JAKARTA, GRESNEWS.COM - Krisis pangan diambang mata bila persoalan pangan tak juga diselesaikan dengan baik. Terlebih tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia tergolong tinggi ditambah dari sisi pasokan pangan terus menurun lantaran tingginya konversi lahan dan peningkatan laju pertumbuhan penduduk.

Tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia pada 2011 saja tercatat mencapai 102 kilogram per kapita per tahun. Angka konsumsi beras ini paling tinggi dibandingkan dengan tingkat konsumsi di Korea sebesar 40 kilogram per kapita per tahun, Jepang 50 kilogram per kapita per tahun, Malaysia 80 kilogram per kapita per tahun, dan Thailand 70 kilogram per kapita per tahun. Bahkan, rata-rata konsumsi beras dunia hanya 60 kilogram per kapita per tahun.

Tingginya tingkat konsumsi beras membuat pemerintah perlu mengatur penyaluran komoditas tersebut. Sejatinya untuk mengatasi ketersediaan pangan pemerintah telah mengeluarkan Keppres Nomor  3 Tahun 2002 tentang tugas pokok Perum Badan Urusan Logistik (BULOG) yakni sebagai pembangunan di bidang manajemen logistik melalui pengelolaan persediaan, distribusi dan pengendalian harga beras, serta usaha jasa logistik. Namun hampir sebagian besar dari tugas itu belum terealisasi dengan baik.

Misalnya dalam hal penyerapan Gabah Kering Panen pada 2015 ini ternyata tidak mencapai target sebesar empat juta ton. Hal itu membuat Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno mencopot Lenny Sugihat dari jabatan Direktur Utama Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) pada Senin (8/6) lalu. Selanjutnya ditunjuk Djarot Kusumayakti menggantikan posisi Lenny sebagai Direktur Utama Bulog.

Usai dilantik, Djarot yang sebelumnya merupakan Direktur Usaha Kecil Menengah (UKM) Bank Rakyat Indonesia (BRI) langsung menyatakan komitmennya untuk mencapai target tersebut. Namun belakangan ada persoalan lain. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengungkapkan, ada sekitar 400 ribu ton beras miskin (raskin) berkualitas buruk yang beredar di masyarakat. Ia meminta Perum Bulog untuk melakukan penyisiran dan menarik beras tidak layak konsumsi tersebut.

BERAGAM MASALAH BULOG - Sejumlah persoalan itu menurut Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Ibnu Multazam, dilatarbelakangi banyak hal. Misalnya untuk menyediakan Raskin, Bulog belum menyerap dan membeli gabah secara langsung dari petani, tetapi melalui mitranya. Akibatnya, rantai penyimpanan gabah dari petani, mitra hingga Bulog menjadi sangat panjang.

Saat panen raya, lanjutnya, harga gabah petani rata-rata di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Karena itu, ia menyarankan agar Bulog langsung hadir ke sentra-sentra pertanian dan langsung turun ke sawah sawah untuk membeli gabah langsung dari petani. Keuntungannya, menurut Ibnu, harga penjualan yang diperoleh para petani bisa sama dengan HPP yang ditetapkan pemerintah. Kemudian rantai proses pembelian gabah, pengolahan menjadi beras hingga penyimpanan digudang-gudang Bulog akan menjadi jauh lebih pendek dibandingkan membeli dari mitra.

"Sebenarnya yang betul itu, Bulog harus didorong untuk menyerap gabah langsung dari petani, mengolah sendiri menjadi beras raskin," kata Ibnu kepada gresnews.com, Rabu (24/6).

Hanya saja kata dia, Bulog belum memiliki gudang yang dikhususkan untuk menyimpan gabah. Gudang-gudang Bulog yang ada di daearah saat ini adalah gudang beras. Karena itu, bila Bulog serius ingin menyerap empat juta ton Gabah Kering Panen di tahun 2015 maka perlu mempersiapkan gudang-gudang gabah di sentra-sentra pertanian untuk menyerap gabah. Gudang-gudang ini kata dia harus dilengkapi dengan lantai jemur, mesin pengering hingga penggilingan.

"Membeli gabah secara langsung dari petani dan menyediakan gudang-gudang gabah di sentra-sentra pertanian setidaknya bisa menyelesaikan persoalan beras jelek dan mencapai serapan," tegasnya.

Seperti diketahui, semangat awal dibentuknya Bulog adalah untuk stabilisasi harga pangan. Sebagai stabilisator harga pangan, Bulog juga ditugasi melindungi konsumen dari melambungnya harga pangan. Kemudian melindungi petani dari keterpurukan harga jual komoditas pangan hasil panen, utamanya saat panen raya.

Dalam perjalanan waktu, pada 1998 atas desakan Dana Moneter Internasional (IMF) peran dan fungsi Bulog diamputasi pemerintah. Bulog tidak leluasa lagi menjalankan fungsi sebagai stabilisator harga pangan karena Bulog hanya diberi tugas mengurusi masalah beras. Pembatasan tugas ini sejalan dengan perubahan status Bulog menjadi perusahaan umum (perum), seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2003.

Status Bulog sebagai Perum memiliki dua fungsi, yaitu fungsi publik dan fungsi komersial. Bulog secara organisasi bertanggungjawab kepada kementrian BUMN. Sehingga jika Bulog tidak menjalankan fungsi komersial maka para direksinya akan dianggap tidak berprestasi. Sedang di satu sisi, Bulog harus menjalankan fungsi sosialnya dalam rangka menjamin keamanan dan ketersediaan beras nasional.

PERBAIKI KUALITAS RASKIN - Direktur Utama Perum Badan Urusan Logistik (Bulog), Djarot Kusumayakti menegaskan tidak ada  raskin berkualitas buruk yang tidak layak konsumsi beredar dimasyarakat. Apalagi jumlahnya sampai mencapai 400.000 ton raskin. Yang benar, ada raskin yang kualitasnya mulai menurun yang tersebar di gudang-gudang Perum Bulog di daerah karena terlalu lama disimpan sehingga menyebabkan penurunan kualitas.

"Tidak ada beras raskin rusak sebanyak itu dan beredar di masyarakat," kata Djarot kepada gresnews.com, Selasa (23/6). Beras sebanyak itu kata dia, adalah beras yang dalam proses perbaikan atau peningkatan kualitas dan mutu digudang-gudang Bulog. Perbaikan ini, kata dia, proses rutin yang biasa dilakukan di Bulog.

Djarot mengatakan rata-rata penyaluran raskin setiap bulan mencapai 200.000 ton, sedangkan kebutuhan raskin dalam setahun sekitat 2,70 juta ton, atau setara dengan Rp18,9 triliun. Ia memperkirakan, cadangan raskin aman sampai Oktober mendatang.

Secara keseluruhan Bulog ditargetkan bisa menyerap beras petani hingga 4 juta ton di 2015 ini. "Selain target serapan beras yang maksimal, Bulog juga harus tetap menjaga kualitas berasnya agar tidak ada raskin berkualitas buruk. Ia mencontohkan, beras kemasan 15 kilo gram paling lama akan disimpan 1 hingga 2 bulan.

Bahkan Presiden Joko Widodo juga meminta agar mekanisme penyaluran raskin diperbaiki. ‎Tak cuma kualitas, raskin juga harus dipastikan benar-benar diterima oleh warga miskin yang membutuhkan.

Jokowi mengakui tak selalu memantau stok pasti beras miskin yang ada. Namun dia berharap stok beras dengan kualitas buruk sudah tak ada. "Yang hitam, berkutu, berjamur, dan tidak layak dikonsumsi itu semoga sudah habis," kata Jokowi saat memimpin rapat terbatas tentang beras miskin di Kantor Presiden, Jakarta, Senin, 22 Juni 2015.

Jokowi mengaku mendapat berbagai laporan dari masyarakat mengenai permasalahan raskin. Salah satunya adalah mengenai pagu beras yang tak bisa mencukupi jumlah rumah tangga penerima. Padahal program raskin ini sudah berjalan hampir dua tahun tetapi masih ada masalah. Ini perlu diperbaiki.‎

Jokowi juga menyoroti data penerima raskin yang tidak sinkron serta ‎keterlambatan penyaluran. Mengenai keterlambatan, Jokowi mengatakan bahwa di beberapa daerah hal tersebut memang masih terjadi. Sebabnya adalah karena kondisi geografis dan infrastruktur.

BADAN OTORITA PANGAN TERABAIKAN - Di sisi lain, kata Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Ibnu Multazam, satu hal yang terabaikan hingga saat ini adalah belum dilaksanakannya amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Sesuai amanat UU Pangan, terangnya, pemerintah harus membentuk Badan Otoritas Pangan di tahun 2015 ini yang menangani bidang pangan yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Hal ini terkait dalam upaya mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan nasional.

Badan Otoritas Pangan tersebut nantinya dapat mengusulkan kepada presiden untuk memberikan penugasan khusus kepada badan usaha milik negara (BUMN) di bidang pangan. BUMN di bidang pangan bertugas melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/atau distribusi pangan pokok dan pangan lain yang ditetapkan pemerintah. Batas waktu pelaksanaan amanat itu paling lambat tiga tahun setelah peraturan tersebut diundangkan atau November 2015.

"Badan Otoritas Pangan itu menurutnya harus sudah ada sebelum Agustus 2015," katanya. Kalau tidak, berarti pemeritah melanggar undang-undang.

Dijelaskannya, pembentukan badan ini bisa saja menjadi momementum menaikkan atau mengubah status Bulog dari Perusahaan Umum Negara (Perum) menjadi Lembaga Pemerintah Non Kementrian (LPNK) yang langsung bertanggungjawab kepada Presiden. Sekaligus meningkatkan wewenang kinerja pengamanan pangan.

BACA JUGA: