Fay Bound Alberti, University of York

Kesepian itu seperti apa bunyinya? Saya menanyakan pertanyaan ini di Twitter baru-baru ini. Kita mungkin mengira bahwa orang-orang akan menjawab “keheningan,” tapi ternyata bukan. Jawaban mereka termasuk:

Siulan angin di cerobong - karena saya hanya mendengarnya ketika sendirian.

Riuh-rendah sebuah pub yang terdengar ketika pintunya terbuka.

Bunyi ‘klik’ dari pemanas ruangan saat dinyalakan atau dimatikan.

Suara burung-burung yang terdengar suram pada pagi hari di pepohonan pinggir kota.

Saya menduga setiap orang memiliki bunyi yang dikaitkan dengan kesepian dan keterasingan pribadi. Bagi saya sendiri, saya suara itu adalah suara angsa Kanada. Suara itu mengingatkan saya pada masa sebagai mahasiswa berusia 20 tahun yang tinggal di asrama mahasiswa setelah putus cinta.

Kita berada dalam suatu “epidemi”; sebuah “krisis” kesehatan mental. Pada 2018, pemerintah Inggris begitu prihatin sehingga menunjuk “seorang Menteri Urusan Kesepian.” Negara-negara seperti Jerman dan Swiss mungkin akan mengikuti jejak yang sama.

Narasi ini menjadikan kesepian sebagai suatu keadaan universal; kenyataannya tidak. Kesepian termasuk ke dalam kelompok emosi yang mencakup sejumlah perasaan, seperti rasa marah, malu, sedih, cemburu, dan duka.

Rasa kesepian dari seorang ibu tunggal yang miskin, misalnya, sangat berbeda dengan laki-laki tua yang teman-temannya telah meninggal atau remaja yang punya banyak teman daring (online) tapi tidak memiliki teman di dunia nyata. Dan kesepian di daerah pedesaan berbeda dengan kesepian di daerah perkotaan.

Dengan menganggap kesepian sebagai sebuah virus atau epidemi, kita memperlakukannya sebagai kondisi medis dan bahkan mencari pengobatan farmakologis untuk mengatasinya.

Tahun ini para peneliti mengumumkan bahwa “pil kesepian” sedang dibuat. Langkah ini merupakan bagian dari pengobatan emosi sebagai masalah kesehatan mental, dengan intervensi yang berfokus pada gejala, bukan penyebab.

Tapi kesepian itu bersifat fisik dan juga psikologis. Bahasa dan pengalamannya juga berubah seiring waktu.

Bagai sebuah awan di langit luas

Sebelum tahun 1800, kata kesepian tidak selalu bermakna emosional: kata ini hanya diartikan sebagai suatu keadaan tidak bersama orang lain.

Kata kesepian dalam Glossographia karya seorang leksikograf, Thomas Blount, didefinisikan sebagai “satu; sebuah kesendirian, atau kesunyian, tunggal atau ketunggalan”.

Kesepian biasanya mendefinisikan tempat ketimbang orang: sebuah kastel yang sunyi, pohon yang sepi, atau berkeliaran “sendirian bak awan” dalam puisi karya Wordsworth tahun 1802.

Pada masa itu, “kesendirian” jarang dipandang negatif. Situasi tersebut justru memungkinkan untuk bersatu dengan Tuhan, seperti tergambar di Alkitab: Yesus “menarik diri ke tempat-tempat yang sepi dan berdoa”.

Bagi banyak penganut paham Romantik, alam menyajikan fungsi kuasi-religius atau deistic yang sama. Bahkan tanpa kehadiran Tuhan, alam memberikan inspirasi dan kesehatan; ini tema yang terus ada dalam beberapa gerakan pelestarian lingkungan hidup abad ke-21.

Namun, keterkaitan antara diri dan dunia (atau Tuhan-di-dunia) juga ditemukan dalam ilmu kedokteran. Tidak ada pembagian antara pikiran dan tubuh, seperti yang ada saat ini.

Antara abad ke-2 dan ke-18, bidang kedokteran menentukan bahwa kesehatan tergantung pada empat cairan tubuh: darah, dahak, empedu hitam, dan empedu kuning. Lalu, emosi bergantung pada keseimbangan keempat cairan tersebut, yang dipengaruhi oleh usia, gender, lingkungan, termasuk pola makan, olahraga, tidur, dan kualitas udara.

Kesendirian yang berlebihan sama berbahayanya dengan terlalu banyak makan daging kelinci. Kesendirian saat itu dianggap sebuah masalah fisik dan mental.

Cara pandang holisme antara kesehatan mental dan fisik ini - yang memungkinkan seseorang mengobati tubuhnya untuk menyehatkan pikiran - hilang dengan munculnya kedokteran ilmiah abad ke-19. Tubuh dan pikiran dipisahkan ke dalam sistem dan spesialisasi yang berbeda: psikologi dan psikiatri untuk pikiran, dan kardiologi untuk jantung.

Inilah mengapa kita melihat emosi sebagai sesuatu yang berada di otak. Tapi dengan berbuat demikian, kita sering mengabaikan pengalaman fisik dan berfokus pada pengalaman emosi. Tidak hanya melalui bunyi, namun juga sentuhan, bau, dan rasa.

Hati yang hangat

Penelitian tentang panti jompo menunjukkan bahwa orang-orang yang kesepian memiliki keterikatan terhadap benda-benda material, bahkan ketika mereka pikun dan tidak bisa mengungkapkan kesepian secara verbal.

Orang yang kesepian juga mendapat manfaat dari interaksi fisik dengan hewan peliharaan. Detak jantung anjing bahkan ditemukan selaras dengan pemiliknya; hati yang cemas menjadi tenang dan “hormon bahagia” diproduksi.

Ruang yang disediakan agar orang-orang dapat makan bersama, serta terapi musik, menari, dan pijat, ditemukan bisa mengurangi kesepian, bahkan di antara orang dengan PTSD (post traumatic stress disorder) atau gangguan stres pascatraum.

Upaya yang dilakukan melalui panca indera memberikan keterhubungan dan rasa kebersamaan pada orang yang kekurangan kontak dan sentuhan dengan orang lain.

Istilah seperti “berhati hangat (ramah)” menggambarkan interaksi sosial ini. Istilah-istilah ini berkembang dari gagasan lampau yang menghubungkan antara emosi seseorang dan kemampuan bersosialisasi dengan organ fisik mereka.

Metafora berbasis kehangatan ini masih digunakan untuk menggambarkan emosi. Dan orang-orang kesepian tampaknya mendambakan pemandian dan minuman panas, seolah kehangatan fisik ini dapat menggantikan kehangatan sosial.

Dengan menyadari penggunaan bahasa dan benda budaya, kita dapat terbantu dalam menilai apakah orang lain - atau kita sendiri - merasa kesepian

Kalau kita belum berfokus pada penyebab fisik dan penyebab psikologis dari gejala-gejala kesepian, kemungkinan kita tidak dapat menemukan “obat” untuk epidemi modern ini.

Ini karena pemisahan antara pikiran dan tubuh mencerminkan pemisahan yang lebih luas yang telah muncul antara individu dan masyarakat serta antara diri dan dunia.

Banyak proses modernitas yang didasarkan pada individualisme; dengan keyakinan bahwa kita berbeda, sepenuhnya makhluk yang terpisah satu dari yang lain.

Pada saat yang sama, ketika ilmu kedokteran membagi tubuh menjadi berbagai kekhususan dan bagian, perubahan sosial dan ekonomi yang dibawa oleh modernitas - industrialisasi, urbanisasi, dan individualisme - mengubah pola kerja, kehidupan, dan waktu luang, dan menciptakan alternatif sekuler untuk gagasan Tuhan-di-dunia.

Perubahan-perubahan ini dibenarkan oleh sekularisme. Tubuh fisik dan duniawi didefinisikan ulang secara material ketimbang spiritual; sebagai sumber daya yang dapat dikonsumsi.

Narasi evolusi yang diadaptasi oleh penganut Darwinisme sosial, menyatakan bahwa individu yang kompetitif tidak hanya dapat dibenarkan, tetapi juga tidak terhindarkan. Klasifikasi dan pembagian merupakan aturan yang berlaku: antara pikiran dan tubuh, antara alam dan budaya, antara diri sendiri dan orang lain.

Hilang sudah kesadaran bersosialisasi, seperti yang dinyatakan oleh Alexander Pope, “cinta pada diri dan sosial sama saja.”

Maka tidak mengherankan, kalau bahasa kesepian telah meningkat pada abad ke-21. Privatisasi, deregulasi, dan penghematan telah melanggengkan kekuatan liberalisasi.

Bahasa kesepian tumbuh pesar di celah yang diciptakan oleh ketidakberartian dan ketidakberdayaan yang, menurut Karl Marx dan sosiolog Emile Durkheim, identik dengan zaman pasca-industri.

Tentu saja kesepian bukan hanya tentang keinginan material. Para miliarder juga kesepian. Kemiskinan mungkin meningkatkan kesepian yang terkait dengan isolasi sosial, namun kekayaan tidak mampu menepis ketiadaan makna pada zaman modern ini.

Tidaklah juga berguna untuk mencari “kebaikan bersama” dalam “komunitas” abad ke-21 yang ada secara daring maupun luring yang tidak memiliki kewajiban bersama seperti yang terdapat dalam definisi komunitas sebelumnya.

Saya tidak menyarankan kita kembali ke konsep cairan tubuh, atau ke utopia rekaan ala era pra-industri. Tapi menurut saya, kita perlu memberi perhatian lebih pada sejarah kesepian yang rumit.

Dalam konteks sejarah ini, klaim “epidemi” yang muncul begitu saja ternyata tidak membantu. Sebaliknya, kita harus membahas apa arti “komunitas” pada masa kini, dan mengakui berbagai macam kesepian (positif dan negatif) yang ada dalam individualisme modern.

Untuk melakukan ini, kita harus merawat tubuh, karena itulah cara kita terhubung ke dunia, dan satu sama lain, sebagai makhluk indrawi dan jasmaniah.

Aisha Amelia Yasmin menerjemahkan artikel ini dari bahasa InggrisThe Conversation

Fay Bound Alberti, Reader in History and UKRI Future Leaders Fellow, University of York

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: