Ibnu Budiman, World Resources Institute; Eli Nur Nirmala Sari, World Resources Institute; Rahmah Devi Hapsari, World Resources Institute; Rizky Januar, World Resources Institute, dan Willy Daeli, World Resources Institute

Kebakaran hutan dan lahan terjadi hampir setiap tahun di Indonesia sejak 1997.

Salah satu pemicu kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia adalah keringnya lahan gambut akibat pembukaan lahan untuk kegiatan budidaya, seperti perkebunan dan pertanian.

Lahan gambut merupakan lahan basah yang terdiri dari sisa-sisa tumbuhan yang terbentuk selama ratusan hingga puluhan ribu tahun.

Konsesi dan masyarakat lokal sering kali harus mengeringkan lahan gambut ini dan mengubahnya menjadi lahan untuk menanam berbagai macam tanaman sebagai sumber penghasilan mereka.

Pengeringan lahan gambut inilah yang telah memicu terjadinya kebakaran lahan yang terjadi setiap tahun di Indonesia dan menimbulkan kerugian ekonomi dan meningkatkan emisi karbon.

Lahan gambut yang terbakar juga menghasilkan asap yang memicu gangguan pernapasan penduduk, tidak hanya di Indonesia tapi juga negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.

Tahun 2019, Indonesia telah mengalami kerugian ekonomi sebesar US$5,2 miliar atau Rp77 triliun akibat kebakaran hutan dan lahan.


Baca juga: Kebakaran hutan dan lahan akan menyebabkan masalah kesehatan anak di masa depan


Salah satu cara menurunkan risiko kebakaran hutan dan lahan adalah dengan memulihkan (restorasi) lahan gambut setidaknya kembali ke kondisi basah.

Sejak tahun 2016, pemerintah sudah memulai program restorasi lahan gambut di bawah koordinasi Badan Restorasi Gambut (BRG) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK).

Selain melakukan pembasahan kembali lahan gambut, salah satu strategi restorasi lain adalah dengan memberikan alternatif mata pencaharian pada masyarakat di wilayah gambut agar masyarakat tidak melakukan kegiatan yang dapat merusak gambut.

Sayangnya, beberapa alternatif mata pencaharian yang dilakukan belum berhasil mendukung upaya kegiatan restorasi lahan gambut.

Misalnya, kegiatan menanam nanas, kopi, dan buah naga di kabupaten Pulang Pisau (Kalimantan Tengah) dan Tanjung Jabung Timur (Jambi) yang pada praktiknya dilakukan pada lahan gambut yang telah mengalami pengeringan karena jenis-jenis tanaman tersebut memerlukan lahan yang kering.

Akibatnya, hal ini tidak mendukung pembasahan lahan gambut dan dapat meningkatkan risiko terjadinya kebakaran.

Kegiatan restorasi tersebut juga melibatkan aktivitas pengapuran yang mengakibatkan kerusakan lingkungan lainnya, seperti penurunan tanah dan penambahan emisi karbon.


Baca juga: Tidak cukup restorasi gambut untuk mencegah kebakaran hutan berulang di Sumatra dan Kalimantan


Oleh karena itu, tim kami, terdiri dari ahli lingkungan, ahli gambut, ahli kebijakan, antropolog, dan ahli geografi, berusaha mencari strategi mata pencarian alternatif untuk pemulihan dengan membuat lahan gambut menjadi zona yang ramah lingkungan tetapi tetap memiliki nilai ekonomi melalui konsep Special Pilot Economic Zone atau SPEZ.

Konsep Kawasan Pilot Khusus Ekonomi (SPEZ)

Konsep ini merupakan pengembangan dari konsep kawasan ekonomi khusus yang dikembangkan oleh Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) pada tahun 2008 dan sudah dikerjakan oleh negara-negara Afrika seperti Tanzania.

Tanzania berhasil mengembangkan sebuah kawasan ekonomi khusus yang tidak hanya berkontribusi dalam memberikan pendapatan tapi juga melindungi lingkungan.

Dalam kawasan tersebut, Tanzania mengembangkan pertanian sebagian besar jenis-jenis hortikultur seperti sayuran, buah, dan kentang.


Baca juga: Pengelolaan gambut berkelanjutan dan masalah akut kesenjangan ilmiah


Hasil penelitian kami di tiga provinsi, yaitu Sumatra Selatan, Riau, dan Kalimantan Tengah, menemukan bahwa Indonesia dan provinsi-provinsi ini sudah memiliki perangkat regulasi yang cukup untuk menerapkan SPEZ, antara lain aturan tentang Kawasan Ekonomi Khusus dan perlindungan lahan gambut, serta sejumlah praktik pengelolaan ramah lingkungan.

Dengan menghubungkan perangkat regulasi yang sudah ada, Indonesia bisa mengembangkan SPEZ ini sebagai strategi alternatif pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan bagi lingkungan, ekonomi, dan sosial masyarakat.

Sistem pengelolaan yang bisa diterapkan dalam zona adalah pengelolaan lahan gambut dengan konsep paludikultur yang dilakukan tanpa melakukan pengeringan lahan dan dengan menggunakan jenis tanaman asli dan adaptif terhadap lahan gambut basah.

Sistem pengelolaan tersebut juga dilengkapi dengan strategi bisnis yang dikelola oleh kelompok masyarakat, contohnya memaksimalkan fungsi koperasi dan BUMD (Badan Umum Milik Daerah).

Cara mewujudkan SPEZ

Konsep SPEZ ini masih konseptual dan belum sepenuhnya terlaksana di Indonesia. Oleh karena itu, kami menyarankan beberapa langkah untuk bisa menerapkan SPEZ ini di Indonesia:

1) Menentukan lokasi dan melakukan tinjauan lapangan.

Kawasan lahan gambut yang cocok untuk budidaya sebaiknya sudah mengalami pembasahan kembali selama minimal 1-2 tahun dan berada di luar kawasan lindung serta hutan primer (hutan alam yang belum tersentuh oleh aktivitas manusia).

Ini dimaksudkan agar menjaga lahan gambut di kawasan lindung dan hutan primer dan tidak berpotensi melanggar hukum.

Untuk budi daya tanaman, hanya boleh dilakukan di kawasan dengan gambut dangkal dan sedang, yaitu sedalam 50 cm hingga 300 cm. Kedalaman gambut yang berbeda memiliki kesesuaian jenis tanaman yang berbeda.

Sejauh ini, keberadaan ekosistem lahan gambut yang telah mengalami pembasahan kembali, telah tersedia di sejumlah kabupaten di Riau (Siak), Sumatra Selatan (OKI), dan Kalimantan Tengah (Pulang Pisau).

Daerah ini juga harus memiliki batas dan zona penyangga yang jelas untuk mengurangi risiko konflik lahan.

Selanjutnya, kami merekomendasikan melakukan tinjauan lapangan untuk mengumpulkan dan verifikasi informasi biofisik, seperti jenis tanah gambut, tingkat pH gambut, kesuburan tanah, serta sistem pengelolaan air di daerah tersebut.

Informasi ini akan menentukan apakah daerah tersebut cocok untuk budidaya tanpa memerlukan pengairan atau aktivitas pengeringan lahan.

2) Melakukan analisis sosial dan memilih komoditas yang sesuai.

Gambut yang mengalami pembasahan kembali akan cocok untuk paludikultur, yaitu budidaya spesies asli dan spesies lain yang bisa bertahan di lahan gambut basah.

Analisis sosial perlu dilakukan untuk mengetahui kapasitas kelompok masyarakat di daerah bersangkutan dalam melakukan budidaya spesies asli.

Profil dan kapasitas budidaya kelompok masyarakat akan menjadi bahan pertimbangan bagi langkah selanjutnya, yakni mengidentifikasi komoditas yang cocok untuk budi daya menurut prinsip-prinsip paludikultur.

Ada 165 jenis tanaman pangan paludikultur, seperti sagu, pare, purun, dan kangkung, yang telah terbukti dapat menjadi sumber pendapatan dan memulihkan lahan gambut.

Saat ini, purun sudah dikumpulkan dan diolah untuk usaha anyaman atau kerajinan tangan, seperti di Sumatra Selatan, Jambi, Riau, dan Kalimantan Tengah.

Paludikultur ini akan menghasilkan manfaat ekologis dan ekonomi, menjamin pasokan pangan bagi masyarakat dan tetap sejalan dengan tujuan restorasi gambut.

3) Analisis peluang pasar, rantai nilai, dan biaya.

Para pengambil kebijakan atau praktisi ekonomi harus melakukan analisis terhadap peluang pasar dari komoditas gambut yang terpilih.

Ini bisa dilakukan melalui survei tentang kesediaan membayar konsumen bagi barang-barang produksi lahan gambut tersebut.

Proses ini akan sangat membantu dalam mengidentifikasi komoditas yang bernilai ekonomi menguntungkan bagi masyarakat setempat.

Contohnya, di sebuah kegiatan restorasi di Sumatra Selatan, analisis dilakukan pada 12 jenis tanaman, hasilnya ditemukan kangkung sebagai salah satu tanaman paludikultur yang memiliki rasio biaya manfaat 2.97.

Rasio di atas satu menunjukkan budi daya tanaman tersebut menguntungkan.

4) Kerja sama antarpihak dan peningkatan kapasitas teknis.

Kerja sama masyarakat setempat, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, dan pemegang konsesi akan mengurangi risiko penyalahgunaan kekuasaan oleh para pemangku kepentingan.

Kerja sama tersebut juga bisa mendukung peningkatan pangsa pasar bagi produk dari lahan gambut, melalui ekspor atau perdagangan lintas pedesaan.

Meningkatkan keahlian teknis atau manajemen pemangku kepentingan lokal, seperti kelompok masyarakat juga penting agar mereka memiliki pengetahuan yang praktis tentang tata kelola gambut berkelanjutan.


Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di sini.The Conversation

Ibnu Budiman, Researcher on environmental policy and governance, World Resources Institute; Eli Nur Nirmala Sari, Peatland Restoration Technical Expert, World Resources Institute; Rahmah Devi Hapsari, Peneliti, World Resources Institute; Rizky Januar, Researcher, World Resources Institute, dan Willy Daeli, Research Analyst, World Resources Institute

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: