JAKARTA, GRESNEWS.COM - Layanan publik di sejumlah sektor dinilai belum memenuhi harapan masyarakat. Dalam 5 tahun terakhir pemerintah tidak menjadikan pelayanan publik yang adil dan berkualitas sebagai agenda prioritas.  

Di sektor pendidikan misalnya, telah terjadi komoditi pasar bebas terutma untuk pendidikan tinggi. Sehingga pendidikan menjadi mahal namun jaminan mutunya ternyata samar. "Sementara, kelompok miskin semakin kesulitan mengakses sekolah bermutu terutama di jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA)," kata Koordinator Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3) Fransisca Fitri melalui surat elektronik yang diterima Gresnews.com, Selasa (31/12).

Ironisnya,  menurut Fransisca, di tengah persoalan yang menimpa pendidikan tinggi hingga menengah tersebut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) justru mengalokasikan sebagian anggaran untuk dana abadi pendidikan yang rentan dikorupsi. Langkah Kemendikbud itu membuat sekolah menjadi kekurangan dana dan hal itu menjadi alasan sekolah untuk menarik sumbangan yang seringkali berubah menjadi pungutan pada orang tua murid.

Oleh karena itu menurut Fransisca wajar jika APM (Angka Partisipasi Murni) dan angka putus sekolah pada jenjang pendidikan SMP hingga SMA masih tinggi terutama di daerah perkotaan.

Padahal menurut Fransisca anggaran pendidikan telah ditetapkan sebesar 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun hanya sekitar 10% yang digunakan untuk pelayanan langsung untuk murid guna meningkatkan kualitas dan akses pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. "Perhatian kepada pendidikan tinggi bahkan dapat dikatakan tidak ada," ujarnya.

Tidak hanya di sektor pendidikan, layanan publik di sektor hukum juga memprihatinkan. Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW Febri Hendri mengatakan dari sektor peradilan, administrasi peradilan merupakan bagian dari pelayanan publik yang masih lambat dan korup, tidak terkecuali bagi warga yang miskin, buta hukum dan tertindas. "Masih ditemukan kasus-kasus salah tangkap dan penundaan pemberitahuan putusan yang melanggar hak warga negara," katanya.

Menurut Febri dari sektor anggaran pelayanan publik, bila Pendidikan mendapat 368,9 triliun atau 20% dari APBN 2014 sebesar 1.842,4 triliun,  maka sektor kesehatan hanya mendapat 46,45 triliun atau 2,4 persen dari APBN.

Hal tersebut menurutnya jelas-jelas telah melanggar Undang-Undang 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Terutama pasal 171 ayat (1), (2), dan (3) yang menyebutkan bahwa besaran anggaran kesehatan minimal 5% APBN dan minimal 10% APBD diluar gaji dan belanja pegawai, dan sekurang-kurangnya 2/3 dari anggaran kesehatan diprioritaskan untuk pelayanan publik.

Dari temuan dan analisis di atas membuktikan bahwa dalam 5 tahun terakhir pemerintah belum memprioritaskan pelayanan publik yang adil dan berkualitas dan belum menjalankan mandat konstitusi dengan baik. "Pemerintah tidak tegas bersikap dalam menolak tekanan kepentingan pasar yang merugikan pemenuhan pelayanan kepada warga negara," ujarnya

Menurut Febri ke depan pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi harus mempercepat penetapan standar pelayanan dan maklumat pelayanan di semua penyelenggara layanan pada berbagai tingkatan. Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menurut Febri juga harus lebih proaktif melakukan pengawasan pelayanan publik serta memperkuat dan memperluas jaringan koordinasi dengan lembaga-lembaga pengaduan yang dibentuk masyarakat.

Pemerintah harus segera merealisasikan anggaran yang pro pelayanan publik yang berkualitas kepada setiap warga negara. Sektor dasar seperti kesehatan, infrastruktur, dan pendidikan yang dibutuhkan rakyat miskin dan kelompok rentan harus menjadi prioritas yang dilaksanakan secara terukur, optimal dan berkelanjutan.

BACA JUGA: