Luthfi T. Dzulfikar, The Conversation

Akademisi berpendapat bahwa beberapa pasal dalam Undang-undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek) rawan dipolitisasi oleh pihak berwenang dengan alasan ‘keamanan nasional’, sehingga mengancam kebebasan akademik.

UU tersebut mengatur bahwa peneliti dapat dijatuhi pidana jika melakukan penelitian yang ‘berbahaya’ tanpa izin dari pemerintah.

Herlambang Wiratraman, Direktur Centre of Human Rights Law Studies di Universitas Airlangga, mengatakan bahwa pasal ‘penelitian berbahaya’ ini bisa menghalangi kemajuan riset Indonesia. Pasalnya, definisi penelitian yang ‘berbahaya’ rawan ditafsirkan secara bebas oleh pihak-pihak berwenang yang memiliki watak otoriter.

Ribuan mahasiswa di berbagai kota turun ke jalan akhir September lalu. Meskipun UU Sisnas Iptek, yang mulai berlaku bulan Agustus lalu ini tidak terlalu dikenal masyarakat, UU ini dianggap salah satu dari berbagai legislasi kontroversial yang berujung pada protes yang terjadi di seluruh Indonesia.

UU ini mengharuskan semua riset yang dianggap ‘berbahaya’ untuk mengantongi izin terlebih dahulu, yang diberikan oleh pemerintah pusat setelah diloloskan oleh suatu komite etik yang bersifat ad hoc.

Di dalam UU ini, penelitian yang termasuk dalam kategori ‘berbahaya’ adalah riset-riset yang dianggap mengancam di antaranya ‘kerukunan bermasyarakat’ dan ‘keamanan nasional’.

Bagi mereka yang melanggar, akan dijatuhi pidana penjara maksimal satu tahun atau denda hingga Rp2 milyar.

Herlambang berpendapat bahwa pasal ini mengandung definisi-definisi yang memberikan ruang untuk interpretasi yang luas dari aparat, terutama terkait topik penelitian yang dianggap sensitif oleh pemerintah.

“Kalau ada penelitian misalnya mencoba meneliti sampai ke pedalaman [Papua] untuk analisis konflik atau menemukan pihak yang seharusnya diajak berbicara, dari perspektif negara atau militer itu bisa saja dianggap mengancam NKRI dan seterusnya. Padahal harusnya dihargai sebagai proses saintifikasi secara ilmu sosial,” katanya.

“Apakah demikian yang disebut membahayakan? Karena tanpa definisi atau elemen pemaknaan yang jelas dan rigid, saya agak khawatir itu akan disalahgunakan dalam praktiknya.”


Baca juga: "Kita tidak bisa diam!": meski ditekan, akademisi dukung gerakan mahasiswa


Kisah lama yang terulang kembali

Herlambang mengatakan bahwa pasal-pasal ini mengingatkannya tentang pembatasan kebebasan akademik yang terjadi saat era Orde Baru, meskipun dengan karakter yang sedikit berbeda.

“Hari ini situasinya bergeser, 20 tahun pasca Soeharto jatuh, tekanan bisa muncul dari berbagai arah kapanpun dan dimanapun. Karakter pendisiplinan yang dulu tersentralisasi sekarang tidak lagi modelnya tersentralisasi,” katanya.

Diskusi akademik dibubarkan, pemutaran film dihentikan, dan juga misalnya seseorang dosen yang mengembangkan metode belajar lintas-agama itu bisa diancam kasusnya di Aceh. Modelnya beragam setelah Soeharto jatuh.”

Dosen Universitas Airlangga yang juga merupakan Ketua Kaukus Kebebasan Akademik Indonesia tersebut, kemudian berargumen bahwa pasal ‘penelitian berbahaya’ yang ada dalam UU Sisnas Iptek ini dapat mengembalikan Indonesia ke masa kegelapannya.

“Saya kira begitu, mungkin saja pasal-pasal ini mengembalikan peran negara menjadi aktor sentral lagi, dimana terlalu banyak mencampuri urusan terkait bagaimana ilmu pengetahuan dibangun,” katanya.


Baca juga: Academic freedom is under threat around the world – here`s how to defend it


Sebuah laporan dari Human Rights Watch menjelaskan dengan detail berbagai mekanisme yang digunakan oleh rezim Soeharto dalam membatasi kebebasan akademik.

Saat era Orde Baru, pemerintah menerapkan uji riwayat bagi seluruh staf pengajar dan mengkriminalisasi berbagai akademisi, termasuk Sri Bintang Pamungkas. Pemerintah juga menetapkan kebijakan yang terkenal dengan sebutan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK/BKK), suatu paket aturan yang membatasi ekspresi politik di lingkungan kampus di seluruh Indonesia.

Soeharto juga menerapkan pengawasan yang ketat untuk penelitian ilmiah. Peneliti yang ingin melakukan riset lapangan harus mendapatkan izin dari suatu badan urusan sosial politik di dalam Kementerian Dalam Negeri, sering disebut ‘sospol’, yang memiliki kewenangan melarang penelitian serta memegang suatu daftar hitam berisi peneliti dan penelitian yang ‘berbahaya’.

Syarat di atas pada akhirnya membuat peneliti menghindari topik riset yang kontroversial pada era Orde Baru, suatu hal yang dikhawatirkan Herlambang dapat terjadi lagi dengan adanya pasal-pasal karet dalam UU Sisnas Iptek.

Pejabat negara, integritas akademik

Fajri Siregar, kandidat doktoral di Universitas Amsterdam dengan spesialisasi di studi produksi pengetahuan, setuju bahwa iklim kebebasan akademik di Indonesia telah mengalami kemunduran.

Tetapi, Fajri berpendapat bahwa banyak ketentuan yang diatur di dalam UU Sisnas Iptek memang merupakan regulasi yang dibutuhkan di Indonesia, terutama terkait perlindungan aset biodiversitas.

“Misal ada plasma nutfah yang diambil atau ada sampel dan genetika biologis, dan seterusnya yang kemudian diambil dari Indonesia tanpa izin. Sebenarnya pertimbangannya lebih ke sana, lebih ke aspek proteksi,” katanya.


Baca juga: Setelah UU Sisnas Iptek keluar, pemerintah diminta terapkan aturan main baru yang tidak hambat riset internasional


Meskipun demikian, ia mengakui adanya risiko bahwa individu-individu berwatak otoriter bisa saja menggunakan UU tersebut untuk kepentingan politik.

“Tapi iya, ini yang saya khawatirkan kalau nanti figur-figur otoriter yang merasa ada riset tertentu tidak sesuai dengan ‘moral atau norma orang Indonesia’ kemudian pasal ini digunakan,” katanya.

Fajri berharap bahwa jabatan-jabatan penting yang akan mempengaruhi kebijakan penelitian di Indonesia, nantinya diisi oleh figur-figur berpengalaman dengan rekam jejak yang kuat di bidang akademik, tanpa kekangan kepentingan politik.

Selain itu, ia mengatakan bahwa masih ada ruang untuk meminimalisir risiko penyelewengan politik dari UU Sisnas Iptek, melalui berbagai peraturan pemerintah (PP) yang dirancang dengan niat menjunjung tinggi kebebasan akademik.

Pemerintah juga belum menentukan dengan detail bagaimana komite etik bekerja, yang nantinya akan menentukan riset mana yang ‘berbahaya’ dan yang tidak. Menciptakan PP yang memastikan mereka yang duduk di komite etik adalah orang-orang yang menghargai kebebasan akademik sangatlah krusial.

“Banyak PP-nya belum jalan, masih banyak yang harus disahkan. Tapi sambil jalan sambil bertarung di ranah lain,” katanya.

Herlambang memiliki pendapat yang sama. Ia menambahkan bahwa hanya kriteria ilmiah yang bisa digunakan untuk menentukan definisi dari penelitian yang ‘berbahaya’.

“Yang bisa menguji bukan rezim, bukan pemerintah, tapi para ilmuwan itu sendiri. Jadi apakah secara keilmuan itu berbahaya atau tidak harus ditempatkan kembali ke posisi keilmuan itu sendiri, bukan politik,” tegasnya.The Conversation

Luthfi T. Dzulfikar, Associate Editor, The Conversation

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: