JAKARTA - Koalisi Keadilan Iklim menuding solusi perubahan iklim yang ditawarkan pemerintah Australia melalui demplot proyek REDD Kalimantan Forest and Climate Partnership (KFCP) adalah solusi palsu. Sebab pada saat yang sama, perusahaan-perusahaan asal Australia seperti Freeport/Rio Tinto terus merusak lingkungan dan memiskinkan rakyat Papua. Perusahaan lainnya, BHP Billiton juga akan membongkar batubara di kawasan lindung Kalimantan Tengah, tambang emas Hillgrove akan membongkar kawasan Taman nasional Wanggameti dan Tanadaru di Sumba, sementara tambang emas lainnya di Batang Toru Sumatera Utara, mulai membuang limbah tailingnya ke sungai, setelah aparat keamanan menembaki warga yang protes menolaknya.

Dalam siaran pers, Kamis (29/11), Koalisi Keadilan Iklim menerangkan peran Australia membiayai Coral Triangle Initiative dan KFCP untuk konservasi dan perubahan iklim, serta investasi pertambangan di Kepulauan Indonesia menandakan Australia dan negara industri lainnya menjalankan standar ganda dalam perundingan iklim. Karenanya Indonesia harus keluar dari skenario diplomasi iklim Australia yang menyandera keselamatan rakyat Indonesia dari dampak buruk perubahan iklim. Keterlibatan Australia dalam perusakan lingkungan dan perampasan tanah air, sejatinya memperparah dampak buruk perubahan iklim.

Diterangkan pula, saat ini berlangsung COP 18 di Doha, 26 November-7 Desember 2012 yang membicarakan bagaimana dunia menghadapi ancaman perubahan iklim. Negara-negara industri membuat KTT Perubahan iklim dalam lima tahun terakhir gagal memutuskan berapa mandat penurunan emisi mereka, hingga Protokol Kyoto (KP) berakhir 31 Desember 2012.

Padahal KP satu-satunya yang memiliki kekuatan hukum mengikat 187 negara yang menandatangani pengurangan emisi Gas Rumah Kaca. Meski hasil COP 17 di Durban Afrika Selatan menyepakati melanjutkan KP untuk periode 2013-2017 atau 2013-2020 - bergantung hasil COP18 Doha - termasuk dengan cara seperti apa penurunan emisi dilakukan sepanjang komitmen tersebut.

Padahal kondisi makin memburuk, laporan UNEP (2012) tentang kesenjangan emisi global tahunan, menunjukkan lonjakan emisi GRK dari 40 miliar ton pada 2000 menjadi 50 miliar ton saat ini, serta diproyeksikan jadi 58 miliar ton pada 2020, jika tak ada tindakan.

Celakanya tak ada yang berkomitmen menurunkan penggunaan energi fosilnya secara drastis. Tindakan-tindakan yang dilakukan saat ini justru solusi palsu perubahan iklim. Salah satunya yang mendapat perlawanan meluas dari masyarakat Amerika Utara adalah penggalian bahan bakar tarsand, yang emisnya mencapai tiga kali emisi minyak bumi biasa. Juga proyek-proyek Carbon Capture Storage (CCS) yang justru disepakati menjadi bagian skema CDM pada COP 17 Durban. Belakangan, pencarian bahan bakar melalui fracking gas juga menuai penoalakan yang meluas.

Di Indonesia sendiri, meski Presiden SBY berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen dari tingkat business as usual pada 2020, menjadi 41 persen dengan bantuan internasional. Namun di lapang pembongkaran batubara dari perut bumi terus dipercepat. Tahun depan diramalkan mencapai 366,04 juta ton, naik 10,25 persen, di atas rata-rata pertumbuhan produksi batu bara dunia, dan sebagian besar pasti untuk ekspor. Belum lagi alih fungsi lahan untuk kebun sakal besar sawit, pertambangan mineral, reklamasi pesisir.

BACA JUGA: