JAKARTA, GRESNEWS.COM - Baru-baru ini PT HM Sampoerna meluncurkan program pencegahan pembelian rokok oleh anak-anak usia di bawah 18 tahun. Program itu dilakukan atas kerja sama dengan PT Indomarco Prismatama (Indomart). Dilihat sekilas, program ini tentu sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Apalagi program ini disebut sebagai salah satu program Corporate Social Responsibility (CSR) Sampoerna. Hanya saja program "mulia" perusahaan rokok seperti Sampoerna ini justru dinilai sebagai bentuk lain persuasi yang dilakukan perusahaan rokok untuk membangun reputasi di masyarakat.

"Perusahaan rokok tidak benar-benar melakukan kegiatan CSR sesuai konsep yang ada selama ini," kata praktisi CSR dari Lingkar Studi CSR Jalal, saat berbicara pada kegiatan workshop Menghitung Dampak dari Kebijakan Pro Tembakau, Rabu (18/11).

Jalal menjelaskan, CSR merupakan suatu konsep bahwa organisasi, khususnya perusahaan, memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan. Sementara apa yang dilakukan perusahaan rokok seperti Sampoerna, dinilainya hanya melakukan apa yang disebut dengan CSR-Washing.

Jalal menjelaskan, CSR-washing adalah berbagai kegiatan yang dibuat seolah-olah sebagai bentuk CSR, untuk mendapatkan citra positif, namun sejatinya bertentangan dengan tujuan CSR yang sesungguhnya. Dan itulah yang banyak dilakukan perusahaan rokok di Indonesia selama ini.

CSR perusahaan rokok itu dilakukan di berbagai bidang kegiatan, mulai dari pendidikan, olahraga, konser musik, festival film, dan seni pertunjukan. Jalal menegaskan, itu bukan kegiatan CSR. "Omong kosong jika itu disebut kegiatan CSR tapi itu CSR-washing," katanya.

Hal senada juga pernah diungkapkan Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait. Dia mengatakan, perusahaan rokok sengaja membangun citra positif melalui CSR. Akibat citra positif itu, Pemerintah menjadi tidak berdaya melindungi hak-hak warga khususnya perempuan dan anak-anak.

Tidak adanya regulasi atau kebijakan pengendalian tembakau menjadikan hak kesehatan masyarakat, khususnya anak dan perempuan yang merupakan kelompok rentan menjadi tidak terlindungi. "Padahal industri rokok menjadikan anak dan perempuan sebagai sasaran dalam memasarkan produknya yang membahayakan kesehatan, bahkan mematikan," kata Arist beberapa waktu lalu.

Menurutnya, jika pemerintah berani menolak intervensi industri rokok dan mengeluarkan kebijakan yang kuat untuk melindungi kesehatan publik masyarakat, maka bisa menyelamatkan 163 juta lebih anak dan perempuan di Indonesia. Apalagi anak dan perempuan memiliki persentase yang tinggi di Republik ini, yakni 68 persen dari penduduk Indonesia, berdasar sensus penduduk tahun 2010.

Terhadap tudingan ini, Direktur Hubungan Eksternal PT HM Sampoerna Tbk Yos Adiguna Ginting menuturkan, program pencegahan pembelian rokok oleh anak-anak usia di bawah 18 tahun merupakan bukanlah CSR-washing. Dia menegaskan, program itu adalah salah satu program CSR perseroan yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pelarangan pembelian produk tembakau oleh anak di bawah 18 tahun.

Apalagi PP No 109/2012 memang melarang penjualan rokok kepada anak-anak dan ibu hamil. "Kami berpandangan bahwa anak seharusnya dilarang untuk merokok serta membelinya," kata Yos dalam keterangannya kepada media.

NEGARA BELUM HADIR - Direktur Eksekutif lembaga Lentera Anak Indonesia Lisda Sundari mengatakan hingga saat ini negara memang belum hadir untuk melindungi masyarakat khususnya anak-anak Indonesia agar tak terpapar asap rokok. Regulasi yang ada dinilai masih lebih banyak berpihak pada industri.

Padahal Indonesia sendiri saat ini masuk negara dengan jumlah perokok aktif terbanyak ketiga di dunia. Diperkirakan terdapat 66 juta perokok aktif di Indonesia, dan 3,9 juta diantaranya adalah anak berusia 10 sampai 14 tahun.

Ada sejumlah regulasi yang telah dibuat pemerintah, seperti PP No 109/2012 yang selama ini dijadikan dasar membatasi penjualan rokok. PP ini, kata Lisda, sebenarnya berpihak kepada industri bukan masyarakat.

Lisda menyebut bentuk program seperti kerja sama perusahaan rokok Sampoerna dengan Indomaret sebenarnya lebih menguntungkan industri. Secara kasat mata, perusahaan benar mematuhi PP 109 tersebut. Padahal sebenarnya program tersebut bagian dari promosi.

"PP tersebut belum melindungi anak-anak tapi malah industri," kata Lisda dalam acara yang sama.

Menurutnya, dengan program ini, perusahaan rokok seolah ingin memberikan pesan agar kelompok masyarakat yang mengkampanyekan anti rokok agar tidak lagi mengusik industri rokok. "Mereka coba menunjukkan, perusahaan rokok telah mematuhi aturan yang diterbitkan pemerintah," ujarnya.

Indonesia memang bisa dibilang cukup protektif kepada industri rokok. Industri rokok kerap dianggap sebagai "penyelamat" ekonomi nasional dengan menyumbang pendapatan dari cukai.

Tahun ini, untuk penerimaan cukai, realisasinya mencapai Rp89,89 triliun. Dari angka itu, sebagian besar disumbang dari cukai hasil tembakau yang mencapai Rp86,5 triliun.

Penerimaan dari cukai rokok memang menjadi salah satu andalan penerimaan negara. Bahkan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan optimistis, target penerimaan cukai rokok Rp139 triliun tahun ini tercapai, meski ada perlambatan ekonomi.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Heru Pambudi mengatakan setidaknya ada 2 faktor yang bakal mendorong penerimaan cukai rokok bakal melonjak, terutama di sisa 2 bulan terakhir tahun ini. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) jadi alasan pertama pendorong konsumsi rokok di akhir tahun.

Menurutnya, kebutuhan rokok selalu meningkat saat menjelang Pilkada. "Dari sekarang target Rp139 triliun, kami harap dalam 2 bulan mengalami kenaikan permintaan. Kenaikan konsumsi kami harap karena ada Pilkada, biasanya konsumsi mengalami kenaikan," kata Heru, ditemui di kantor Kemenkeu, Jalan Juanda, Jakarta, Senin (9/11).

Tak heran jika pemerintah setengah hati untuk bisa bersikap keras kepada industri rokok demi melindungi warganya dari paparan asap rokok.

PASAR INDUSTRI ROKOK - Penerimaan negara yang besar dari cukai rokok pula lah yang ditengarai membuat pemerintah hingga kini belum juga meratifikasi kesepakatan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Alih-alih membatasi, pemerintah malah mengundang investasi besar untuk mengmebangkan industri rokok.

Kunjungan Presiden Joko Widodo ke Amerika Serikat beberapa waktu ternyata membawa kado yang menyedihkan bagi masyarakat Indonesia. Jokowi bertemu dengan Philip Morris dalam sebuah pembicaraan bisnis. Hasilnya, pemilik saham HM Sampoerna ini berkomitmen akan menanamkan dana sebesar US$1,9 miliar untuk ekspansi pabrik rokok di Indonesia.

Dari jumlah itu, sebanyak US$500 juta untuk belanja modal dan US$1,4 miliar berupa penerbitan saham baru di PT HM Sampoerna. Belanja modal tersebut untuk perluasan pabrik dan perkantoran serta investasi yang akan dilakukan dalam kurun waktu 2016-2020.

Dengan sikap demikian, tak heran jika Indonesia menjadi negara dengan konsumsi rokok terbesar kelima di dunia setelah China, AS, Jepang, dan Rusia. Sekitar 70 persen penduduk laki-laki di Indonesia adalah perokok dan jumlah wanita perokok di negara ini juga terus bertambah.

Kondisi seperti ini dinilai sebagai pasar yang besar untuk industri rokok mana pun. Tak heran jika Philip Morris siap berinvestasi besar-besaran di Indonesia.

Tak heran jika Indonesia sempat disindir dalam sesi diskusi terkait FCTC di forum pertemuan negara anggota World Health Organization di Asia Tenggara beberapa waktu lalu. "Hanya satu negara yang belum meratifikasi FCTC sampai saat ini. Banyak pula kematian akibat konsumsi rokok, tetapi implementasi WHO masih cukup rendah," kata Direktur Regional WHO di Asia Tenggara Dr Poonam Singh di sela-sela pertemuan komite regional WHO ke-68 itu.

Sebutan satu-satunya negara yang belum meratifikasi FCTC pastinya tertuju untuk Indonesia. Toh, Indonesia bergeming. Indonesia yang diwakili oleh Kepala Balitbangkes Kemenkes RI, Prof Tjandra Yoga Aditama berdalih meski belum menandatangani FCTC tetapi pemerintah Indonesia sudah melakukan program pengendalian tembakau.

"Indonesia memang belum menandatangani FCTC. Tapi, untuk melindungi program pengendalian tembakau, sampai saat ini sudah ada 180 peraturan daerah yang melarang iklan larangan rokok dan penerapan kawasan tanpa rokok," kata Prof Tjandra di forum itu.

Di tahun 2014, seperti diketahui, Indonesia sudah menerapkan Picture Health Warning. Untuk menjalankan program pengendalian tembakau, lanjut Prof Tjandra, pemerintah juga sudah menjalin kolaborasi dan komunikasi dengan publik, para akademisi, dan pihak lainnya.

Pun sudah dibuat roadmap sampai tahun 2035 yang penting untuk menjalankan program kesehatan. "Banyak tantangan dan pastinya kami akan terus berusaha keras melindungi masyarakat dari bahaya rokok," kata Prof Tjandra. (dtc)

BACA JUGA: