QATAR - Konferensi Perubahan Iklim ke-18 UNFCCC (COP18/CMP8) di Doha, Qatar ditutup pada Sabtu (8/12) pada pukul pukul 20.00. Presiden COP18/CMP8 Abdullah bin Hamad Al-Attiyah menutup konferensi dengan beberapa keputusan penting, di antaranya mengenai kelanjutan Protokol Kyoto periode komitmen kedua, pengurangan emisi dengan ambisi yang lebih besar, serta pelaksanaan komitmen penyediaan pendanaan jangka panjang oleh negara maju untuk membantu negara berkembang melaksanakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Keputusan yang tertuang dalam Doha Climate Gateway tersebut tidak sepenuhnya memuaskan bagi Indonesia dan negara-negara berkembang lain, khususnya mengenai komitmen pengurangan emisi dan penyediaan pendanaan oleh negara maju, demikian dilansir setgab.go.id, Minggu (9/12).

Mengenai keberlanjutan Protokol Kyoto, sebanyak 37 negara maju dan Uni Eropa telah menyepakati pelaksanaan periode komitmen kedua (Second Commitment Period) selama 8  tahun terhitung sejak tanggal 1 Januari 2013. Negara-negara tersebut merepresentasikan kurang dari 20 persen emisi gas rumah kaca dunia.

Sedangkan tiga negara maju yaitu Rusia, Jepang dan Selandia Baru memutuskan untuk tetap menjadi anggota (negara pihak) Protokol Kyoto, namun tidak memiliki komitmen penurunan emisi. Sementara itu Kanada bergabung dengan Amerika Serikat yang memutuskan untuk keluar dari Protokol Kyoto.

Menanggapi hasil keputusan Doha tersebut, Ketua Delegasi RI Rachmat Witoelar mengatakan Indonesia meminta negara maju menunjukkan kepemimpinannya dalam upaya pengurangan emisi. Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Rusia dan Selandia Baru diharapkan dapat membuat komitmen yang berimbang di dalam jalur lain di bawah konvensi perubahan iklim PBB.  

Terkait pendanaan, negara maju hanya dapat menyetujui keputusan yang sifatnya "qualitative reassurance" yaitu meyakinkan kembali bahwa mereka akan melaksanakan komitmen penyediaan pendanaan jangka panjang (long-term finance) yang dibuat di Copenhagen, Denmark pada COP 15 tahun 2009. Pada saat itu, negara maju berkomitmen untuk memobilisasi dana sejumlah US$100 miliar sampai tahun 2020 dengan catatan negara berkembang melakukan aksi mitigasi dan melaporkannya secara transparan.

Di Doha, negara berkembang meminta agar penyaluran pendanaan jangka panjang tersebut dimulai dengan kerangka tiga tahun (2013-2015)-atau diistilahkan mid-term financing-dengan nilai dana US$60 miliar. Angka konkrit tersebut sangat diperlukan agar negara berkembang memiliki kepastian mengenai pendanaan yang tersedia untuk membantu mereka, khususnya mengenai komitmen pengurangan emisi dan penyediaan pendanaan oleh negara maju kepada negara berkembang untuk meningkatkan kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Enggannya negara maju untuk mendorong pembentukan mekanisme internasional Loss and Damage menjadi hambatan dalam mempercepat aktivitas menekan dampak loss and damage akibat perubahan iklim.

Namun demikian, Indonesia melihat potensi dari diselesaikannya rencana kerja Komite Adaptasi sebagai peluang untuk dimanfaatkan sebagai langkah memperkuat adaptasi dan rencana aksi adaptasi di negara-negara rentan.

Negara berkembang juga memerlukan bantuan pendanaan untuk melaksanakan berbagai aksi pengurangan emisi mereka meski tidak diwajibkan oleh Konvensi UNFCCC. Tanpa adanya keputusan mengenai angka tersebut, negara berkembang mengkhawatirkan akan terjadi kesenjangan pendanaan setelah periode pendanaan jangka pendek (fast-start finance) untuk periode 2020-2012 senilai US$30 miliar berakhir tahun ini.

Keputusan yang dinilai positif mengenai pendanaan adalah kesediaan negara maju untuk melaporkan bagaimana mereka akan membuat strategi dan pendekatan dalam upaya memobilisasi pendanaan jangka panjang dan melaporkannya pada COP 19 di Warsawa, Polandia akhir tahun 2013. Negara maju juga menyetujui bahwa dana-dana yang akan disalurkan oleh mereka dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi melalui mekanisme di UNFCCC.

Melihat kesepakatan tersebut, Indonesia bersama beberapa negara berkembang menuntut strategi dan pendekatan bagi penyediaan pendanaan bagi negara berkembang,  agar aliran dan sumber dana yang akan dimobilisasi oleh negara maju secara transparan dan dapat diperkirakan.

BACA JUGA: