SENIN, 7 Maret 2011, adalah hari melelahkan buat Bambang Rudijanto Tanoesoedibjo. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencecarnya seputar kasus korupsi pengadaan alat kesehatan untuk penanganan outbreak flu burung di Departemen Kesehatan pada 2006.

Kakak kandung Hary Tanoesoedibjo itu adalah komisaris sekaligus direktur PT Prasasti Mitra, rekanan Depkes. Hari itu, setelah diperiksa 4 jam oleh KPK, kepada wartawan Bambang berdalih, sudah 10 tahun tidak aktif di Prasasti. Apa benar begitu?

Situs Digital Information Services (PT. Dataindo Inti Swakarsa), penyedia jasa layanan informasi perusahaan, mencatat seperti ini:

Prasasti Mitra, PT
Indonesia Company Report
Last Update 18-February-2010
Mugi Griya Building,5th Floor, Jl. Letjen. MT. Haryono Kav. 10, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, 12810
Tel :  (021) 83708510
Fax :  (021) 83708455
Major Businessline : Hospital and Laboratory Supplies

Susunan pengurusnya: Mr. B. Rudijanto Tanoesoedibjo MBA (Director), Mr. Sutikno (Director).

Tanggal berdiri 16/06/1989. NPWP 01.333.818.1-021.000. Tercantum legalitas perusahaan sebagai perusahaan nasional dengan jumlah karyawan 45 orang.

Sebuah dokumen yang diperoleh primaironline.com dari sumber menyebutkan susunan pendiri, pengurus, dan pemegang saham perusahaan sebagai berikut: Bambang Rudijanto Tanoesoedibjo (Direktur Utama), Sri Andina Surjati, Hariyanto Tanusudibyo (Komisaris Utama, Hartono Tanoesoedibjo, Ratna Endang Soelistiowati, Sutikno (Direktur), dan Harly Soeradi (Komisaris).

Keterangan yang tercantum dalam laman bhakti-investama.com, menyebutkan, Bambang lahir di Surabaya pada 1964. Pendidikan sarjana di Carleton University, Ottawa, Kanada 1987; dan Master of Business Administration di Universitas San Fransisco, Amerika Serikat, 1989. Tak dicantumkan ia adalah komisaris/direktur PT Prasasti Mitra. Yang tercantum justru, Ratna Endang Soelistiowati, sebagai komisaris Prasasti Mitra sejak 1994. Bambang tercatat sebagai komisaris Bhakti Investama sejak 2002, Presiden Direktur PT MNC Sky Vision sejak 2004, Vice Presiden Komisaris Mediacom dan RCTI sejak 2002, komisaris MNC sejak 2004, dan Presiden Komisaris PT dos ni roha sejak 2007.

Sumber di KPK, yang tak mau disebutkan namanya, kepada primaironline.com, Kamis pekan lalu, mengatakan, untuk mengetahui keterlibatan Bambang dapat dilihat dari perusahaan yang dipimpinnya, PT Prasasti Mitra. "Lihat saja dari perusahaan yang memenangkan tender," ujar sumber itu.

Sebagai latar, pada mulanya, pengadaan alat kesehatan tersebut dipegang oleh perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Namun PT RNI tidak bekerja sama sekali, dan melimpahkan kewajibannya ke PT Prasasti. Sejak saat itu, Prasasti menjadi pemegang penuh pengadaan alat kesehatan.

Direktur Penyidikan KPK, Ferry Wibisono, mengatakan KPK mendapatkan sejumlah alat bukti adanya penggelembungan harga. Selain itu, terdapat penunjukan langsung rekanan, PT Prasasti Mitra. "Ada mark up dan penunjukan langsung," kata Ferry.

Tidak hanya itu, proyek alat kesehatan yang telah merugikan negara sebesar Rp52 miliar itu, juga tidak lepas dari praktik manipulasi.

Sumber yang sama menyebutkan, PT Prasasti Mitra diduga turut serta bekerjasama untuk memanipulasi alat-alat kesehatan. Manipulasi tersebut, yakni dengan ikut dicantumkannya sejumlah alat kesehatan yang tidak ada hubungannya dengan penanganan flu burung, seperti alat bedah medik.

"Alat-alat yang diadakan tidak sesuai dengan kebutuhan pemberantasan flu burung, semisal yang dibeli alat bedah rumah sakit dan lain-lain yang jauh dari relevansinya," ujar sumber tersebut.

Informasi lain yang diterima, dalam proyek pengadaan ini dicurigai adanya suap. "(Dari manipulasi itu) Berakibat muncul kickback atau suap," kata sumber di KPK.

Untuk diketahui, dalam kasus ini KPK telah menetapkan dua orang tersangka yakni, Sekretaris Direktorat Jenderal (Sesditjen) Bina Pelayanan Medik (Yanmedik) Kementerian Kesehatan, Mulya A Hasyim. Ketika itu, Mulya menjabat sebagai Sesditjen, bertanggung jawab dalam pengadaan yang anggarannya telah digelembungkan.

Terdapat pula nama mantan Direktur Bina Pelayanan Medik Dasar Kemenkes Ratna Dewi Umar. Ratna Dewi Umar ditetapkan sebagai tersangka dalam posisinya selaku kuasa pengguna anggaran dan pejabat pembuat komitmen dalam pengadaan alat kesehatan dan perbekalan.

Dari kedua nama tersangka tersebut, KPK sedikit bersikap sedikit tertutup. Hal itu, dilihat dari penetapan tersangka Ratna Dewi Umar yang ditutup selama satu tahun. Ratna, ditetapkan tersangka pada Mei tahun 2010 dan baru diketahui publik pada 3 Maret 2011.

KPK sendiri beralasan ditutupinya penetapan tersangka lantaran sedang melakukan proses penyidikan. Untuk diketahui pula, dalam kasus ini KPK belum satupun menetapkan tersangka dari pihak rekanan. "Sedang dalam proses," ujar  sumber KPK lainnya.

Kasus ini merupakan pengembangan penyidikan dari kasus pengadaan serupa di Kementerian Kesejahteraan Rakyat yang kala itu dipimpina oleh Aburizal Bakrie. Nama mantan Sekretaris Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Sesmenko Kesra) Sutedjo Joewono dijadikan tersangka kasus ini.

Diwawancarai mengenai proses perkara ini di KPK, Direktur Indonesia Court Monitoring (ICM) Tri Wahyu KH mengatakan, dia intitusi pimpinan Busyro Muqoddas itu harus menjadi contoh yang baik dan juga menjadi pemecah lingkaran setan, sulitnya memproses pihak yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik. "KPK harus lebih maju," kata Tri Wahyu, Jumat (11/3). Artinya, jangan sampai kasus Bambang Tanoe, mengikuti jejak kasus keluarga Tanoe lain yang berlarut-larut penanganannya.

(aka)

BACA JUGA: