dirugikan.

Namun ahli hukum hak anak-anak dari Amerika Serikat Stacey B. Steinberg dalam penelitiannya mengatakan praktik sharenting berisiko menimbulkan perasaan tidak nyaman anak karena privasi sang anak disebarluaskan di media sosial. Rasa tidak nyaman tersebut akan muncul ketika sang anak telah mengerti dan merasa terganggu dengan perilaku orang tuanya.

Ketidaknyamanan itu berasal dari praktik sharenting yang berujung mengeksploitasi sang anak. Dengan kemasan foto dan video yang menarik, orang tua menjadikan anak model iklan di media sosial. Tak jarang, orang tua kemudian membuat akun media sosial atas nama sang anak dan kemudian mengisi akun tersebut dengan berbagai iklan.

Praktik mengeksploitasi anak tersebut bukan hal yang asing di kalangan artis atau selebgram. Sharenting pun akhirnya berujung pada praktik komersialisasi anak ketika ada ikatan kontrak sebagai imbal jasa membagi foto atau video anak berpose dengan sebuah produk atau jasa.

Bahkan di luar negeri, praktik menjual foto bayi, termasuk untuk iklan produk komersial, juga marak terjadi, dan tentu saja menimbulkan pro dan kontra, termasuk di kalangan artis itu sendiri.

Bentuk-bentuk sharenting di atas dapat menghilangkan hak anak. Bisa jadi setelah dewasa sang anak merasa tidak ingin momen-momen saat dirinya masih kecil dilihat banyak orang, namun foto-foto atau video tersebut sudah beredar dan menjadi milik publik.

Di sisi lain, karena sudah dijual hak komersialnya, sang anak sudah tidak memiliki hak lagi atas berbagai foto dan video momen-momen masa kecilnya tersebut.

Bahaya lain sharenting

Selain eksploitasi dan komersialisasi, terdapat bahaya lain ketika foto dan video anak banyak beredar di sosial media. Salah satunya adalah penyalahgunaan foto dan video anak oleh akun-akun media sosial yang berorientasi pada tindak kriminal seperti pelecehan anak, penjualan anak maupun penculikan.

Di Indonesia, kasus pelecehan anak di media online menunjukkan angka yang memprihatinkan. Kasus kejahatan seksual anak di media online naik hampir 60% pada 2019 dibanding setahun sebelumnya.

Dari data tersebut terlihat bahwa ancaman kejahatan seksual di media online tidak dapat diremehkan.

Kasus paling mengerikan adalah ketika ditemukannya grup pedofil bernama “Candy” di akun Facebook . Grup tersebut telah memiliki anggota hingga 7.000 orang. Di grup Facebook tersebut terpampang foto-foto maupun video anak-anak di bawah umur yang dicuri dari akun orang tua mereka. Mengerikan bukan?

Apa yang harus dilakukan

Sejatinya sharenting bukanlah hal yang tabu sama sekali. Akan tetapi risiko seperti eksploitasi, komersialisasi, dan tindakan kriminal atas anak akibat sharenting perlu ditanggapi dengan serius dan membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak untuk mencegahnya.

Orang tua harus memiliki pengetahuan yang cukup dalam menggunakan media sosial dan memahami privasi anak. Dan untuk dapat memahami hal tersebut diperlukan kemampuan literasi digital yaitu sebuah keterampilan dalam memahami dan menggunakan informasi digital. Dengan kemampuan literasi digital yang memadai maka orang tua akan selektif dalam menentukan foto atau video mana yang pantas dibagi ke media sosial.

Melindungi privasi anak dengan aksi menutup wajah anak yang dilakukan beberapa artis yang tidak mau privasi anaknya terganggu merupakan sebuah langkah bijak karena telah menghargai privasi anak. Ini seperti yang dilakukan pasangan artis penyanyi Raisa dan pasangannya aktor Hamish Daud.

 

Di sisi lain masyarakat diharapkan menjadi garda pengaman untuk aktif mengontrol atau melapor ke pihak berwenang bila ada penyalahgunaan penggunaan media sosial. Kemudian, pihak pemerintah semestinya lebih mempertegas sangsi terhadap penyalahgunaan pendistribusian foto dan video milik orang lain.

Michael Wolter berkontribusi dalam penerbitan artikel iniThe Conversation

Rahmat Edi Irawan, Dosen Ilmu Komunikasi, Binus University dan Merry Fridha, Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: