JAKARTA, GRESNEWS.COM - Keberpihakan pemerintah terhadap eksistensi petani dinilai masih minim. Kondisi kehidupan petani juga tak kunjung mengarah pada visi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Di mana diamanatkan agar terwujud kedaulatan dan kemandirian petani menuju taraf kesejahteraan, kualitas, serta kehidupan yang lebih baik.

Koordinator Umum Komite Aksi Hari Tani Nasional Iwan Nurdin menyebut, aturan itu masih sebatas janji,  karena pada kenyataannya belum memihak sepenuhnya terhadap nasib petani. "Petani hari ini masih temui banyak persoalan dan kesulitan. Di UU seharusnya petani dilindungi tapi nyatanya tidak terjadi," kata Iwan dihubungi gresnews.com, Rabu (23/9).

Kesulitan petani saat ini, kata dia, terletak pada masalah konversi lahan. Di mana pemerintah masih memprioritaskan lahan kepada pengusaha di tengah angka kepemilikan tanah petani yang semakin menurun. Saat ini, Iwan menyebut kepemilikan lahan petani sangat minim yaitu antara 0,3-0,4 ha per rumah tangga petani.

Aktivitas pertanian dalam negeri dari tahun ke tahun terus menyusut. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014 mencatat, terjadi penurunan penyerapan tenaga kerja pertanian pada Agustus tahun ini yaitu menjadi 38,97 juta jiwa. Jumlah tersebut turun sebesar 250.000 jiwa  atau 0,64% dibandingkan Februari 2014 lalu yang mencapai 40,83 juta jiwa.

Iwan menyebut, alasan dibalik penurunan profesi sektor pertanian disebabkan tingginya konversi lahan pertanian ke non pertanian. Diantaranya lahan sawah dialihkan menjadi area perumahan dan industri.

"Setiap tahun, rata-rata sekitar 120 ribu hektar lahan pertanian dikonversi. Jumlah rumah tangga petani menurun, sementara perusahaan pertanian berbasis kepentingan bisnis terus naik," sebutnya.

Menurutnya dalam lima tahun terakhir, terjadi penambahan signifikan perusahaan pertanian dengan tingkat pertumbuhan 1000 menjadi 14.000 perusahaan. Iwan mengatakan, lesunya profesi petani bukan berarti pertanda lahan pertanian tidak menjanjikan. Namun sebaliknya, ekspansi perusahaan pertanian menunjukan pengelolaan lahan masih sangat strategis.

Akibat ekspansi pengusaha itu, profesi rumah tangga pertanian mengarah pada gelombang urbanisasi dan alih profesi menjadi pekerja informal.

JAMINAN PRODUKSI PETANI MINIM - Dalam klausul Ganti Rugi Gagal Panen Akibat Kejadian Luar Biasa, sesuai  Pasal 33 (ayat) 1 UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Pemerintah  dan  pemerintah  daerah sesuai  kewenangannya dapat memberikan bantuan ganti rugi gagal  panen  akibat kejadian  luar  biasa sesuai kemampuan keuangan negara.

Meski begitu, pemerintah belum memberikan bantuan langsung di tengah banyaknya produk pertanian petani yang terancam fuso akibat anomali cuaca. Pemerintah juga belum memberikan proteksi terhadap hasil produksi. Kondisi itu, kata Iwan, diperparah dengan kondisi perekonomian dalam negeri yang tidak stabil. Ditambah terpuruknya Rupiah akibat penguatan kurs Dollar.

"Petani menghadapi krisis situasi ekonomi global. Komoditas pertanian jatuh drastis diantaranya sawit turun menjadi Rp 600 dari Rp 1.700 dan Karet Rp 15.000 turun hingga Rp 5.000 ribu," kata dia.

Sampai hari ini pemerintah belum memprioritaskan petani, tetapi mendahulukan perusahaan skala besar. Indikatornya, rencana prioritas pemerintah belum menyediakan lahan cadangan pertanian bagi petani. Padahal pemerintah diharapkan memberikan proteksi dan mencegah impor agar harga di level petani stabil.

Dari sisi skema bantuan dana, petani juga belum terlayani secara baik. Hal itu terlihat dari manajemen perbankan. Malah sebaliknya, justru berorientasi pada bank komersial dan perusahaan besar.

Walaupun pemerintah telah menginisiasi pertanian dengan membangun waduk, subsidi pupuk dan bibit, namun itu semua belum dirasakan langsung oleh petani. Pengadaan itu lebih menguntungkan pihak-pihak seperti perusahaan pupuk, bibit dan kontraktor proyek waduk.

KEPEMILIKAN LAHAN - Koordinator bidang Penguatan Organisasi Rakyat Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Kent Yusriansah menyebut, kemiskinan di pedesaan terjadi akibat ketiadaan kepemilikan, akses dan kontrol petani atas tanah produksi. Bahkan, proses degradasi rumah tangga petani secara masif telah mengancam negara mencapai swasembada pangan dan beralih ke impor.

"Keadaan itu tidak pernah terdeteksi oleh pengambil kebijakan dalam program pengentasan kemiskinan," tutur Kent kepada gresnews.com, Rabu (23/9).

Alhasil, puluhan triliun rupiah yang digelontorkan pemerintah untuk program-program penanggulangan kemiskinan berpotensi gagal mengurangi angka kemiskinan dan ketimpangan di pedesaan maupun perkotaan. Sebab program tersebut tidak menjawab akar masalah utama, yakni ketiadaan tanah pertanian untuk rakyat.

"Akibatnya, mayoritas pertanian skala rumah tangga saat ini tidak dapat mengakses kesejahteraan," tambahnya.

Saat ini, kita telah menyaksikan laju konversi lahan pertanian ke non-pertanian secara cepat dan luas. Jika pun bertahan sebagai lahan pertanian, sesungguhnya penguasaan dan pengelolaannya telah berpindah tangan, terakumulasi ke perusahaan-perusahaan pertanian skala besar, dimana petani dipaksa menjadi buruh di tanah-tanah yang dulu digarapnya.

Kenyataan itu dialami pula para petani tak bertanah dan petani gurem yang dipaksa berpindah profesi menjadi buruh-buruh di perkebunan, pabrik-pabrik, bahkan terlempar ke sektor informal di perkotaan sebagai pekerja kasar dengan upah rendah.

BACA JUGA: