Yohanes Berchman Suhartoko, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Rancangan Undang-Undang (RUU) Bank Indonesia (BI) yang baru menimbulkan pro kontra tentang independensi bank sentral di Indonesia.

Salah satu tugas bank sentral adalah untuk menjaga tingkat inflasi di sebuah negara untuk memastikan hukum pasar yang bekerja. Oleh karena itu, penting bagi bank sentral untuk beroperasi secara independen dan selama ini BI sudah beroperasi secara independen.

RUU BI berencana mengubahnya dengan usulan pembentukan Dewan Moneter BI yang akan melibatkan perwakilan dari pemerintah yaitu Menteri Keuangan dan Menteri Perekonomian dalam proses pengambil keputusan. Artinya BI tidak akan independen lagi dengan adanya campur tangan pemerintah yang sangat kuat.

Alasan pemerintah melakukan intervensi terhadap BI melalui Dewan Moneter tersebut adalah untuk dapat membantu memastikan bahwa BI dapat membantu pemerintah dalam penanganan COVID-19.

Salah satu intervensi yang dilakukan saat ini adalah meminta BI membeli surat utang negara (SUN) yang diterbitkan untuk mengurangi beban defisit sebesar Rp 1.039 triliun untuk penanganan COVID-19 dan perbaikan ekonomipenanganan pandemi.

Sampai pertengahan September BI telah membeli SUN sebanyak Rp 99,08 triliun. Intervensi ini bisa dilakukan karena belum ada undang-undang yang mengaturnya.

Namun dalam kondisi normal atau tidak terjadi ancaman krisis ekonomi, sebaiknya BI tetap fokus kepada pengendalian inflasi, agar independensi BI tetap terjaga.

Pentingnya independensi bank sentral

Fakta menunjukkan bahwa kebijakan bank sentral yang diintervensi pemerintah berujung tidak baik.

Hal ini pernah dialami Indonesia pada 1953 – 1966. Ketika itu, BI lebih berperan sebagai pencetak uang bagi kepentingan pemerintah (seignorage). Akibatnya, inflasi Indonesia meroket hingga mencapai 635%.

Setelah tahun 1966 sampai 1998, BI pada awalnya berperan sebagai stabilisator perekonomian untuk menjaga kestabilan nilai rupiah dengan mengendalikan inflasi yang terjadi pada periode sebelumnya.

Bank sentral yang tidak independen berpotensi tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi secara objektif.

Sebagai contoh, bank sentral yang seharusnya melakukan kebijakan moneter mempertahankan suku bunga acuan untuk menjaga peningkatan inflasi, karena tekanan yang kuat dari pemerintah, harus terpaksa menurunkan suku bunga untuk mendorong investasi. Akibatnya yang terjadi adalah justru peningkatan inflasi.

Kondisi krisis

Perekonomian Indonesia saat ini sedang terpuruk karena pandemi COVID-19 menyebabkan roda perekonomian terganggu. Buktinya pada triwulan kedua tahun ini pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar minus 5,32%.

Jika pada triwulan ketiga kembali mencatatkan pertumbuhan negatif maka Indonesia dikategorikan masuk ke dalam resesi atau kemunduran ekonomi. Beberapa dampaknya adalah meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan


Baca juga: Resesi mengintai Indonesia di bulan September: apa penyulutnya dan akibatnya


.

Pada kondisi ini kekuatan pembiayaan pemerintah sangat terbatas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi agar tidak jatuh dalam jurang resesi yang semakin dalam.

Sampai akhir Juli Utang pemerintah berada di angka Rp 5.434,86 triliun, nilai ini meningkat Rp 831,24 triliun dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar Rp 4.603,62 triliun. Peningkatan ini terjadi karena kebutuhan pembiayaan untuk menangani dampak COVID-19. Utang pemerintah ini didominasi oleh surat utang negara yang mencapai 84,57% atau sebesar Rp 4.596,26 triliun.

Penambahan utang pemerintah akan menimbulkan beban di kemudian waktu jika tidak mempertimbangkan kemampuan penerimaan negara. Berkaitan dengan itu, perlu dilakukan pembagian beban pembiayaan antara pemerintah dengan bank sentral.

BI bisa tetap independen dalam kebijakan moneter atau keuangan, namun peran ini bisa ditinjau ulang selama krisis agar bisa berbagi beban dalam menyelamatkan ekonomi bangsa.

Rekomendasi untuk pemerintah

Pemerintah harus tetap menjaga independensi BI dalam penanganan krisis ekonomi negara ini.

Di sisi lain, pemerintah juga harus memastikan BI sigap dalam membantu penanganan krisis. Oleh karena perumusan RUU BI harus mempertimbangkan beberapa hal:

Pertama, memastikan bahwa keputusan moneter yang diambil BI harus tetap independen. Hal ini bisa dilakukan dengan memastikan bahwa Dewan Moneter harus dikendalikan oleh Gubernur BI tanpa turut camput pemerintah.

Kedua RUU BI perlu menambahkan pasal mengenai koordinasi pemerintah dan Bank Indonesia, terutama dalam kondisi ekonomi yang membutuhkan pembagian beban diantara keduanya.

Pasal ini menjadi penting, mengingat dalam kondisi ekonomi yang buruk, pemerintah perlu melakukan intervensi yang harus disertai dasar hukum yang kuat. Hal ini bertujuan agar keputusan pelaksanaan kebijakan dapat dilakukan dengan cepat, mengingat suatu kebijakan ekonomi membutuhkan waktu antara pelaksanaan kebijakan dengan dampaknya.

Terakhir, pemerintah sebaiknya jangan terburu-buru mengesahkan RUU BI menjadi undang-undang. Perlu kajian yang lebih mendalam agar perubahan undang-undang mengenai Bank Indonesia tidak mengulangi kesalahan lama yang berdampak buruk kepada perjalanan ekonomi nasional.

Sisi moneter dan sisi riil perlu berkoordinasi bahkan saling memperkuat agar dapat bersinergi dalam membangun perekonomian bangsa.The Conversation

Yohanes Berchman Suhartoko, Dosen Program Studi S 1 Ekonomi Keuangan dan Perbankan dan Magister Ekonomi Terapan Unika Atma Jaya Jakarta, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: