JAKARTA, GRESNEWS.COM - Setiap menjelang bulan Ramadhan dan Idul Fitri, pemerintah selalu direpotkan dengan kenaikan harga bahan pangan. Begitu momen tersebut berlalu harga bahan pangan pun berangsur-angsur turun dengan sendirinya.

Fenomena seperti ini terjadi hanya terjadi di Indonesia dan berulang setiap tahunnya tanpa ada penyelesaian. Siapapun pemerintahan yang memimpin selalu melontarkan alasan klasik, kenaikan harga tersebut karena gangguan distribusi, kendala infrastruktur, kelangkaan dan gagal panen.

Sekretaris Jendral (Sekjen) Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir Karding mendorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) menuntaskan persoalan tata kelola pangan. Perbaikan tata kelola pangan dapat memastikan ketercukupan pasokan bahan makanan dengan harga yang ideal di seluruh daerah di Indonesia.

Selain kenaikan harga menjelang puasa dan lebaran,  hal lain yang menunjukkan ada salah kelola pangan adalah merebaknya isu beras plastik. Bahan pangan beras sebagai makanan pokok bangsa Indonesia tak henti-henti diterpa masalah. Dari sisi pasokan karena produksi yang menurun, hingga proses pengolahan dan gejolak harga beras.

"Paling baru dan mengagetkan masyarakat adalah beras palsu berbahan baku plastik yang dioplos dengan beras konsumsi," kata Karding usai menghadiri acara diskusi publik dengan tema: "Lebaran Menjelang, Harga Menjulang: Mendorong Reformasi Tata Kelola Pangan Nasional, di Jakarta, Kamis (25/6).

RAWAN PANGAN AKIBAT SISTEM - Namun ia menyayangkan, jalan ke luar yang dilakukan pemerintah sangat parsial dan reaktif, seperti operasi pasar. Langkah ini, lanjutnya, tidak efektif untuk menekan harga. Sementara pemerintah berkewajiban memenuhi pangan rakyat. Sebab pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan.

"Undang-Undang itu mewajibkan pemerintah melakukan tata kelola dan stabilisasi harga pangan dalam rangka pemenuhan pangan rakyat," tegasnya.

Ketika tata kelola pangan tidak dilakukan dengan baik, menurutnya, bisa membuat Indonesia berada dalam status rawan pangan yang bukan karena ketidak tersediaan bahan pangan. Akan tetapi lebih disebabkan pada pola atau sistem pemenuhan pangannya.

Untuk itu, Karding mendorong, agar ada sistem kuat yang dapat menahan atau menjaga stabilitas pemenuhan dan harga pangan agar tidak terjadi fluktuasi harga, khususnya di masa Puasa, Lebaran, dan Natal. Dengan sistem itu, pemerintah akan menjadi lebih kuat dibindingkan dengan spekulan atau mafia pangan. "Negara tidak boleh kalah, sebaliknya harus lebih kuat agar mampu melindungi dan memakmurkan masyarakat," ujarnya.

Diakui Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, ada empat faktor yang menimbulkan persoalan pangan di sektor pertanian, yakni infrastruktur, regulasi, tata niaga dan ego sektoral.

Faktor infrastruktur, kata Amran, tengah diselesaikan dengan menggandeng Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera). Sementara dari faktor regulasi, Amran mengaku, tidak mau ceroboh dalam mengelola pangan dengan menerabas aturan yang ada, Ia tak mau bernasib seperti mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang juga mantan Direktur PT Perusahaan Listrik Negara, Dahlan Iskan.

Dari masalah tata niaga, menurut Amran, tidak kalah rumitnya. Sebab lonjakan harga dari petani hingga, penjualan hingga konsumen bisa mencapai 600 persen. Hal ini, menurutnya disebabkan panjangnya rantai pasokan yang mencapai tujuh titik hingga sampai ke tangan konsumen. Tiga rantai ada di tingkat desa, dan empat rantai ditingkat kota. Rantai ini, harus dipotong agar lebih singkat.

"Masalah keempat adalah ego sektoral antar banyak pihak," kata Amran dalam diskusi acara diskusi publik tersebut, Kamis (25/6). Namun ia tidak mau merinci siapa saja pihak yang dimaksud tersebut.

Untuk memutus empat faktor yang menyebabkan terjadinya lubang-lubang pengelolaan pangan, Kementerian Pertanian, ungkapnya, juga harus menggandeng Kepolisian Repubilik Indonesia, Kejaksaan Agung, hingga Tentara Nasional Indonesia (TNI).

MASALAH LAIN YANG PERLU DIPERBAIKI - Selain faktor tersebut, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar menyebut masih ada masalah lain yang harus diperbaiki, khususnya membenahi harga bahan pokok yang kerap naik. Mulai dari koordinasi antar kementerian dan lembaga; Suplai dan demand yang masih simpang siur; Permainan mafia hingga persoalan transportasi.

Persoalan tersebut, kata Muhaimin menjadi persoalan yang harus disorot karena berkaitan langsung dengan harga. Ia mencontohkan, ketika tranportasi baik, maka distribusi bahan pangan akan baik pula. "Biaya distribusi menjadi sangat logis karena menyebabkan biaya tinggi," tegas Muhaimin.

Untuk menyelesaikan berbagai persoalan tersebut, menurutnya tidak perlu saling menuduh, berteriak paliing benar dan yang lain salah. Tetapi harus diselesaikan dengan cara duduk bersama dan meninggalkan ego sektoral.

Sekretaris Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) Djoni Nur Asharin mengatakan ketidakstabilan harga beras murni dipengaruhi oleh faktor prinsip dasar hukum ekonomi, bukan karena ulah para mafia. Ketika pasokan beras di pasar cukup, lanjutnya, harga pasti akan stabil.

Ketika paceklik terjadi, kata dia, Bulog secara rutin melakukan kegiatan operasi pasar yang bertujuan menstabilkan harga beras tersebut. Termasuk dengan menyediakan stok yang lebih banyak pada momen Puasa dan Lebaran.

Selain itu, kebutuhan beras untuk operasi pasar selalu bervariasi. Pada tahun 2012, kebutuhan beras mencapai sebesar 200.518 ton. Jumlah ini mengalami penurunan dari tahun 2013 yang mencapai 45.382 ton, dan sebanyak 92.288 ton di tahun 2014.

Untuk Puasa dan Lebaran 2015 ini, Djoni  menjamin masyarakat tidak kekurangan stok beras karena Bulog menyiapkan 1,6 juta ton. Jumlah ini menurutnya aman untuk enam bulan kedepan. "Selain beras, Bulog juga menambah stok bahan pokok lainnya. Seperti gula pasir, bawang merah dan cabai," kata Djoni, Kamis (25/6).

PERLU BADAN KHUSUS KELOLA PANGAN - Melihat berbagai persoalan itu, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Ibnu Multazam, menyarankan agar segera dibentuk Badan Otoritas Pangan suatu badan yang bertindak sebagai regulasi pengendalian pasokan dan harga seluruh pangan kebutuhan pokok (sembako).

Badan Otoritas Pangan ini menurutnya, sekaligus untuk mengurai rentang panjang penanganan pangan menjadi satu atap. Sebab selama ini Kementerian Pertanian memiliki tugas produksi pangan, sementara untuk mengumpulkan hasil prosuksi berupa gabah dan mendistribusikan beras ada pada Bulog.

"Pembentukan Badan Otoritas Pangan nantinya tidak hanya sekedar koordinasi, tapi juga bisa mengeksekusi produk yang dihasilkan oleh Kementerian Pertanian," kata Ibnu di forum yang sama.

Pendapat serupa juga disampaikan Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, Bustanul Arifin. Alasannya saat ini ada banyak lembaga, kementerian yang terlibat menagani pangan. Mulai dari Perum Bulog, Badan Ketahanan Pangan Kementan, Menteri Keuangan, hingga Kementerian Sosial. Setelah Bulog mengumpulkan gabah (operator) hasil produksi Kementerian Pertanian, selanjutnya berpindah kepada Kementerian Sosial (Kemensos) sebagai regulator raskin.

Badan itu, lanjutnya, bisa berupa Badan Otoritas Pangan Nasional berupa penguatan dari Badan Ketahanan Pangan Kementan (BKP) yang sudah ada. Atau bisa membentuk lembaga khusus yang bukan BUMN atau disebut Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang dipimpin setingkat menteri. "Yang ketiga bisa menghidupkan kembali Dewan Ketahanan Pangan," terangnya.

BACA JUGA: