Arthur H.P. Mawuntu, Universitas Sam Ratulangi dan Ralalicia Limato, University of Oxford

Pandemi COVID-19 yang “menyerang” masyarakat Indonesia dalam empat bulan terakhir telah meningkatkan permintaan layanan konsultasi via teknologi komunikasi antara dokter dan pasien.

Risiko saling menularkan virus corona antara dokter dan pasien di tempat layanan kesehatan serta gencarnya imbauan pembatasan sosial dan fisik membuat telekonsultasi menjadi pilihan yang populer baik oleh dokter maupun pasien.

Pandemi ini “memaksa” pemerintah, penyedia layanan kesehatan, dan masyarakat untuk cepat mengadopsi telekonsultasi. Hal ini memberikan peluang untuk berkembangnya praktik telekonsultasi di Indonesia.

Kami melakukan studi pada 22 dokter umum dan spesialis dari berbagai daerah di Indonesia. Sebanyak 20 dokter telah mempraktikkan telekonsultasi atas permintaan pasien. Dibanding era sebelum pandemi, layanan ini naik drastis. Aplikasi WhatsApp merupakan media telekonsultasi yang paling popular digunakan untuk konsultasi medis.

Layanan ini mungkin akan semakin populer, karena efisien dari segi waktu dan akses. Ditambah, kita belum tahu kapan pandemi akan berakhir.

Meski demikian, pemerintah dan komunitas kesehatan perlu memperhatikan aspek medis dan etika, legal, dan sosio-teknologi dalam penggunaan teknologi komunikasi dalam layanan kesehatan.

Telekonsultasi medis: mudah dan efektif

Indonesia mulai 2019 mengatur praktik pelayanan kesehatan jarak jauh oleh tenaga profesional kesehatan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (telemedicine) dengan mengeluarkan sebuah Peraturan Menteri. Selain telekonsultasi klinis, pelayanan telemedicine meliputi teleradiologi, tele-elektrokardiografi, telepatologi, dan telefarmasi.

Karena dokter dan pasien tidak perlu menempuh perjalanan secara fisik, telemedis efisien waktu, mengurangi kendala akses pasien untuk mendapatkan layanan kesehatan. Selain itu, sarana teknologi yang digunakan dalam telekonsultasi cukup beragam dan tersedia secara gratis. Telekonsultasi juga tidak dibatasi oleh jam kerja dokter.

Contohnya, dalam studi kami, seorang dokter spesialis saraf di salah satu kota di Sulawesi bercerita tentang praktik layanan klinik melalui telepon pintar. Dokter ini memberikan konsultasi melalui fitur percakapan (chat) WhatsApp, dan melalui video jika diperlukan.

Setelah diagnosis ditegakkan, resep dikirim ke salah satu apotek melalui WhatsApp dan pasien dapat langsung mengambil obat di apotek tersebut. Biaya konsultasi ditagih oleh apotek.

Praktik serupa dilakukan oleh seorang spesialis kulit dan kelamin di Kota Manado, Sulawesi Utara. Dia meminta pasien mengirimkan foto area tubuh yang mengalami keluhan lewat WhatsApp. Praktik telekonsultasi, termasuk teknik pengambilan foto, dilakukan sesuai dengan rekomendasi perhimpunan profesi dokter tersebut. Dokter ini belum menarik biaya dari telekonsultasi.

Secara umum, para dokter melayani telekonsultasi sejak pagi hingga malam hari tapi lebih memprioritaskan pasien yang ditangani secara tatap muka langsung. Tidak ada responden yang melakukan telekonsultasi selama 24 jam penuh.

Mekanisme peresepan dan pembayaran jasa dokter juga berbeda-beda. Sebagian dokter mengirimkan resepnya melalui WhatsApp ke apotek tertentu dan pasien mengambil obat di apotek tersebut.

Dokter lain mengirim resep obat melalui WhatsApp ke pasien, dan pasien menunjukkan isi WhatsApp kepada petugas apotek untuk menebus resep. Kedua cara ini umumnya tidak dipakai untuk obat-obat terbatas (ada tanda khusus lingkaran biru) dan obat keras (lingkaran merah).

Dokter-dokter BPJS dapat menggunakan aplikasi Mobile JKN untuk mengeluarkan resep. Demikian juga dengan dokter yang bekerja di rumah sakit yang sudah menggunakan telemedicine. Ada platform e-health yang bekerja sama dengan jasa kurir sehingga obat-obat dapat diantar ke rumah pasien.

Sebagian besar dokter yang kami wawancarai belum pernah mendapat pendidikan dan pelatihan khusus tentang telekonsultasi medis. Dalam konteks ini, meningkatkan kapasitas penggunaan telekonsultasi medis merupakan salah satu pekerjaan rumah bagi organisasi profesi dokter dan Kementerian Kesehatan.

Banyak platform: cari yang paling tepat

Beberapa dokter yang berafiliasi dengan BPJS Kesehatan menggunakan aplikasi Mobile JKN. Baru-baru ini, aplikasi tersebut telah dimutakhirkan dengan penambahan fasilitas chatroom.

Namun, kami menemukan beberapa dokter memilih menggunakan aplikasi lain karena lebih nyaman digunakan. Seorang dokter umum BPJS di fasilitas kesehatan tingkat pertama di Papua, misalnya, memilih menggunakan telekonsultasi melalui WhatsApp karena dalam aplikasi Mobile JKN tidak ada fasilitas notifikasi otomatis jika ada pasien baru.

Sementara beberapa dokter lainnya terdaftar dalam platform e-health seperti Halodoc, Alodokter, dan Klikdokter.

Seorang spesialis penyakit dalam, selain berpraktik di sebuah rumah sakit swasta di Kota Tangerang, juga menggunakan satu platform e-health Halodoc untuk melakukan telekonsultasi dan meminta pemeriksaan laboratorium. Melalui aplikasi yang sama, pasien dengan mudah dapat menebus resep dokter. Obat langsung di antar ke rumah pasien oleh kurir ojek online.

Implementasi praktik telekonsultasi juga cukup beragam. Umumnya dokter mendahulukan pasien yang sedang ditangani langsung di rumah sakit atau klinik, sebelum menjawab telekonsultasi.

Ada juga dokter yang membatasi telekonsultasi dengan pasien yang pernah berkonsultasi secara langsung dengan alasan sudah mengetahui sejarah kesehatan pasien sehingga memudahkan pemantauan klinis lanjut.

Dengan mempertimbangkan ketepatan diagnosis dan terapi, kebanyakan dokter responden melakukan skrining keparahan keluhan klinis pasien terlebih dulu sebelum memberikan telekonsultasi. Dokter mengajukan beberapa pertanyaan awal untuk menentukan keparahan keluhan pasien pada awal telekonsultasi.

Masalah yang harus dicarikan solusi

Semakin luasnya penggunaan internet akan mempermudah akses virtual masyarakat untuk mendapat pelayanan konsultasi dokter.

Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh masyarakat, dokter, institusi pelayanan kesehatan, dan pemangku kebijakan sehubungan dengan semakin maraknya praktik telekonsultasi.

1. Aspek medis dan etika medis

Tidak semua kasus medis dapat diselesaikan lewat telekonsultasi.

Ketajaman diagnosis seorang dokter tidak sama saat dia memeriksa langsung secara tetap muka atau hanya mendengar dan melihat keluhan pasien melalui platform e-health.

Selain itu, keparahan gejala dan penyakit pasien dapat menjadi kabur karena faktor subjektivitas pasien dan dokter. Hal ini dapat mempengaruhi ketepatan terapi.

Hubungan dokter dan pasien sangat menjunjung tinggi kerahasiaan kedokteran, termasuk data pasien. Dalam telekonsultasi melalui WhatsApp, kerahasiaan data pasien dapat menjadi isu yang serius jika data ini bocor ke pihak yang tidak berwenang untuk mengakses data tersebut. Misalnya telepon dokter hilang atau diretas oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Mekanisme pembayaran jasa praktik telekonsultasi belum diatur dengan baik sehingga besaran dan metodenya sangat beragam. Di lain pihak, ada pasien yang keberatan membayar jasa telekonsultasi.

2. Aspek legal

Terlepas sudah ditetapkannya Peraturan Menteri untuk telemedicine, sebagian besar dokter responden kami belum menggunakan platform e-health sesuai yang tercantum dalam ketentuan hukum tersebut.

Peraturan ini mengatur telemedicine antara fasilitas pelayanan kesehatan, sedangkan tren yang ada sekarang adalah telekonsultasi dokter-pasien menggunakan aplikasi percakapan. Isu ini belum diatur dalam peraturan tersebut tersebut.

Di sisi pasien, telekonsultasi dengan menggunakan fitur percakapan pribadi masih merupakan opsi yang paling populer. Sementara dari sisi sistem kesehatan, belum terlihat upaya pengawasan sistematis dan sistemik untuk memastikan dokter mematuhi ketentuan hukum tersebut.

Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) baru-baru ini mengeluarkan Peraturan No. 74 Tahun 2020 tentang Kewenangan Klinis dan Praktik Kedokteran Melalui Telemedicine Pada Masa Pandemi Covid-19 di Indonesia. Namun, sesuai namanya, aturan ini hanya diterapkan pada masa pandemi Covid-19.

Sebenarnya, aturan ini sudah mengatur syarat pelaku telekonsultasi, pemberian persetujuan sebelum telekonsultasi, kewajiban membuat dan merahasiakan rekam medis, izin meminta pemeriksaan penunjang dan meresepkan obat, serta kewajiban melakukan telekonsultasi lewat fasilitas pelayanan kesehatan resmi.

Potensi masalah legal akan banyak terjadi pada bentuk praktik telekonsultasi pribadi, bukan platform e-health. Dalam kenyataannya bentuk ini yang paling praktis dan paling banyak digunakan. KKI bisa mengembangkan Peraturan Konsil untuk mengatur telekonsultasi setelah masa pandemi.

3. Aspek sosio-teknologi

Walau pengguna internet di Indonesia mencapai 64% dari populasi dan 96% di antara mereka sudah menggunakan smartphone, di daerah-daerah terpencil masih ada kelompok masyarakat yang belum mendapatkan akses internet.

Selain itu, dari perspektif sosial dan budaya, terutama dalam lingkungan masyarakat yang mempunyai hubungan kekeluargaan yang erat, masih banyak pasien yang lebih menyukai konsultasi tatap muka.

Pergeseran sosial budaya dari konsultasi tradisional ke telekonsultasi akan membutuhkan waktu, terutama di daerah pinggiran dan pedalaman. Karena itu, dalam waktu dekat sebagian besar telekonsultasi dokter-pasien akan lebih banyak digunakan oleh masyarakat perkotaan.

Dengan adanya potensi implikasi dalam berbagai aspek di atas atas, sistem kesehatan dan sistem pendidikan kedokteran harus mengambil langkah-langkah untuk memitigasi potensi isu yang dapat ditimbulkan pada masa mendatang.The Conversation

Arthur H.P. Mawuntu, Consultant Neurologist, currently the Head of Neurology Program, Neurology Dept, Faculty of Medicine Universitas Sam Ratulangi/R.D. Kandou Hospital Manado, Indonesia, Universitas Sam Ratulangi dan Ralalicia Limato, PhD Student, University of Oxford

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: