Nizamuddin Sadiq, Universitas Islam Indonesia (UII)

Praktik pemberian pemberian gelar doktor kehormatan atau honoris causa (Dr. HC) sudah berlangsung sejak lama di Indonesia.

Dalam pendidikan tinggi Indonesia, gelar ini banyak diberikan kepada pejabat publik atau politikus sebagai instrumen balas budi, ajang membangun jaringan, serta perjanjian politik.

Hal tersebut bisa dilihat pada kasus terbaru pemberian gelar Dr HC pada Menteri Desa Tertinggal Abdul Halim pada pertengahan Juli lalu oleh rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang mencalonkan diri sebagai sebagai salah satu calon bupati dalam pilkada di Kabupaten Gunung Kidul tahun 2020.

Contoh di atas menunjukkan praktik ini rawan dibajak kepentingan politik yang akhirnya mengkhianati perjuangan mahasiswa doktoral yang menghabiskan waktu meneliti bertahun-tahun untuk mendapatkan gelar tersebut.

Bagaimana kampus mengobral gelar kehormatan

Di Amerika Serikat - di mana praktik kontroversial ini sudah berlangsung lama - prioritas penerima gelar adalah penyumbang uang dalam jumlah besar dan tokoh publik yang dapat memeriahkan acara wisuda.

Data terkait kampus top di Amerika Serikat yang tergabung dalam Ivy League menunjukkan gelar kehormatan diberikan secara tidak proporsional bukan kepada orang-orang berpengaruh pada bidang keilmuan, tetapi pada ikon budaya pop, tokoh politik terkenal, dan pengusaha kaya.

Arthur E. Levine, presiden Teachers College di Universitas Columbia, bahkan memperingatkan bagaimana pemberian gelar tersebut sering dijadikan ajang pemburuan uang dan publisitas. Seringkali pemberi dan penerima gelar saling memberikan bantuan berupa pendanaan dan dukungan politik.

Praktik seperti ini tidak berbeda jauh dengan yang terjadi di Indonesia.

Secara administratif kampus, pemberian gelar Dr HC memang harus melalui beberapa mekanisme.

Secara prosedur legal formal, jalan menuju pemberian gelar kehormatan sangat berat karena harus mendapatkan persetujuan dari beberapa pihak.

Tapi pada praktiknya, mekanisme ini sering dilanggar demi mengobral gelar ini untuk kepentingan politik.

Misalnya, Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di Jawa Barat pada tahun 2018 memberikan gelar Dr HC kepada Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri karena perannya sebagai presiden kelima dan berjasa membangun “kebijakan strategis politik pemerintahan”.

Pemberian gelar tersebut melanggar beberapa aturan administrasi, salah satunya adalah penerima gelar kehormatan harus berlatar pendidikan minimal S1.

Megawati tidak pernah menyelesaikan program sarjana yang sempat ia tempuh di Universitas Padjadjaran, Bandung pada tahun 1965 dan juga Universitas Indonesia, Jakarta pada tahun 1970.

Komisi Komponen Ahli yang berperan sebagai dewan pertimbangan pemberian gelar dari IPDN ini juga terdiri dari figur seperti AM Hendropriyono dan Da`i Bachtiar, masing-masing Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) dan Kepala Polisi Republik Indonesia (POLRI) ketika Megawati menjabat.

Terjadinya berbagai pelanggaran tentang pemberian gelar kehormatan ini mengindikasikan bahwa gelar Dr HC rawan menjadi instrumen balas budi, serta ajang membangun jaringan dan perjanjian politik.

Pemberian gelar Dr HC ini berbahaya jika dipolitisasi untuk kepentingan alat politik seseorang, seperti yang ditunjukkan pada kasus rektor UNY. Hal ini bisa berdampak lebih parah lagi untuk universitas yang kredibilitas dan integritasnya di mata publik bisa tergerus.

Mengkhianati proses akademik

Pemberian gelar Dr. HC yang diberikan begitu saja atas dasar kesepakatan politik juga mengkhianati proses akademik yang harus ditempuh seseorang untuk mendapatkan gelar doktor.

Seseorang membutuhkan waktu tiga sampai empat tahun untuk menyelesaikan studi di Inggris dan 5.8 tahun di Amerika Serikat. Selama kurun waktu tersebut, mereka mengorbankan kedudukan, penghasilan, keluarga dan kehidupan sosial mereka.

Dari segi proses, mahasiswa doktoral di luar negeri juga melewati berbagai fase perjuangan dari awal menyiapkan keberangkatan hingga kembali pulang saat pulang ke negara asal.

Suatu analisis tahun 2019 di majalah Nature tentang kehidupan mahasiswa doktoral menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga responden (36%) menderita depresi yang disebabkan oleh studi PhD mereka.

Mayoritas (76%) responden menghabiskan waktu mereka lebih dari 41 jam/minggu untuk studi doktoral, dan sekitar 10% responden bertanggung jawab untuk merawat anak di bawah usia 12 tahun.

Sulit bagi mereka untuk menjadi mahasiswa PhD sekaligus menjadi orang tua yang baik secara bersamaan.

Sementara itu, penerima gelar Dr HC tidak perlu mengalami itu semua. Mereka cenderung pasif karena proses lebih banyak dilakukan pihak perguruan tinggi dan pemerintah.

Apa yang harus diperbaiki?

Karena sifatnya yang rawan kepentingan politis, pemberian gelar Dr HC di Indonesia bisa dihilangkan. Universitas terkemuka di Amerika seperti Cornell, Stanford dan UCLA yang memilih untuk tidak memberikan gelar kehormatan tersebut.

Jika ingin tetap memberikan gelar tersebut, saya merekomendasikan tiga prinsip utama yang seharusnya dijalankan dalam pemberian gelar Dr HC untuk menghindari konflik kepentingan.

Pertama, pemberi dan penerima gelar kehormatan harus memiliki komitmen untuk tidak saling “menggoda”.

Artinya, anggota senat universitas dan rektor tidak memberi rekomendasi untuk memberi gelar kepada pejabat publik. Sebaliknya, pejabat publik juga harus berkomitmen untuk untuk tidak menerima tawaran tersebut saat dia sedang menjabat.

Selama ini, tidak ada etika atau aturan tertulis yang melarang promotor untuk mengusulkan seseorang dengan jabatan publik. Dengan banyaknya kasus yang terjadi maka sudah waktunya etika ini dijadikan pedoman entah tertulis atau tidak untuk menghindari obral gelar tersebut.

Kedua, perguruan tinggi harus berkomitmen untuk tidak memberikan gelar Dr HC saat momen politik seperti pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden untuk menghindari konflik kepentingan.

Idealnya, setahun sebelum dan sesudah tanggal pemilihan umum merupakan jangka waktu ideal untuk tidak memberikan gelar doktor kehormatan ini.

Ketiga, pemberian gelar Dr HC harus fokus kepada kontribusi akademik yang diberikan secara selektif.

Saat ini, pemberian gelar Dr HC tidak berdampak secara nyata kepada peningkatan atmosfer akademik di perguruan tinggi. Karena bersifat simbolik, hampir tidak ada sumbangsih keilmuan dari penerima gelar kehormatan setelah mereka mendapatkan gelar Dr HC tersebut.

Harusnya, pemberian gelar ini bergantung pada seberapa besar ide-ide pemikiran mereka dikutip atau dijadikan landasan keilmuan oleh masyarakat umum dan masyarakat akademik.

University of Virginia, Amerika Serikat sudah memberikan contoh. Mereka memang memiliki kebijakan tegas untuk tidak memberikan gelar kehormatan. Sebagai gantinya, mereka mempersembahkan “Thomas Jefferson Foundation Medal” bagi tokoh berprestasi di luar universitas, dalam bidang arsitektur dan hukum.

Penghargaan ini lebih elegan karena sesuai dengan prinsip akademik dan tidak menimbulkan keresahan politik.The Conversation

Nizamuddin Sadiq, Lecturer in English Language Education, Universitas Islam Indonesia (UII)

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: