Hermudananto, Universitas Gadjah Mada

Mulai Mei lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperkenalkan konsep Multiusaha Kehutanan atau pengembangan diversifikasi usaha di sektor kehutanan akibat penurunan produksi kayu sejak 1990-an dan pandemi COVID-19.

Pada dasarnya, konsep ini mencakup 3 pilihan pengelolaan hutan, yaitu usaha pemanfaatan kawasan, usaha jasa lingkungan, dan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pada areal yang memiliki Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK).

Artikel ini mengungkapkan bahwa skema Multiusaha Kehutanan dapat meningkatkan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan.

Lebih lanjut, skema ini bisa menghindarkan kerusakan hutan karena meningkatkan nilai hutan, tidak hanya kayu.

Multiusaha Kehutanan : tata kelola hutan bukan kayu

Konsep Multiusaha Kehutanan ini sudah cukup lama dikenal di sektor kehutanan pada 1980-an di dunia atau bahkan periode sebelumnya dengan nama multiple-use forest management.

Penerapan Multiusaha Kehutanan hanya dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi yang memiliki fungsi pokok untuk memproduksi hasil hutan.

Potensi areal ini seluas 68,8 juta hektare atau 57% dari total kawasan hutan saat ini di Indonesia.

Sekitar 30 juta hektare dari luasan tersebut sudah diberikan untuk izin pemanfaatan hutan alam dan hutan tanaman sebagai penghasil kayu bulat, sisanya belum dibebani oleh izin apa pun.

Sehingga, penerbitan peraturan menteri terkait 3 pilihan tata kelola hutan menjadi dasar bagi para pemegang izin mulai mengajukan permohonan ke pemerintah untuk perencanaan dan pelaksanaan Multiusaha Kehutanan di areal mereka.

1) Usaha pemanfaatan kawasan

Usaha pemanfaatan kawasan dapat diartikan sebagai kegiatan untuk memanfaatkan ruang tumbuh, sehingga diperoleh manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi secara optimal dengan tidak mengurangi fungsi utama.

Sebagai contoh, budi daya tanaman obat, tanaman hias, jamur, lebah, atau sarang burung walet, serta penangkaran atau rehabilitasi satwa.

Produksi kayu bulat menjadi usaha pemanfaatan kawasan hutan yang dominan saat ini bagi pengelola hutan di Indonesia.

Pada 2018 produksi kayu bulat mencapai 7 juta meter kubik dari hutan alam dan 40 juta meter kubik dari hutan tanaman.

Semua hasil produksi ini untuk kebutuhan bahan baku industri kerajinan kayu (woodworking), kayu lapis, hingga pulp dan kertas, di dalam negeri.

Dengan adanya pemanfaatan kawasan ini diharapkan ruang tumbuh pada areal hutan produksi oleh perusahaan hutan tidak hanya memberikan manfaat ekonomi dari hasil produksi kayu bulat saja, namun juga dapat memelihara ekosistem dan memberi manfaat kepada masyarakat.

2) Usaha jasa lingkungan

Pemerintah Indonesia perlu mengembangkan pasar karbon melalui pengelolaan hutan yang memaksimalkan penyerapan emisi karbon dioksida, melalui penanaman kawasan hutan dengan jenis-jenis tanaman lokal.

Pasar karbon adalah bentuk perdagangan untuk melepas atau menurunkan 6 jenis emisi gas rumah kaca (dalam satuan setara-ton-CO2), yaitu karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrat oksida (NO), hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorocarbons (PFCs), atau sulfur heksafluorida (SF6).

Dalam pasar ini dimungkinkan untuk kegiatan jual beli sertifikat pengurangan emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim (perdagangan karbon).

Sebagai contoh, multiusaha kehutanan yang dilakukan oleh Sveaskog, perusahaan hutan terbesar di Swedia, berhasil menurunkan emisi karbon sebesar 23% pada 2019 dibandingkan tahun 2010.

Perusahaan ini berhasil mengembangkan usaha selain produksi kayu, seperti penggunaan bahan bakar terbarukan dan logistik transportasi yang efisien, dari lahan seluas 3 juta hektare.

Bentuk usaha jasa lingkungan lainnya adalah ekowisata.

Kegiatan pariwisata yang menekankan kepada aspek konservasi alam dan pemberdayaan masyarakat lokal ini bisa menjadi andalan Indonesia untuk pengembangan jasa lingkungan.

Contohnya, ekowisata bakau di Teluk Bintuni, Papua, yang bisa dikembangkan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal atau mancanegara sebagai alternatif wisata selain Raja Ampat yang sudah cukup terkenal.

3) Usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu

Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dapat berupa hasil hutan hayati, baik nabati maupun hewani, beserta produk turunannya.

Umumnya, kegiatan pemanfaatan ini dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan secara tradisional yang dilaksanakan turun-temurun atau dengan skala usaha sangat kecil.

Belum optimalnya pemanfaatan produk ini karena data potensi dan distribusi produk belum tersedia secara akurat, teknologi budi daya dan pengolahan belum menghasilkan produk dengan kualitas terbaik, hingga akses pasar terbatas.

Saat ini, hanya sekitar 2% dari 556 jenis komoditas yang potensial dan prioritas untuk dikembangkan karena sudah memiliki pasar yang cukup luas.

Contohnya, gaharu, karet, jelutung, pinus, bambu, rotan, kayu putih, sereh wangi, madu, kopi, aren dan damar melalui pola agroforestri atau tumpang sari yang sudah dikenal Indonesia sejak 1890-an.

Padahal, data produksi sektor kehutanan tahun 2013-2017 menunjukkan bahwa produk hasil hutan bukan kayu untuk kelompok rotan, minyak, resin dan karet, akar-umbi-jamur, kulit, bunga-buah-biji, dan lainnya tidak sedikit produksi yang dihasilkan.

Produksi tertinggi untuk kelompok resin dan karet berasal dari getah pinus dengan rata-rata produksi tahunan periode 2014-2018 sebanyak 105 ribu ton, disusul oleh kelompok akar-umbi-jamur, kemudian kelompok rotan.

Menurut saya, kunci keberhasilan implementasi Multiusaha Kehutanan harus memperhatikan beberapa hal, antara lain, kesesuaian tipologi hutan dan karakteristik dari biografis, biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya dari suatu kawasan hutan.

Selain itu, penyusunan rencana pengelolaan hutan juga harus tepat dalam menentukan jenis komoditas unggul untuk kebutuhan produksi.

Datangkan devisa, ciptakan lapangan kerja, dan lindungi hutan

Pengalihan usaha non-kayu ini menimbulkan dampak positif lainnya seperti menambah devisa negara, menciptakan lapangan kerja, bahkan melindungi hutan.

Tahun lalu Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) menganalisis potensi target kontribusi devisa dari Multiusaha Kehutanan mencapai US$ 132 miliar (atau sekitar Rp 2 kuadriliun dengan kurs US$1 = Rp 15.000) pada 2045 atau 11 kali lipat dari devisa saat ini.

Kontribusi devisa negara ini selain berasal dari hasil produk kayu, juga datang dari hasil hutan bukan kayu, industri kayu, dan ekowisata, baik di Jawa oleh Perum Perhutani maupun di luar Jawa.

Analisis oleh asosiasi pengusaha hutan ini mendukung upaya pemerintah terhadap implementasi konsep Multiusaha Kehutanan untuk para anggotanya. Tim kajian implementasi Multiusaha Kehutanan ini mayoritas berasal dari akademisi yang tentunya juga berkonsultasi ke berbagai pemangku kepentingan (termasuk para pengusaha hutan).

Keuntungan lainnya, konsep ini mampu menyerap tenaga kerja di sektor kehutanan, terutama masyarakat di dalam dan sekitar hutan.

Hingga saat ini, tercatat hampir 4 juta orang yang bekerja di sektor kehutanan atau naik sekitar 35 kali lipat dari tahun 1980-an, dengan dominan produksi hasil kayu.

Multiusaha Kehutanan ini bisa menciptakan lapangan kerja karena bersifat keragaman usaha, tidak hanya hasil hutan kayu.

Misalnya, tenaga kerja baru untuk proses pembudidayaan, pemanenan hingga pengolahan dari hasil hutan bukan kayu, atau tenaga kerja dalam mempersiapkan atau memfasilitasi kegiatan ekowisata.

Dari segi perlindungan hutan, skema ini diharapkan bisa mengurangi konversi hutan menjadi perkebunan karena memiliki nilai tambah ekonomi selain hasil kayu semata.

Selain itu, skema ini mendorong adanya kemitraan atau kerja sama dengan pihak lain, misalnya pemerintah dengan masyarakat lokal.

Harapannya, kerja sama ini akan mengurangi potensi konflik penggunaan lahan yang sering terjadi.

Apa yang harus disiapkan?

Untuk menjalankan skema Multiusaha Kehutanan ini, pemerintah harus bisa menyiapkan stimulus untuk memotivasi para pelaku perusahaan pengelola hutan di Indonesia.

Pertama, pemerintah harus memberikan kemudahan proses perizinan melalui revisi rencana pengelolaan hutan yang ada saat ini.

Contohnya, kriteria penilaian proposal Multiusaha Kehutanan yang tidak memberatkan pengusaha, termasuk juga birokrasi perizinan yang tidak berbelit-belit.

Kedua, mendampingi perusahaan agar proses penyiapan rencana Multiusaha Kehutanan dapat memenuhi kriteria penilaian yang ditetapkan oleh pemerintah.

Ketiga, memberikan insentif lain berupa pengurangan pungutan kepada perusahaan.

Keempat, dukungan kemudahan untuk mendirikan industri pengolahan di dalam areal hutan dari produk selain kayu tersebut juga diperlukan untuk memperlancar proses pengembangan usahanya dan menjaga kualitas produk.

Terakhir, jaminan pasar atau promosi dari pemerintah akan produk atau jasa yang dikembangkan oleh perusahaan akan turut memotivasi investor.

Arah pengembangan kehutanan nonkayu sudah sangat sesuai, terlebih lagi dengan kondisi pagebluk saat ini.

Kerusakan hutan juga perlu terus diredam dengan terus meningkatkan nilai hutan selain kayu, seperti hasil hutan bukan kayu dan jasa ekosistem.


Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di sini.The Conversation

Hermudananto, Dosen Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: