JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kenaikan bahan bakar minyak bersubsidi sebesar Rp2000 yang diputuskan pemerintah beberapa waktu lalu, dipastikan semakin membuat nelayan terpuruk. Pasalnya, saat pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM, khususnya solar, yang selama ini dibutuhkan oleh para nelayan, pemerintah juga belum memastikan program-program apa saja yang diperuntukkan bagi masyarakat perikanan skala kecil.

Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim mengatakan, salah satu cara untuk menyejahterakan masyarakat nelayan adalah dengan jalan membenahi keteraturan pasokan dan pengawasan penyaluran BBM bersubsidi. Pasalnya, BBM dapat dikatakan merupakan urat nadi bagi kehidupan para nelayan.

"Untuk melaut, sebesar 70% kebutuhan nelayan diperuntukkan untuk membeli BBM. Di Indonesia, nelayan skala kecil yang memakai perahu di bawa 5GT kesulitan mendapatkan BBM, apalagi yang bersubsidi," kata Halim kepada Gresnews.com, Sabtu (22/11).

Sementara, kata dia, hasil tangkapan terus menurun disebabkan di antaranya pemakaian alat tangkap trawl yang merusak. Hal ini mengakibatkan kualitas keluarga nelayan terus menurun, baik di bidang pendidikan maupun kesehatan.

"Saat tidak bisa melaut, kecenderungan nelayan skala kecil adalah mencari pinjaman dana untuk menopang kebutuhan hidup sehari-hari. Inilah dampak negatif yang dirasakan oleh nelayan," kata Halim menambahkan.

Ketika BBM dinaikkan, namun mata rantai pendistribusian BBM bersubsidi tidak dibenahi, maka nelayan akan semakin menderita. Pertama, naiknya BBM akan mengurangi biaya pendidikan anak-anak nelayan. Kedua, naiknya BBM juga memukul pendapatan nelayan yang sebagiannya dialokasikan untuk kesehatan keluarganya.

Terkait daya beli, dipastikan kemampuan nelayan skala kecil menurun disebabkan harga-harga kebutuhan pokok juga naik, sementara kemampuan nelayan untuk melaut menurun drastis, dalam setahun hanya 90 hari.

Karena itu, kata Halim, jelas kenaikan harga BBM sangat memberatkan nelayan. Mestinya yang dibenahi adalah kapasitas negara dalam menyalurkan BBM bersubsidi dan mengawasinya. "Sebagian kampung nelayan belum memiliki sarana Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN) sehingga menyulitkan nelayan mendapatkan BBM bersubsidi," ujarnya.

Karena itu, kata Halim, harus ada kebijakan khusus untuk nelayan tradisional berkenaan dengan penyaluran BBM bersubsidi. Pertama, membenahi mata rantai penyaluran BBM bersubsidi dan pengawasannya. Kedua, menyediakan informasi mengenai harga ikan yang bisa diakses oleh masyarakat nelayan tradisional.

Ketiga, memastikan hadirnya fasilitas pengolahan ikan di kampung-kampung nelayan. Keempat, memastikan perempuan nelayan mendapatkan pengakuan politik di dalam kebijakan nasional dan program-program pemberdayaan yang diarahkan untuk meningkatkan kapasitas peran dan keberadaan mereka di Indonesia.

Sebelumnya, Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Riza Damanik mengatakan, kenaikan harga BBM bersubsidi di kampung nelayan, ternyata lebih tinggi dari harga resmi yang ditetapkan pemerintah.

Sama seperti sebelumnya, penaikan BBM Rp 2000 kali ini, kata Riza, mendongkrak kenaikan Rp2500 hingga Rp6000 per liternya di kampung nelayan. "Sebaliknya harga udang di Lampung dan ikan di Kendal justru turun," ujarnya.

Laporan diterima KNTI mengungkapkan, kenaikan harga beli BBM jenis Solar di kampung nelayan dan petambak bervariasi. Di Rawajitu, Lampung harganya mencapai Rp8500-Rp 9000 per liter. Sementara, di Tanjung Balai dan Langkat, Sumatera Utara harganya mencapai Rp7800-Rp 8500.

Di Kendal dan Demak Jawa Tengah masing-masing Rp7800 dan Rp8000, di Gresik dan Surabaya, Jawa Timur Rp8500, di Lombok Timur Rp9000, dan Lamalera, NTT Rp12500.

"Dengan tidak mengabaikan persoalan karut-marut pengelolaan energi nasional, KNTI menyayangkan ketidaksiapan pemerintah mengantisipasi dampak kenaikan BBM di kampung nelayan," kata Riza kepada Gresnews.com.

BACA JUGA: