Irwandy, Universitas Hasanuddin

Mengantisipasi risiko kurangnya tempat tidur isolasi dan ruang unit perawatan intensif (ICU) rumah sakit untuk menampung pasien COVID-19 dalam beberapa pekan ke depan, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberlakukan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan berencana menambah jumlah tempat tidur di rumah sakit.

Alasan Anies adalah laju pertumbuhan jumlah pasien COVID-19 yang harus dirawat jauh lebih besar dibandingkan ketersediaan tempat tidur. Pelonggaran pergerakan orang (dikenal dengan sebutan PSBB transisi) sejak awal Juni lalu telah meningkatkan laju penularan virus corona di Ibu Kota.

Langkah penambahan tersebut tepat. Namun yang perlu menjadi catatan kritis bagi para pengambil kebijakan, tidak hanya di DKI Jakarta tapi juga di berbagai daerah, adalah bahwa untuk meningkatkan kapasitas rumah sakit tidak cukup hanya dengan menambah jumlah tempat tidur semata.

Para pengambil kebijakan perlu memahami yang dalam konsep kesiapsiagaan darurat di fasilitas pelayanan kesehatan dikenal dengan surge capacity (kapasitas lonjakan), yaitu kemampuan masyarakat dan fasilitas atau sistem pelayanan kesehatan untuk menangani kemungkinan lonjakan jumlah pasien yang disebabkan oleh bencana alam, kecelakaan skala besar, wabah penyakit atau serangan teroris.

Mereka juga perlu memahami strategi meningkatkan kapasitas rumah sakit.

Tiga jenis kapasitas lonjakan

Hingga awal September ini, kapasitas tempat tidur isolasi rumah sakit rujukan COVID-19 di DKI Jakarta sudah hampir 80 persen yang terpakai.

Kapasitas tempat tidur isolasi di DKI Jakarta ada 4.053 unit dan rencananya ditingkatkan menjadi 4.807 pada 8 Oktober. Sedangkan tempat tidur ICU ada 528 dan direncanakan bertambah menjadi 636 pada 25 September. Walau ditambah, diprediksi akan tetap penuh juga seiring makin banyak pasien baru.

Saat ini menipisnya kapasitas daya tampung rumah sakit tidak hanya terjadi di DKI Jakarta, tapi telah terjadi di berbagai daerah.

Karena itu, para pengambil kebijakan perlu memahami jenis-jenis surge capacity (kapasitas lonjakan) dan cara mengatasinya.

Terdapat tiga jenis kapasitas lonjakan.

Pertama, kapasitas lonjakan berbasis fasilitas pelayanan kesehatan. Ini mengacu pada kemampuan fasilitas pelayanan kesehatan termasuk rumah sakit untuk dapat merawat lonjakan peningkatan jumlah kasus COVID-19 yang memerlukan perawatan kesehatan di rumah sakit.

Kedua, kapasitas lonjakan kesehatan masyarakat. Ini mengacu pada kapasitas untuk melaksanakan kegiatan kesehatan masyarakat seperti dalam konteks COVID-19 saat ini adalah tracing (pelacakan), testing (pengetesan) dan treatment (perawatan).

Ketiga, kapasitas lonjakan berbasis komunitas. Ini mencakup kemampuan komunitas untuk melengkapi respons kesehatan masyarakat (dengan melakukan 3M: menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak) dan respons fasilitas perawatan kesehatan (dengan membantu menyediakan perawatan di luar dari fasilitas yang kelebihan beban).

Komponen kapasitas lonjakan

Komponen utama kapasitas lonjakan terbagi atas empat komponen (“4S”):

  • staf (sumber daya manusia baik itu para tenaga kesehatan maupun non-kesehatan yang bertugas di fasilitas pelayanan kesehatan),
  • stuff (berbagai peralatan kesehatan, bahan medis, obat-obatan, alat pelindung diri dan lain sebagainya), dan
  • space (ketersediaan ruangan dan tempat tidur yang tidak hanya persoalan jumlah tapi juga kecukupan fungsi dan syarat). Terakhir,
  • system” yang terdiri dari kebijakan dan proses manajemen yang terintegrasi.

Empat komponen ini merupakan satu kesatuan yang utuh. Oleh karena itu pemerintah tidak boleh hanya fokus pada satu komponen saja seperti menambah jumlah tempat tidur.

Sebagai contoh, strategi perlindungan terhadap kejadian infeksi, kematian dan kelelahan di kalangan tenaga kesehatan juga harus mendapat perhatian.

Tiga tahapan strategi meningkatkan kapasitas

Beberapa panduan pertanyaan di bawah ini dapat membantu untuk mengembangkan strategi yang lebih sistematis untuk meningkatkan kapasitas fasilitas pelayanan kesehatan.

Pertanyaan awal: apakah kondisi dan kapasitas fasilitas pelayanan kesehatan (pada setiap komponen 4S) masih dapat menampung dan merawat, peningkatan jumlah kunjungan pasien yang diprediksi akan terjadi?

Jika jawabannya “Ya”, maka rumah sakit tetap dapat beroperasional secara normal.

Jika jawabannya “Tidak”, maka pertanyaan selanjutnya: mampukah pemerintah daerah dan manajemen rumah sakit mengambil tindakan untuk memodifikasi dan meningkatkan kemampuan menghadapi prediksi lonjakan pasien?

Jika jawabannya “Ya”, maka strategi pertama adalah meningkatkan dan memodifikasi sumber daya manusia di fasilitas kesehatan, peralatan dan obat-obatan, ruang perawatan, dan manajemen di rumah sakit (facility-based surge).

Strategi ini seperti mengalihfungsikan area atau ruang lain di rumah sakit sebagai ruang isolasi baru atau ICU. Selain itu, memobilisasi peralatan dan tenaga dari satu unit ke unit lain yang membutuhkan, hingga kebijakan mengatur sistem penerimaan dan rujukan pasien. Sampai sejauh ini DKI Jakarta berupaya menambah tempat tidur di rumah sakit.

Namun jika jawabannya “Tidak”, maka strategi kedua yang akan dijalankan adalah mengembangkan kapasitas daya tampung dengan menyelenggarakan pelayanan “di luar tembok” rumah sakit – di komunitas (community-based surge).

Strategi ini memerlukan koordinasi lintas sektor. Oleh karena itu pemerintah daerah yang harus memimpin, mengkoordinasi banyak pihak dan bertanggung jawab atas strategi ini.

Beberapa strategi yang dapat diambil seperti mendirikan rumah sakit lapangan, menjadikan beberapa hotel sebagai tempat isolasi bagi penderita yang tidak memerlukan perawatan kesehatan di rumah sakit hingga melakukan isolasi mandiri di rumah.

Namun untuk isolasi mandiri, perlu dipertimbangkan kemampuan dan kesiapan dari penderita, keluarga dan kondisi rumah, agar tidak malah menimbulkan masalah baru yakni penularan antar anggota keluarga.

Mulai pekan ini, misalnya, pemerintah DKI Jakarta mulai menempuh cara ini dengan mempersiapkan 67 lokasi di gedung olahraga, sekolah, dan masjid untuk isolasi pasien COVID.

Selanjutnya jika masalah semakin membesar dan diprediksi dua strategi di atas tidak akan dapat menghadapi kemungkinan lonjakan kasus yang akan segera terjadi, maka strategi ketiga segera dilakukan yakni extrinsic surge.

Strategi ini berupa pengembangan kapasitas fasilitas pelayanan kesehatan di suatu daerah dengan bekerja sama dengan daerah di sekitarnya. Pengembangan kapasitas ini dapat dilakukan dengan merujuk pasien ke luar daerah atau memobilisasi sumber daya (4S) dari daerah lain masuk ke daerah yang mengalami permasalahan.

Karena melibatkan daerah lain, maka peran pemerintah provinsi dan pusat sangat dibutuhkan sebagai pihak yang memimpin, mengkoordinasi dan bertanggung jawab. Seperti kasus DKI Jakarta saat ini, seharusnya pemerintah pusat dapat mengambil peran yang lebih besar. Gubernur Jawa Barat telah menawarkan rumah sakit di daerahnya, yang baru terisi 35%, untuk perawatan pasien dari Jakarta, tapi Jakarta belum merespons.

Kunci sukses

Strategi di atas akan berhasil menghadapi lonjakan pasien COVID-19 jika pengambil kebijakan mampu menyusun dan memiliki data rumah sakit dan pasien yang akurat serta bekerja sama antarlevel pemerintah.

Masalah data ini sangat krusial, karena misalnya, kini antara Gubernur DKI Jakarta dan pemerintah pusat berselisih soal data tempat tidur isolasi di rumah sakit untuk pasien COVID di Jakarta.

Para pengambil kebijakan di daerah harus memiliki data yang akurat dan kemampuan untuk memprediksi dengan tepat lonjakan kasus yang akan menghantam fasilitas pelayanan kesehatan di daerahnya masing-masing. Kemampuan ini menjadi pondasi awal agar dapat segera mengembangkan strategi sesuai dengan skala besar masalah yang dihadapi dan kemampuan yang dimiliki.

Setiap tahapan strategi memerlukan peran dan tanggung jawab yang berbeda-beda di antara level pemerintahan. Kemampuan untuk saling bekerja sama dan berkoordinasi antara pemerintah daerah, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat menjadi kunci untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa yang terancam oleh badai virus corona ini.The Conversation

Irwandy, Ketua Departemen Manajemen Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: