Yessar Rosendar, The Conversation

Pemberlakuan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar di Jakarta akibat tingginya penambahan kasus positif di awal September akan berdampak pada melambatnya ekonomi tidak hanya di kota Jakarta tapi juga Indonesia.

Oleh karena itu, para peneliti ekonomi menyarankan penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang cepat dan menyeluruh untuk membantu mengurangi dampak ekonomi bagi kelompok masyarakat yang paling rentan.

Hampir 70% uang yang beredar Indonesia berpusat di Jakarta dan ketika kegiatan ekonomi di ibu kota terdampak, imbasnya bisa dirasakan ke seluruh penjuru nusantara.

Jakarta berkontribusi sebesar 17% terhadap perekonomian nasional, jika terjadi penurunan ekonomi di Jakarta maka konsumsi masyarakat bisa terganggu.

Ketika ekonomi nasional mengalami kontraksi 5,22% pada triwulan kedua, pertumbuhan ekonomi di Jakarta mengalami kontraksi sebesar 8,22%. Angka ini adalah yang terendah selama kurun waktu 10 tahun terakhir, meskipun tidak sedalam saat krisis ekonomi tahun 1998.

Konsumsi di Jakarta sendiri menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada triwulan kedua juga turun secara signifikan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya

Pada saat yang bersamaan, konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi andalan pertumbuhan ekonomi Indonesia terpukul cukup dalam yaitu mencapai negatif 6,51% dibandingkan triwulan pertama 2020 atau 5,51% dibandingkan triwulan kedua 2019.

Konsumsi rumah tangga merupakan kontributor terbesar ke ekonomi Indonesia yang mencapai 56,62% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang mencapai Rp15.833,9 triliun pada tahun lalu.

“Jadi ada korelasi positif antara tingginya kasus positif COVID-19 dengan keyakinan konsumen,” ujar Bhima Yudhistira Adhinegara, peneliti ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF).

Menurut Bhima, dampak konsumsi yang menurun ini akan mengakibatkan resesi atau kemunduran ekonomi di triwulan ketiga. Dan hal tersebut tidak terhindarkan lagi.

Terpuruknya ekonomi akan berdampak paling besar pada masyarakat kelompok miskin.

“Saya perkirakan masyarakat yang rentan miskin mencapai tiga kali lipat dari 480 ribu orang miskin di Jakarta, penurunan aktivitas ekonomi berdampak terhadap seluruh masyarakat, dampaknya bisa dalam bentuk kehilangan pekerjaan dan pendapatan,” kata Ridho Al Izzati, peneliti dari Smeru Research Institute.

Menurut Ridho, Hal tersebut disebabkan oleh kelompok miskin dan rentan miskin memiliki penghasilan yang rendah bahkan tidak memiliki tabungan.

“Pendapatan mereka diterima biasanya harian kadang tidak pasti. Dampak penurunan aktivitas ekonomi pada setengah bulan Maret 2020 terlihat dari peningkatan tingkat kemiskinan DKI Jakarta dari September 2019 ke Maret 2020, dari 3,5% menjadi 4,5% atau jumlah orang miskin 365 ribu menjadi 480 ribu orang,” ungkap Ridho.

BLT harus diperluas dan cepat disalurkan

Untuk mengurangi dampak terhadap kelompok masyarakat yang paling rentan, bantuan langsung tunai (BLT) adalah salah satu bantuan yang paling efektif karena cepat membantu daya beli.

Pemerintah juga harus memperluas penyaluran BLT dari yang hanya pekerja formal ke masyarakat yang bekerja pada sektor informal.

“Pekerja informal termasuk pekerja mikro dan ultra mikro, guru honorer, korban PHK wajib diberikan BLT yang jumlahnya sama atau lebih besar dari BLT kepada pekerja yang gajinya di bawah Rp 5 juta itu,” ujar Bhima.

Selain itu, pemerintah perlu juga menyalurkan bantuan sembako pada masyarakat miskin di wilayah penyangga Jakarta seperti Bogor, Depok, dan Tangerang karena banyak masyarakat di daerah ini mendapatkan penghasilannya dari Jakarta.

Untuk mendapatkan anggaran pemerintah bisa menggeser semua alokasi anggaran yang serapannya rendah, misalnya subsidi bunga untuk UMKM Rp 30 triliun yang macet, kemudian menunda proyek infrastruktur, dan membubarkan kementerian lembaga dengan dana besar.

Ridho juga beranggapan bahwa BLT bisa mencegah peningkatan kemiskinan pada bulan September ini.

“Bantuan bisa melalui penambahan nilai bantuan kepada penerima bantuan yang sudah ada dan sekaligus meningkatkan cakupan rumah tangga atau keluarga dan orang penerima bantuannya,” kata Ridho.

Menyalurkan BLT secara cepat tentu memiliki tantangannya sendiri.

Menurut Bhima, tantangan terbesar akan berasal dari verifikasi data penerima bantuan. Untuk mengatasi hal ini, data bisa digabungkan secara paralel, jadi data pekerja informal bisa didapatkan melalui data di dinas koperasi, Otoritas Jasa Keuangan dan kementerian koperasi UMKM.

Sedangkan untuk data pengangguran dan korban pemutusan hubungan kerja bisa meniru program Kartu Prakerja yang diganti total dengan BLT, karena pengangguran saat ini tidak butuh pelatihan dan sebaiknya diberi transfer uang tanpa syarat.

Sementara untuk data penduduk miskin pemerintah daerah memiliki datanya, tinggal pengawasan dan penyalurannya.

“Harus ada evaluasi karena ini mendekati Pilkada (pemilihan kepala daerah), maka bansos (bantuan sosial) rawan disalahgunakan. Tapi pilihan BLT ini yang efeknya langsung dirasakan ke daya beli,” kata Bhima.

Sejauh ini sebagian besar penyaluran bantuan sosial menggunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang terkadang tidak akurat sehingga banyak warga miskin yang tidak menerimanya.

“Untuk mengatasi hal ini bisa melibatkan komunitas misalnya kelurahan untuk mendata orang yang belum menerima (tapi berhak) tersebut,” ujar Ridho.The Conversation

Yessar Rosendar, Business + Economy (Indonesian edition), The Conversation

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: