Antoni Putra, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beberapa waktu lalu mengesahkan revisi terhadap Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP).

UU ini mengatur perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan penetapan peraturan perundang-undangan, misalnya UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan President, dan Peraturan Daerah.

Namun, terdapat beberapa masalah yang tertinggal dalam revisi UU tersebut.

Revisi tersebut belum menyelesaikan masalah terkait penyelarasan peraturan terutama di tingkat daerah, partisipasi publik dalam pembentukan regulasi, dan jumlah regulasi yang berlebihan.

UU PPP yang sudah direvisi perlu kembali direvisi untuk mengakomodasi masalah yang tertinggal tersebut.


Baca juga: Mengapa kita harus berhati-hati dengan rencana Jokowi mengeluarkan _omnibus law_


Penyelarasan rancangan peraturan daerah (perda)

Dalam undang-undang yang lama - UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP) - wewenang untuk melakukan harmonisasi atau penyelarasan dengan aturan yang lain, seperti peraturan yang lebih tinggi agar tidak terjadi tumpang tindih Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda), berada di biro atau bagian hukum tiap pemerintah daerah.

Namun UU baru menempatkan kewenangan harmonisasi menjadi urusan kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Penarikan kewenangan harmonisasi Ranperda dari daerah ke pusat ini dapat dinilai sebagai salah satu upaya pemerintah untuk mengendalikan pembentukan perda yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, namun tidak menyalahi keputusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus kewenangan pemerintah pusat mencabut perda bermasalah..

Tetapi, dengan adanya kewenangan ini, pemerintah pusat terlalu campur tangan pada daerah.

Khairul Fahmi, ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas menyebut perubahan itu mendeligitimasi kewenangan pemerintah daerah (pemda) untuk membentuk peraturan daerah.

Padahal Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, menegaskan bahwa perda merupakan bentuk pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada Pemda.

Pembentukan perda menjadi hak konstitusional pemda, sehingga perda dapat dibuat tanpa harus menunggu delegasi pengaturan dari peraturan yang lebih tinggi.

Dalam UU baru, pemerintah pusat - melalui kementerian atau badan yang membidangi peraturan perundang-undangan - memiliki beban berat untuk melakukan penyelarasan begitu banyak perda.

Secara hierarki, regulasi semakin kebawah akan semakin banyak. Satu UU bisa memunculkan lima peraturan pemerintah (PP); satu PP sekurang-kurangnya juga akan direspons dengan satu perda di tiap daerah.

Melihat potensi masalah yang ada, wewenang untuk membentuk dan menyelaraskan perundang-undangan perlu dikembalikan ke pemda.

Partisipasi Publik

Menurut Philipe Nonet, seorang pakar hukum yang berasal dari Belgia, dan Philip Selznick, seorang profesor sosiologi dan hukum di University of California, yang bersama-sama menulis buku “Law and Society in Transition: Toward Responsive Law”, publik harus terlibat dalam proses pembentukan produk hukum.

Partisipasi publik diperlukan agar peraturan perundang-undangan yang dibentuk responsif dan sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat.

Partisipasi dan sosialisasi itu dua hal yang berbeda. Partisipasi masyarakat memungkinkan mereka menyalurkan aspirasi mereka. Masyarakat yang berpartisipasi dapat memberi masukkan terhadap penyusunan rancangan UU.

Sementara, sosialisasi adalah mengenalkan draf rancangan UU yang telah ada.

Bila peraturan yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat, maka penolakan terhadap suatu produk hukum tentu dapat dihindarkan. Hal ini juga akan memperkuat legitimasi pemerintah dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk tersebut sehingga dapat berlaku efektif.

Selama ini, yang dilakukan DPR dan pemerintah adalah sosialisasi. Bukan menampung aspirasi. Sebagai contoh, dalam revisi Kitah Undang-Undang Hukum Pidana, karena terjadi banyak penolakan, DPR berencana melakukan sosialisasi kembali ke masyarakat terkait draf yang telah ada.

Hal itu dilakukan karena DPR beranggapan banyak pasal yang menerima penolakan karena kesalahpahaman dari masyarakat. Seharusnya, yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR adalah menampung aspirasi, lalu merumuskan draf baru yang bersumber dari aspirasi publik.

UUD 1945 menjamin partisipasi publik. Pasal 28D ayat (3) berbunyi: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.

Selain itu, secara formal, UU PPP lama telah memberikan jaminan bagi warga negara untuk terlibat dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan di legislatif. Jaminan itu juga dituangkan dalam UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dan Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib DPR.

Namun, wadah untuk menampung dan alur untuk menyampaikan partisipasi publik tersebut tidak jelas - baik di UU lama maupun baru, sehingga partisipasi publik dalam membentuk UU hanya dijadikan syarat formal tanpa ada tolak ukur yang jelas.

Ditambah, partisipasi publik belum mendapatkan jaminan hukum yang lebih baik, khususnya mekanisme dalam menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan hasil dari tindaklanjut aspirasi tersebut.

Satu contoh lagi adalah revisi UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akibat tidak adanya partisipasi publik, UU tersebut menerima penolakan masif, bahkan UU hasil revisi yang belum ada nomornya saja sudah diuji di Mahkamah Konstitusi.


Baca juga: Pelemahan perlindungan terhadap perempuan di era reformasi dalam agenda RUU PKS dan RKUHP


Penyebab jumlah regulasi berlebih

Berikutnya yang tidak tersentuh adalah akar permasalahan yang menyebabkan terjadinya ‘obesitas’ regulasi.

Bila merujuk pada data Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), salah satu penyebab jumlah regulasi berlebih adalah karena aktivitas kementerian dalam membentuk aturan yang tidak terbendung.

Ada 7.621 peraturan menteri yang terbit dari 2014 hingga Oktober 2018 . Padahal, bila merujuk pada UU PPP, peraturan menteri hanya bersifat teknis administratif.

Hal ini terjadi karena pada UU PPP mengizinkan kementerian untuk mengeluarkan aturan berdasarkan kewenangan. Ini kemudian menjadi sarana kementerian menyalurkan ego untuk menerbitkan banyak peraturan.

Mayoritas peraturan menteri (permen) saat ini dibentuk berdasarkan kewenangan yang dimiliki menteri atau kementerian, bukan berdasarkan peraturan yang lebih tinggi.

Tiga hal di atas menunjukkan bahwa UU PPP yang telah direvisi perlu kembali direvisi. Hal itu perlu dilakukan untuk memberikan pembatasan kepada kementerian untuk mengeluarkan peraturan, serta memperjelas dan memberikan jaminan partisipasi publik diakomodasi dalam pembentukan undang-undang.The Conversation

Antoni Putra, Researcher, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: