JAKARTA, GRESNEWS.COM - Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) diketahui konsumsi rokok remaja perempuan mengalami peningkatan sepuluh kali lipat dalam dua tahun terakhir. Sementara remaja laki-laki meningkat lebih dari dua kali lipat.

Dalam data Susesnas tahun 1995 ditemukan sebanyak 0,3 persen remaja perempuan berusia 15-19 tahun sudah mulai aktif merokok. Sedangkan data Riskesdas menyebutkan sebanyak 3,1 persen remaja perempuan aktif merokok. Kemudian pada rilis data yang sama, prevalensi merokok remaja laki-laki lebih besar dengan mencapai 14 persen sampai 37 persen.

Peningkatan ini membuktikan bahwa remaja sekarang merupakan target pemasaran yang menarik bagi industri rokok. Target ini sebagai pengganti perokok tua yang telah meninggal.

Wakil Ketua Lembaga Demografi Universitas Indonesia Abdilah Hasan mengatakan, saat ini perlindungan terhadap remaja dari rokok dapat dilakukan dengan meningkatkan harga rokok. Caranya dengan menaikkan harga cukai rokok.

"Jadi harga rokok tidak terjangkau dan sulit remaja untuk membelinya," kata Abdilah di Jakarta, Senin (21/12).

Menurutnya pencegahan juga dapat dilakukan dengan peringatan  bergambar pelarangan iklan rokok, sponsorship dan kawasan tanpa rokok.

Sementara menurut Dina Kania dari World Helath Organization ( WHO) Indonesia, negara yang dinilai sukses mengurangi prevalensi rokok merupakan negara yang memiliki regulasi yang kuat untuk menekan laju industri rokok.

Bahkan, menurut dia, lemahnya regulasi di Indonesia adalah penyebab masyarakat menjadi sasaran kapitalis dalam dan luar negeri. "Kita lemah karena tidak miliki payung hukum untuk melarang rokok," ungkap Dina kepada gresnews.com , Senin (21/12) di Jakarta.

Akibatnya Indonesia tidak memiliki kekuatan untuk melawan intervensi industri rokok.

RUU PERMAINAN - Sedang menurut pengamat Ekonomi Emil Salim pelaku industri rokok di Indonesia sangat berpengaruh terhadap pasar di dalam negeri. Sebab Philip Moris dan Sampoerna menguasai 30,1 persen  pasar kemudian Gudang Garam 29,1 persen disusul Djarum 12,4 persen.

"Jadi tiga pemain perusahaan rokok tersebut lebih menguasai dari separo pasar industri rokok. Sehingga sangat berpengaruh di Indonesia," kata Emil di Jakarta , Senin (21/12/15).

Emil berpendapat, Rancangan Undang-Undang ( RUU) Pertembakauan yang di bahas di DPR sekarang merupakan bentuk permainan dari pihak-pihak  industri rokok untuk melancarkan bisnisnya.

Sebab ia menyebutkan, bahwa dalam RUU tersebut cuma dibahas tentang hasil produksi tembakau. Tidak membahas soal dampak dari penggunaan tembakau. Bahkan, Emil mengaku, dalam RUU tersebut tidak ada pertimbangan kesehatan pada Pasal 28 yang menyebutkan mengenai pelabelan dikecilkan untuk cerutu rokok daun, tembakau iris serta produk olahan lainnya. Seakan cerutu, rokok daun dan tembakau iris lebih aman.

Tak hanya itu dalam RUU juga tidak menjelaskan pengurangan nikotin agar konsumen rokok berkurang untuk mengkonsumsi.

"Sudah jelas promosi kretek dalam RUU tersebut sangat luar biasa, Pasal 53 menjelaskan perlindungan paten, hak cipta pembentukan komunitas kretek promosi dan muhibah kretek," ungkapnya.

PRODUKSI ROKOK TERUS MENINGKAT - Industri rokok di Indonesia terus menjadi perdebatan pro dan kontra serta dilema antara peluang tenaga kerja dan dampak kesehatan. Namun demikian produksi rokok di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bahkan memproyeksikan permintaan tembakau dari industri rokok akan terus tumbuh. Untuk Lima tahun mendatang yaitu pada 2020 diproyeksi produksi rokok akan mencapai 524 miliar batang.

Angka ini diproyeksikan meningkat 48% dari produksi tahun 2014 sebesar 352 miliar batang. Sementara produksi tembakau dalam negeri tidak ditunjang peningkatan tersebut, akibatnya potensi impor tembakau dari luar tidak terbendung.

"Produsen luar sudah menyatakan Indonesia akan jadi hub produksi rokok Asia Pasifik beberapa tahun mendatang. Roadmap proyeksi rokok total tahun 2020 akan mencapai 524 miliar batang," ujar Direktur Industri Minuman dan Tembakau  Kementerian Perindustrian Faiz Achmad awal Desember lalu.


Menurutnya data tersebut tidak diambil dari langit. Namun berdasar proyeksi data selama 10 tahun terakhir.

Faiz mengungkapkan tahun ini, produsen rokok diberi kesempatan untuk memproduksi rokok sebanyak 338 miliar batang. Namun ia menduga target tersebut tak terpenuhi karena adanya kenaikan cukai menjadi 11 persen dan ada kenaikan PPN Menjadi 8,7 persen dari sebelumnya 8,3 persen.


Dengan kenaikan produksi itu, Faiz juga memprediksi akan ada peningkatan impor tembakau dari luar, dari 2015 sebesar 434.000 ton, akan menjadi 599.000 ton pada 2020.

Selain impor tembakau Indonesia juga mencatatkan angka impor produk sigaret atau rokok yang mencapai 1,5 juta batang pada 2014. Sementara ekspor rokok putih asal  Indonesia mencapai 1 miliar batang per tahun untuk 39 negara tujuan.

Tingginya angka impor ini diakui menjadi perhatian serius Kementerian Perindustrian. Bahkan Kementerian Perindustrian berkoordinasi dengan  Kementerian Pertanian untuk memikirkan aturan yang mengharuskan pabrik rokok mesin (Sigaret Kretek Mesin/SKM) besar wajib memiliki kebun tembakau sendiri dengan bermitra dengan para petani.  

Sebab jika pabrik diperbolehkan menguasai lahan, justru akan memicu kapitalisme lahan. Sehingga kebijakan tersebut penekanannya kemitraan kepada petani. (Agus Irawan/dtc)
 


 

BACA JUGA: