JAKARTA, GRESNEWS.COM – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkapkan sepanjang 2014 telah menerima pengaduan pelanggaran HAM sebanyak 6527 berkas. Salah satu permasalahan pelanggaran HAM yang banyak diadukan adalah terkait sengketa agraria. Untuk itu Komnas HAM mendesak pemerintah baru agar benar-benar melakukan refomasi agraria untuk keadilan masyarakat.

Ketua Komnas HAM Hafid Abbas mengungkapkan munculnya ribuan kasus sengketa dan konflik agraria disebabkan perbedaan dasar hukum yang digunakan melakukan klaim. Selain itu adanya keterlibatan aparatur negara yang menegasikan  klaim dasar hukum yang digunakan oleh salah satu pihak.

“Misalnya negara mengabaikan klaim dan hak masyarakat hukum adat atas wilayah adat mereka yang diklaim sebagai kawasan hutan dan dinyatakan sebagai hutan negara,” ujar Hafid saat Laporan Tahunan Komnas HAM 2014 di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis (8/1).

Ia menyebutkan pada 2008 dari 56% aset nasional, hanya 0,2% yang dikuasai penduduk. Aset yang dikuasai penduduk sebanyak 65-87% berbentuk tanah. Lalu pada 2010 terdapat 1211 pengaduan yang terkait dengan sengketa atau konflik agraria dan penggusuran paksa. Pada 2012 sengketa agraria meningkat menjadi 1245 pengaduan.

Menurutnya, klaim dasar hukum yang dilakukan korporasi atau lembaga konservasi seringkali membuat terjadinya pengambilalihan wilayah atau hutan adat. Akibatnya terjadi perkelahian, tindakan kekerasan, dan kerusuhan yang seringkali tidak diselesaikan, bahkan cenderung dibiarkan.

Sayangnya konflik agraria seringkali digeser menjadi konflik sosial. Undang-Undang Nomor 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial,   justru malah menempatkan kelompok masyarakat sebagai pengganggu keamanan dan ketertiban sosial. Sehingga penyelesaian dengan prosedur hukum dan administratif seringkali justru tidak memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat.  

Hafid pun mendesak pemerintah segera melakukan reformasi agraria untuk menyelesaikan konflik yang berkembang. Menurutnya, perlu ada kepastian hukum terhadap penguasaan tanah-tanah oleh penduduk setempat. Pemerintah juga perlu melakukan inventarisasi dan proses pengakuan atas keberadaan masyarakat hukum adat.

Senada dengan Hafid, Wakil Ketua Internal Komnas HAM Anshori Sinungan menyatakan konflik agraria yang terjadi seringkali melibatkan aparat keamanan dan pemerintah daerah. Pemerintah daerah biasanya menghadirkan korporasi di wilayah agraria dalam rangka pembangunan regional. Tapi harusnya pemerintah daerah bisa menimbang sejauh mana pembangunan tersebut bisa menghadirkan kesejahteraan masyarakat sekitar.

“Pemerintah harus lebih berhati-hati menghadirkan korporasi,” ujarnya dalam kesempatan yang sama di Komnas HAM, Jakarta, Kamis (8/1).

Sedang menurut Direktur Informasi dan Komunikasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Firdaus Cahyadi mengatakan akar permasalahan konflik agraria karena persoalan perijinan dan aturan hukum. Ia menjelaskan di dalam hutan negara seringkali ada hutan adat. Tapi negara seringkali justru mengobral hutan untuk kepentingan investasi korporasi. Sehingga keberadaan masyarakat adat seringkali dikesampingkan. Padahal sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi yang mengakui hutan adat bukan lagi hutan negara.

“Saat diberikan izin ke perusahaan, masyarakat ingin merebut kembali hutannya berdasarkan putusan MK, konflik dan pelanggaran HAM seringkali terjadi saat itu,” ujar Firdaus pada Gresnews.com, Kamis (8/1).

BACA JUGA: