Ahmad Nurhasim, The Conversation; Andre Arditya, The Conversation; Fidelis Eka Satriastanti, The Conversation; Ika Krismantari, The Conversation, dan Yessar Rosendar, The Conversation

Senin sore kemarin, Dewan Perwakilan Rakyat buru-buru mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) omnibus law Cipta Kerja menjadi undang-undang (UU) dalam sebuah sidang paripurna yang diwarnai walkout Fraksi Demokrat dan protes buruh.

Enam Fraksi DPR - yaitu PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, dan PPP -menyetujui undang-undang baru yang menuai banyak protes ini. PAN menerima dengan catatan; sementara PKS dan Demokrat menolak.

Sidang paripurna itu dihadiri tak kurang dari 11 menteri, di antaranya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.

Sidang paripurna digelar hanya dua hari setelah pemerintah dan DPR menyepakati RUU Cipta Kerja di tingkat Panitia Kerja. Kesepakatan itu dibuat pada Sabtu malam. Saat itu, DPR sepakat untuk menggelar sidang paripurna untuk mengesahkan RUU tersebut pada Kamis, 8 Oktober.

Sidang begitu terburu-buru hingga banyak anggota DPR terlambat mengetahui agenda pengesahan regulasi baru ini.

Selanjutnya, UU ini diserahkan ke Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk ditandatangani. Jokowi kemungkinan besar akan segera menandatanganinya karena UU sapu jagat ini merupakan inisiatif pemerintah. Setelah dicatat dalam lembaran negara, protes dan keberatan atas pasal-pasal bermasalah bisa diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Kami meminta beberapa ahli untuk menganalisis dan menyampaikan pandangan mereka terhadap UU yang sebelumnya sudah banyak ditentang oleh organisasi buruh dan organisasi masyarakat sipil.

Proses sangat buruk dalam membuat UU

M Nur Sholikin - Peneliti Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) dan pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera

Proses pembentukan UU Cipta Kerja di DPR semakin menunjukkan adanya persoalan besar dalam penggunaan pendekatan omnibus law oleh presiden dan DPR.

Pembahasan UU dimonopoli oleh DPR dan presiden melalui menteri-menterinya.

Hak masyarakat untuk berpartisipasi dan mendapatkan informasi yang penuh tidak dipenuhi.

Bahkan proses pembahasan tidak lazim, seperti rapat kerja yang dilakukan saat reses dan rapat di luar hari kerja. Terakhir, pengesahan dilakukan sangat buru-buru di luar jadwal yang beredar di publik.

Ada tiga hal yang perlu kita garis bawahi.

Pertama, Presiden dan DPR telah mempraktikkan kembali cara-cara buruk dalam membentuk undang-undang. RUU Cipta Kerja disiapkan, dibahas, dan disahkan dengan prosedur yang tidak transparan, partisipatif dan akuntabel.

Proses buruk ini berlawanan dengan dalih pemerintah bahwa penggunaan metode omnibus law ini adalah bagian dari penataan regulasi. Proses ini sangat tidak tertib dan meninggalkan aspirasi publik. Dengan demikian, presiden dan pemerintah melanggengkan tata kelola legislasi yang buruk.

Kedua, DPR tidak menjalankan fungsi legislasi dengan baik. Reformasi menghendaki adanya penguatan fungsi legislasi DPR dengan memberikan kekuasaan legislasi lebih condong ke DPR. Namun, proses pembentukan UU Cipta Kerja lebih memperlihatkan lemahnya fungsi legislasi DPR saat berhadapan dengan eksekutif. Kontrol kebijakan terhadap usulan presiden tidak dijalankan secara optimal sehingga tidak ada proses checks and balances.

Ketiga, DPR juga telah mencederai fungsi perwakilan. DPR membahas dan mengesahkan UU tanpa membuka ruang dialog yang luas dengan publik secara terbuka. Dewan bahkan terkesan mendiamkan saat aparat menekan publik menyampaikan aspirasinya.

Pembahasan UU Cipta Kerja ini menunjukkan jelas bagaimana DPR semakin berjarak dengan masyarakat. Pola ini memperburuk hubungan DPR dan rakyat.

Proses pembentukan UU Cipta Kerja ini akan menjadi preseden buruk dalam tata kelola legislasi dan membangun sistem representasi yang baik antara DPR dan publik.

Melihat konfigurasi politik saat ini, bukan tidak mungkin praktik yang buruk ini akan dilakukan terus oleh DPR bersama Presiden.

Terlebih masih ada berbagai tuntutan untuk merevisi berbagai undang-undang pada sektor seperti pendidikan, partai politik, dan pemilihan umum dengan menggunakan pendekatan omnibus law.

Dalam perundang-undangan, kondisi ini dapat berdampak pada lemahnya legitimasi suatu UU dan juga berdampak pada pelaksanaan.

UU Cipta Kerja dihadapkan pada minimnya legitimasi ini. Penerapannya akan menimbulkan pertentangan antara kelompok yang diuntungkan, seperti kalangan investor dan pengusaha, versus kelompok yang dirugikan seperti pekerja/buruh, kelompok marginal seperti masyarakat hukum adat, dan pegiat lingkungan.

Investor tidak akan datang jika wabah tidak tertangani

Bhima Yudhistira Adhinegara - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)

Undang-Undang Cipta kerja sama sekali tidak penting untuk disahkan saat ini.

Selain karena dilakukan secara terburu-buru, pemerintah seharusnya fokus pada masalah utama saat ini yakni masih tingginya angka penularan wabah COVID-19.

Penanganan pandemi harusnya menjadi fokus. Tidak akan ada investor mau masuk ke Indonesia jika melihat kasus penularan COVID-19 masih tinggi dan banyak negara menutup pintu masuk untuk warga negara Indonesia.

Pandemi juga membuat investor kurang tertarik masuk ke Indonesia, karena daya beli masyarakat sedang menurun, mobilitas terganggu, kapasitas produksi industri juga menurun.

Ketidakmampuan pemerintah dalam melihat masalah yang mendasar sangat fatal bagi kepercayaan investor ke depan.

Di samping itu, akan ada ribuan aturan teknis dari mulai peraturan pemerintah, peraturan menteri sampai ke peraturan daerah yang berubah akibat dari pengesahan UU omnibus law.

Hal ini akan jadi kontraproduktif karena pelaku usaha yang mau ekspansi dan merekrut tenaga kerja jadi berpikir ulang terkait dengan perubahan regulasi yang ada. Saat ini yang dibutuhkan adalah kepastian hukum pada saat resesi. Namun yang terjadi akan banyak investor dan pelaku usaha yang akan menunggu aturan teknis omnibus law keluar.

Investor kakap juga mengirimkan surat keberatan atas pengesahan omnibus law karena berdampak negatif bagi lingkungan hidup. Padahal standar negara maju dalam berinvestasi sangat ketat terkait lingkungan hidup. Jika prinsip dasar tersebut diturunkan standarnya dalam UU Cipta Kerja maka sulit mengharapkan adanya investasi besar dari negara maju.

Keluarnya dana asing dan nota protes dari investor adalah tanda adanya ketidakpercayaan bahwa omnibus law adalah solusi menarik investasi dan pemulihan ekonomi di tengah resesi.

Di Bab Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja, pengurangan hak pesangon akan menurunkan daya beli buruh. Hal ini tidak bisa diterima oleh pekerja yang saat ini rentan diputus hubungan kerjanya. Padahal buruh membutuhkan pesangon yang adil untuk mempertahankan biaya hidup pada saat sulit mencari pekerjaan baru.

Kemudian soal kontrak terus menerus tanpa batas akan membuat ketidakpastian kerja meningkat. Jenjang karier bagi pegawai kontrak pun tidak pasti karena selamanya bisa dikontrak. Praktik ini merupakan strategi pengusaha untuk menekan biaya pensiun atau pesangon dan tunjangan lain, tapi merugikan pekerja karena haknya tidak sama dengan pegawai tetap.

Masalah yang saat ini lebih mendesak dibandingkan memulihkan investasi dan menarik relokasi pabrik adalah penanganan pandemi, pemulihan konsumsi rumah tangga, pemberantasan korupsi, peningkatan kualitas lingkungan hidup hingga bagaimana cara pemerintah menekan biaya logistik. Itu semua luput dari pembahasan omnibus law.

Saya perkirakan investasi baik penanaman modal asing dan dalam negeri pada 2021 masih tetap rendah meskipun omnibus law disahkan. Cepat atau lambat pasti ada pihak yang akan mengajukan uji materi ke MK untuk membatalkan UU Cipta Kerja.

UU ini hilangkan perlindungan lingkungan demi investasi

Raynaldo Sembiring - Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)

UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia tidak siap untuk memperkuat perlindungan lingkungan hidup.

Dan, malah sebaliknya, menganggap proteksi lingkungan hidup sebagai sebuah ancaman dan hambatan bagi percepatan investasi di Indonesia.

Hal ini terlihat dari pernyataan-pernyataan Presiden dan para menteri di bidang ekonomi yang menganggap bahwa perlindungan lingkungan, seperti AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan) hanya dilihat sebagai proses yang lama, menyulitkan pengusaha dan bisnis semata.

Padahal, bisnis yang baik membutuhkan ekosistem lingkungan yang baik.

Secara substansi, justru itu pentingnya peran AMDAL dan izin lingkungan, dan instrumen-instrumen pengelolaan lingkungan hidup lainnya.

UU yang baru ini telah menghilangkan izin lingkungan dan pasal keterlibatan masyarakat, dan hak mengajukan keberatan.

Sementara, “roh” dalam AMDAL adalah partisipasi publik karena mensyaratkan adanya riset lapangan untuk melihat baik kondisi lingkungan, masyarakat, hingga potensi adanya dampak pencemaran apabila dilakukan suatu pembangunan di daerah tertentu.

Lebih lanjut, Komisi Penilai AMDAL yang lebih independen karena beranggotakan institusi, masyarakat dan ahli, juga dihilangkan.

Sebagai gantinya, kewenangan komisi ini akan diserahkan kepada satu organisasi di bawah pemerintah yang akan menunjuk ahli-ahli yang bersertifikat.

Bentuk komisi penilai seperti ini, meski beranggotakan para ahli, tidak akan bisa merepresentasikan kondisi sebenarnya di lapangan karena tidak ada perwakilan masyarakat.

Langkah yang bisa dilakukan oleh masyarakat sipil dengan terbitnya UU Cipta Kerja ini adalah melakukan uji formil dan uji material ke Mahkamah Konstitusi.

Uji formil perlu diajukan untuk melihat apakah proses penyusunan UU sudah sesuai dengan peraturan perundangan-undangan atau tidak. Proses uji formil ini perlu untuk memberikan sebuah kritikan dan koreksi terhadap proses penyusunan perundang-undangan dengan metode seperti ini (omnibus law).

Kalau tidak ada koreksi, metode seperti ini akan direplikasi dalam penyusunan peraturan di Indonesia.

Untuk uji material bisa dilakukan kapan oleh warga negara, aliansi dan organisasi buruh dan lingkungan hidup untuk menguji pasal-pasal UU Cipta Kerja terhadap UUD 1945.

Langkah lainnya, saya tetap berharap agar para penyusun peraturan pelaksana (PP) bisa memiliki inisiatif untuk mengembalikan kembali partisipasi masyarakat. Hal ini bisa mengurangi dampak dari UU Cipta Kerja terhadap sektor lingkungan hidup.

Dengan proses pembahasan UU yang menghilangkan partisipasi publik, mau tidak mau baik kelompok masyarakat dan warga negara harus lebih proaktif dalam setiap rencana pembangunan.The Conversation

Ahmad Nurhasim, Editor Sains + Kesehatan, Kepala Divisi Training, The Conversation; Andre Arditya, Editor Politik + Masyarakat, The Conversation; Fidelis Eka Satriastanti, Editor Lingkungan Hidup, The Conversation; Ika Krismantari, Deputi Editor Eksekutif, The Conversation, dan Yessar Rosendar, Business + Economy (Indonesian edition), The Conversation

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: