JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sedikitnya 30 nelayan dan perempuan nelayan dari kabupaten/kota di Jawa Tengah mendesak DPR untuk mengagendakan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan sebagai prioritas Program Legislasi Nasional 2014-2019. Alasannya, selama ini harapan nelayan dan perempuan nelayan agar dapat terpenuhi hak-haknya ternyata masih jauh panggang dari api.

"Pengabaian dan terlanggarnya hak-hak mereka ditengarai karena minusnya peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan," kata Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Minggu (9/11).

Fakta yang disampaikan adalah aktivitas melaut, mulai dari persiapan melaut, saat melaut, pengolahan hingga proses penjualan mengalami berbagai tindakan yang mencederai hak-hak konstitusional nelayan. Di antaranya adalah penyerobotan wilayah tangkap dan pencemaran pesisir dan laut, meski Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perlindungan Nelayan sudah ada.

Hal lain yang tak kalah penting adalah menyelesaikan persoalan perizinan yang bertele-tele dan memakan waktu dan biaya yang tak sedikit. Juga akses permodalan dan bahan bakar minyak bersubsidi yang hampir mustahil diperoleh dengan ketentuan harga Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2012, yakni Rp4.500 (Empat Ribu Lima Ratus Ribu Rupiah).

"Parahnya, saat kecelakaan melaut terjadi, justru tidak ada keberpihakan dari pemerintah, misalnya jaminan perbaikan kapal," ujar Koordinator Nelayan Jawa Tengah Sugeng Triyanto.

Lebih parahnya, kata Sugeng, di saat yang sama, perempuan nelayan belum diakui peran dan keberadaannya di dalam kebijakan kelautan dan perikanan. "Padahal, kontribusinya amat sangat signifikan bagi keluarga-keluarga nelayan, termasuk memastikan sistem ekonomi yang memihak kepentingan perempuan dan keluarganya, bukan tengkulak," ujarnya.

Masalah kesejahteraan nelayan memang diragukan bakal menjadi prioritas baik di pemerintahan maupun di DPR. Di pemerintahan misalnya, sempat dipertanyakan mengapa Presiden Joko Widodo menempatkan pengusaha di kementerian yang mengurusi sektor pangan. Misalnya pengusaha perikanan dan angkutan udara Susi Pudjiastuti yang didaulat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan serta Amran Sulaiman sebagai Menteri Pertanian.

Selama ini Susi dikenal sebagai pengusaha, pemilik, dan Presiden Direktur PT ASI Pudjiastuti Marine Product, eksportir hasil-hasil perikanan. Ia juga sebagai pemilik PT ASI Pudjiastuti Aviation yang merupakan usaha yang bergerak dibidang penerbangan Susi Air dari Jawa Barat.

Memang ada sisi positif dan negatifnya bila seorang menteri berasal dari swasta. Selama ini menunjukkan rekam jejak yang baik masih layak ia menjadi pejabat negara. Bagaimana dengan Susi?

Riza Damanik, Direktur Eksekutif Indonesia Global Justice (IGJ) memiliki beberapa catatan tentang kiprah Susi selama ini. "Ia harus bisa bersikap profesional untuk memisahkan kerja menteri dengan kerja bisnisnya," ucap Riza kepada Gresnews.com, Minggu (26/10) lalu.

Misalnya ada sejumlah catatan yang menyebutkan Susi pernah tidak melunasi pinjaman "Mina Mandiri" ke Bank Indonesia sebesar Rp34 miliar. Tudingan lainnya pada Susi yang perlu dibuktikan adalah ketidaktransparanan Susi dalam pengelolaan dana bantuan korban tsunami bagi masyarakat Pangandaran.

Catatan lainya adalah bagaimana Susi memperlakukan para pegawainya. Konon perusahaan yang dikelola Susi tidak memberikan upah yang layak dan tidak sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR).

Dengan latar belakangnya sebagai pengusaha, Susi perlu membuktikan dirinya profesional. Ia harus dapat menghindari conflict of interest antara bisnis perikanan dan transportasi yang dimilikinya dengan program-program kerakyatan yang menggunakan APBN.

Hal ini hanya dapat dilakukan bila partisipasi dan transparansi publik dalam penyelenggaraan program KKP dibuka luas. "Hal itu sangat diperlukan mengingat banyaknya agenda yang harus diselesaikan pada sektor kelautan dan perikanan," kata Riza.

Agenda tersebut di antaranya, pertama, meningkatkan kesejahteraan nelayan yang membutuhkan perbaikan pada permodalan, produksi, pengolahan, dan pemasaran. Kedua, penguatan sistem logistik pangan yang membutuhkan pembenahan fungsi kepelabuhanan dan armada angkut.

Ketiga, penyelenggaraan sistem informasi dan data yang membutuhkan sinergi dengan lembaga penelitian, dan organisasi-organisasi nelayan setidaknya terkait volume dan lokasi penangkapan, cuaca, dan harga ikan.

Keempat, membenahi regulasi kelautan dan perikanan dalam rangka memperkuat daya lenting mengahadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), khususnya terkait perikanan.

BACA JUGA: