JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Nasional Anak mencatat adanya peningkatan kasus kriminalitas yang dilakukan oleh anak. Jika pada tahun 2013 terdapat 730 kasus yang melibatkan anak sebagai perilaku kriminal anak. Angka tersebut meningkat pada tahun 2014 menjadi 1.851 kasus. Pada tahun 2013 sebanyak 16% pelaku kriminalitas berusia dibawah 14 tahun. Sedang pada tahun 2014 meningkat sebanyak 26%.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait menjelaskan sejumlah faktor yang menjadi penyebab seorang anak bisa terlibat kasus kriminal. Pertama, Secara umum dunia anak meniru atau mengimitasi perilaku orang disekitarnya. Orang terdekat yang ada disekitar anak tentunya adalah orang tua, lingkungan sosial masyarakat, dan sekolah.

"Lalu berikutnya adalah tontonan-tontonan melalui televisi dan internet. akibatnya anak bisa saja menemukan situs pornografi dan melakukan tindakan pemerkosaan," ujar Arist pada Gresnews.com, Minggu (4/1).

Menurut Arist, sebab kedua adalah tersumbatnya saluran energi anak. Sebabnya lingkungan sekitar seperti sekolah tidak lagi ramah terhadap anak. Misalnya kurikulum sekolah hanya berorientasi pada kecerdasan intelektual. Sementara kecerdasan emosional tidak tersalurkan dengan baik. Arist menambahkan, akibat kecerdasan emosional tidak tersalurkan dengan baik maka energi tersebut tidak  diimplementasikan dengan baik secara sosial. Misalnya seorang anak mem-bullying adik kelasnya disekolah.

Senada dengan Arist, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto menyatakan pola asuh yang bermuatan kekerasan menjadi pemicu anak untuk melalukan tindakan kriminal. Selain itu, permisifitas lingkungan terhadap tindakan kekerasan dan minimnya edukasi dari orang tua juga bisa menjadi pemicu.

"Misalnya orang tua membiarkan anak berkelompok dengan pelaku tindakan kriminal. Sehingga anak terinspirasi melakukan tindakan kriminalitas," ujar Susanto pada Gresnews.com, Minggu (4/1).

Selanjutnya, anak melakukan tindakan kriminalitas karena melihat tayangan televisi, berita kriminal, dan game online yang mengandung unsur kekerasan. Menurutnya game online yang marak dimainkan anak - anak seringkali mengandung unsur pembunuhan atau penembakan. Akibatnya ketika anak menyelesaikan masalah di lingkungan sosialnya ia mengimplementasikan apa yang dipelajari dari game online tersebut.

Terakhir, sistem pendidikan belum menyediakan deteksi dini dan perlindungan anak dari kekerasan. Pasalnya ada beberapa sekolah yang memiliki kultur kekerasan. Ia mencontohkan seperti guru yang menghukum siswanya dengan kekerasan karena kesalahan tertentu atau kakak kelas yang menyiksa adik kelasnya. Hal demikian di sejumlah sekolah justru dianggap sebagai hal yang lumrah. Menurutnya hal diatas sangat berpengaruh terhadap anak untuk menjadi pelaku tindakan kriminal.

BACA JUGA: