Jakarta - Hening dan mencekam. Itulah suasana yang terpancar di salah satu lantai gedung di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Lorong panjang itu terasa sesak, meski hanya enam pria setengah baya yang berada di sana. Penampilan mereka tidak mencerminkan sosok pegawai pemerintah yang bekerja di kantor tersebut. Dasi dan jas melengkapi profil mereka dari kalangan bergaji tinggi.

Lima pria duduk. Tapi posisinya berjauhan. Seorang pria memilih berjalan mondar-mandir seraya memainkan sebuah benda di tangannya. Entah apa yang dipegangnya. Derit pintu memecah keheningan. Seorang pria keluar dengan raut tegang. Tak berapa lama, seorang wanita keluar memanggil nama seseorang. Nama yang dipanggil pun beringsut menuju pintu yang sama.

"Wah suasananya kayak di ruang tunggu dokter gigi. Semua tegang. Mirip waktu pertama kali dipanggil wawancara untuk kerja," kata seorang sumber, sebut saja namanya Elang Sumarno.

Pengalaman itu dituturkan Elang sewaktu dirinya mengikuti fit and proper test di Kementerian BUMN pada 2002. Menteri BUMN kala itu Laksamana Sukardi. Kantor kementerian masih menumpang di salah satu gedung komplek Departemen Keuangan (kini Kemenkeu) di JL Dr Wahidin, Jakarta. "Saya terpilih sebagai salah satu kandidat direktur BUMN di tempat saya berkarier sejak 1977," ungkap alumnus Fakultas Elektronik Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.

Elang mengaku, rivalnya saat itu sebagian besar koleganya di BUMN yang sama. "Dua orang lainnya dari perusahaan asing. Semua profesional."

Ketegangan 10 tahun lalu itu kini membuahkan hasilnya. BUMN tempat Elang mengabdi kini menjadi perusahaan ´plat merah´ paling kinclong kinerjanya. Di lantai bursa, kinerjanya menjadi emiten blue chip. Kantor pajak memberinya predikat sebagai perusahaan pembayar pajak terbesar. Mantan direksinya tetap berkarier hingga kini, meski usianya di grafik statistik digolongkan usia tidak produktif.

Bagaimana nasib BUMN ke depan? Samakah pola rekrutmennya dengan ruangan ´dokter gigi´ di Lapangan Banteng seperti dituturkan Elang? Atau, ini yang paling sering mencuat ke permukaan, BUMN makin menjadi sapi perah para politisi untuk keperluan pemilu?

Kinerja Korupsi BUMN
UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mendefinisikan BUMN adalah "Badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan."

Berdasarkan jenisnya, ada yang disebut Perusahaan Perseroan, yaitu, BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan; Perusahaan Perseroan Terbuka adalah Persero yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau Persero yang melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal; Perusahaan Umum (Perum) adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.

Berdasarkan data dari Kementerian BUMN, saat ini terdapat 151 BUMN yang terbagi berdasarkan sektor-sektornya, yakni, sektor aneka industri, asuransi, energi, industri strategis, kawasan industri dan perumahan, kehutanan, konstruksi, logistik dan jasa sertifikasi, pembiayaan, penunjang pertanian, perbankan, percetakan dan penerbitan, perikanan, perkebunan, pertambangan, prasarana angkutan, sarana angkutan dan pariwisata, serta telekomunikasi.

Data yang dikutip dari Kementerian BUMN, pada akhir tahun 2010, total aset BUMN mencapai Rp2.382,83 triliun. Total aset BUMN itu berarti setara 20,53% dari Gross Domestic Product (GDP) yang pada tahun 2010 nilainya mencapai Rp6.119 triliun.

Kendati demikian, tampilan angka tersebut tak seindah di lapangan. Virus korupsi dan politisasi masih merasuk dalam tubuh sejumlah BUMN. Apalagi menjelang suksesi politik terbesar di republik ini, yaitu, Pemilu 2014.

Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menegaskan sebuah indikasi terjadinya kaderisasi koruptor-koruptor muda di institusi negara dan BUMN. "Kaderisasi (koruptor) bisa dilihat di institusi-institusi negara dan BUMN saat ini," ujar Busyro di Jakarta, Kamis (8/3).

Menurut Busyro, banyak koruptor muda muncul dari proses regenerasi korupsi tersebut. "Mereka pasti punya planning. Korupsi itu kan struktural dan memerlukan sejumlah unsur sehingga memerlukan sinergi. Karena ada sinergi maka (mereka) juga melakukan program," kata Busyro.

Busyro pun menyebut cukup banyak politisi muka baru yang terjerat kasus pidana korupsi. "Ya, parpol ada yang berperan (pembibitan koruptor) di situ dan sudah cukup banyak buktinya. Proses-proses itu termasuk berjalan juga di parpol," ujar mantan Ketua Komisi Yudisial itu.

Berdasarkan data dari KPK yang diolah oleh gresnews.com, selama kurun waktu tiga tahun, 2008-2011, tercatat tujuh pejabat BUMN dihukum karena terlibat kasus korupsi.

Kasus pertama, pada 2008, KPK menemukan adanya dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) berupa penyelenggara negara menerima sesuatu, hadiah atau janji yang terjadi pada Strategic Business Unit (SBU) II wilayah Jawa Bagian Timur PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. Dalam kasus ini, mantan General Manager PGN wilayah II Jawa Timur, Trijono, divonis empat tahun karena terbukti bersalah dalam kasus korupsi proyek pembangunan jaringan distribusi gas PGN pada 2002-2003.

Pada 2009, KPK menyeret mantan Direktur Utama PT PGN, Washington Mampe Parulian Simanjuntak, terkait penerimaan dana taktis pada kegiatan proyek pembangunan jaringan distribusi gas yang menggunakan APBN 2003. Washington divonis 3 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp100 juta. Dalam putusannya, Majelis Hakim yang diketuai Tjokorda menyatakan dalam proses persidangan terungkap fakta bahwa dalam sebuah rapat terdakwa meminta para pimpinan proyek (pimpro) menyetor uang untuk biaya operasional, yang di antaranya disetorkan ke DPR. Para pimpinan proyek ini kemudian meminta sejumlah rekanan mengumpulkan uang. Uang yang terkumpul dari enam pimpinan proyek (Pimpro) berkisar Rp100 juta hingga Rp700 juta atau total Rp2,425 miliar. Uang ini kemudian disetorkan kepada anggota Komisi VIII DPR Hamka Yamdu dan Agusman Effendy oleh mantan Direktur Keuangan PGN, Djoko Pramono.

Agusman Effendy menerima Rp1 miliar di sebuah restoran di kawasan Senayan, Jakarta. Sementara Hamka Yandu menerima Rp300 juta dalam bentuk cek pelawat dan Rp300 juta dalam uang tunai. Dalam kasus yang sama, Direktur Keuangan PGN, Djoko Pramono, dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun enam bulan dan denda sebesar Rp50 juta subsider 5 bulan kurungan.

Kasus lain terjadi di PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Mantan Direktur Keuangan PT RNI Ranendra Dangin diduga melakukan korupsi dalam Pelaksanaan Kegiatan Kerjasama Operasional Pengadaan, Penyimpanqan, dan Penyaluran Gula Kristal Putih antara RNI dengan Perum BULOG pada 2001-2004. Ranendra dijatuhi vonis 3 tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan. Dalam pertimbangan majelis hakim, Ranendra terbukti telah menggunakan dana operasional RNI sebesar Rp250 juta, dana distribusi sebesar Rp979 juta, dan telah melakukan pemindahbukuan sebesar Rp3,4 miliar dari biaya cadangan denda pajak PT RNI. Akibat perbuatan Ranendra, negara dirugikan Rp4,6 miliar.

Pada 2010, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) disorot, yakni pada Pengadaan Outsourcing Pengelolaan Sistem Manajemen Pelanggan (Customer Management System) berbasis Teknologi Informasi. Dalam kasus ini, Direktur Utama PLN Eddie Widiono Suwondo divonis lima tahun penjara bersalah karena secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi baik secara sendiri maupun bersama-sama dalam proyek pengadaan CIS-RISI di PLN Disjaya dan Tangerang tahun 2004-2006.

Kasus korupsi pada 2011 terjadi di PT Barata Indonesia (BI) atas penggelapan dalam penjualan tanah PT BI (Persero) pada 2004. Dalam kasus ini, Direktur Keuangan dan SDM PT BI Mahyuddin Harahap ditetapkan sebagai tersangka pada Maret 2011, karena menjual tanah milik PT BI dengan cara menurunkan harga dari NJOP yang berlaku tahun 2004. Tanah milik PT BI di Jalan Nagel No 109 Surabaya dijual seharga Rp82 miliar, padahal harga pasarannya Rp132 miliar.

Di luar data tersebut, nama BUMN PT Adhi Karya (Persero) Tbk (ADHI) juga kerap disebutkan oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. Menurut Nazaruddin, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum adalah pihak yang memuluskan langkah PT Adhi Karya Tbk (ADHI) dalam proyek Stadion di Hambalang, Sentul, Bogor senilai Rp1,2 triliun. Dalam berbagai kesempatan, Anas telah membantah tudingan Nazaruddin tersebut. Juru bicara KPK Johan Budi SP menyatakan, kasus Hambalang saat ini sedang dalam penyelidikan KPK.  

Kasus BUMN lain yang juga masuk KPK adalah PT Pertamina (Persero), yaitu, kasus dugaan penerimaan suap Tetraethyl Lead (TEL) tahun 2005 dari PT Innospec oleh pejabat Pertamina. Direktur Pengolahan Pertamina Suroso Atmomartoyo ditetapkan sebagai tersangka. Mantan Dirut Pertamina Ari Hermanto Soemarno pun pernah diperiksa KPK dalam kasus tersebut.

Politisasi BUMN
Tak ada asap tanpa api, pepatah berbunyi. Mencuatnya perilaku korup sejumlah pejabat BUMN diduga terjadi karena adanya muatan kepentingan yang disisipkan dalam tubuh BUMN itu sendiri, sedari mula pengangkatan para pejabatnya.

"Ya, kita tahulah untuk apa ditunjuk sebagai komisaris maupun direksi. Sementara UU BUMN dibuat adalah untuk tidak ada politisasi. Kalau ada kader partai maka BUMN jadi ajang politisasi dan ladang mencari uang untuk kepentingan partai," kata anggota Komisi VI DPR Edhie Prabowo, di Jakarta, Rabu (14/3).

Salah satu nama yang mencuat belakangan ini adalah Megananda Daryono. Pangkat terakhir Megananda, Deputi Menteri BUMN Bidang Industri Primer dan diangkat menjadi Direktur Utama Holding BUMN Perkebunan. Pengangkatan Megananda bersandar pada Peraturan Menteri Negara BUMN SK-88/MBU/2012.

"Megananda ditetapkan efektif mulai 1 Maret 2012,” kata Menteri BUMN Dahlan Iskan di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis (1/3). Menurut Dahlan, alasan pemilihan Megananda karena yang bersangkutan memiliki pengalaman dalam mengelola industri perkebunan.

Pembentukan Holding BUMN Perkebunan secara mendadak, dikaitkan dengan tampilnya ´tangan kanan´ Dahlan di kementeriannya, mengundang tanya banyak pihak. Mari kita lihat surat Menteri Sekretaris Kabinet Dipo Alam Nomor R 51/Seskab/II/2012 pada 7 Februari 2012 kepada Menteri BUMN. Poin dua menyebutkan, "Khusus untuk pengusulan Direktur Utama dan/atau Komisaris Utama/Ketua Dewan Pengawas BUMN pada 15 (lima belas) BUMN sebagaimana dimaksud dalam surat Saudara tersebut di atas, diminta agar Menteri BUMN terlebih dahulu mengonsultasikan dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian."

Poin tiga menyebutkan, "Berdasarkan hasil konsultasi dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dimaksud, Menteri BUMN segera meneruskan usulan tersebut kepada Sekretaris Kabinet selaku Sekretaris Penilai Akhir untuk kemudian dibahas oleh Penilai Akhir."

Berfungsikah tim Penilai Akhir? Wallahualam. Pastinya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dimaksud adalah Hatta Rajasa. Pria berambut putih ini juga menjabat Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), plus besan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dipo Alam berada di posisi Sekretaris Kabinet.

No free lunch, itulah bunyi pepatah Barat dalam bisnis bahwa tak ada makan siang gratis. Diduga, naiknya Megananda yang ditopang oleh Dahlan Iskan, Hatta Rajasa, dan Dipo Alam itu, berkaitan dengan aksi pengumpulan logistik kekuatan politik tertentu untuk menghadapi Pemilu 2014.

Kabar mengenai perusahaan pelat merah menjadi sapi perah partai politik segera dibantah Dahlan Iskan.

"Saya tidak tahu itu dia (Megananda) itu binaan Partai Golkar. Malah yang saya dengar binaan PDI-P, yang benar binaan siapa sih? Ada yang bilang Golkar, PDI-P, Demokrat, PKS," kata Dahlan di Jakarta, awal Maret lalu (5/3).

Menurut Dahlan, Megananda adalah orang yang tepat dan sangat diperlukan untuk mengantarkan sanpai terbentuknya holding PTPN tersebut. "Saya lihat Pak Mega integritasnya baik. Salah satunya dari cerita dia, yang pernah dipanggil Nazaruddin (mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat) 15 kali dan ditekan-tekan. Namun bergeming," ujar Dahlan.

Alasan lain Dahlan memilih pria kelahiran Bukit Tinggi, Sumatera Barat, 20 Januari 1952 untuk memimpin Holding PTPN, karena Megananda sudah akrab dengan para direksi di BUMN perkebunan. "Kalau orang yang dipilih tidak dikenal direktur-direktur PTPN kan sulit," ujar Dahlan.

Megananda pensiun dari posisi Deputi Meneg BUMN pada Februari 2012. Kemudian, dalam usianya yang sudah menginjak 60 tahun, Megananda dikaryakan kembali oleh Dahlan Iskan sebagai Direktur Utama Holding PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Padahal dalam Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia Nomor: PER- 01/MBU/2012 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Direksi Badan Usaha Milik Negara, tanggal 20 Januari 2012 Pasal 4 Ayat 4c disebutkan, "Batas usia direksi tidak boleh melebihi 58 tahun."

Penunjukan Megananda Daryono diduga tidak melalui prosedur, misalnya, melalui TPA atau Tim Penilai Akhir yang diketuai oleh Wakil Presiden, sebagaimana yang tertuang dalam Inpres Nomor 8 dan Inpres Nomor 9 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anggota Direksi atau Komisaris/Dewan Pengawas BUMN.

Nama lain yang diduga memiliki keterkaitan dengan Dahlan Iskan adalah Ismed Hasan Putro, yang baru saja menjabat sebagai Direktur Utama PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Ismed adalah mantan wartawan Jawa Pos, pernah menjadi Komisaris PT RNI, pernah mendirikan lembaga Masyarakat Profesional Madani (MPM).

Ismed Hasan Putro menyatakan tidak mengetahui adanya kabar bahwa perusahaan plat merah sering menjadi tempat bancakan partai politik.

"Saya gak tahu ya kalau perusahaan BUMN sering menjadi tempat cari uang partai-partai. Kalau PT RNI profit-nya menipis, itu bukan karena dibajak partai. Tapi, memang produksi gula mengalami kelesuan. Tapi, kalau benar ada intervensi politik, saya tidak segan-segan menangkalnya," tegas Ismed.

Dugaan politisasi jabatan pucuk pimpinan BUMN juga terjadi di PT Tambang Bukit Asam (Persero) Tbk, setelah seorang kader Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga mantan Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, mendapat kursi sebagai Komisaris Utama PTBA.

PTBA, berdiri sejak 1981, termasuk dalam daftar lima besar produsen batubara di Indonesia. Bahkan penjualan PTBA di dalam negeri termasuk terbesar kedua. Dan hampir seperempat produksinya (22%) diekspor ke pasar internasional termasuk Jepang, Taiwan, Malaysia, Pakistan, Spanyol, Perancis dan Jerman. PTBA memiliki sumber daya batubara sekitar 7,3 miliar ton atau 17% dari total sumber daya batubara yang dimiliki Indonesia. Sejak 23 Desember 2002, PTBA menjadi perusahaan publik dengan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Surabaya. Masyarakat memegang 34,98% saham PTBA sedangkan sisanya 65,02% dimiliki negara.

Sebagai catatan, kader PAN lainnya yang juga kakak kandung Patrialis, yakni, Syarlinawati Akbar menjabat sebagai Komisaris BUMN PT Semen Padang.

Hatta Rajasa diduga memiliki peran signifikan dalam meramu komposisi pejabat BUMN. Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh gresnews.com melalui data dan wawancara sejumlah sumber, mereka yang juga diduga ´binaan´ Hatta Rajasa adalah Erlangga Mantik, yang resmi diangkat menjadi Komisaris Utama PT Asuransi Ekspor Indonesia (ASEI) pada 1 November 2010. Masa jabatannya berakhir pada 1 November 2013. Erlangga juga masih tercatat sebagai Deputi I Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan.  

Karier Erlangga yang menjadi sarjana ekonomi sejak 1975 tidak tergolong mulus dan cemerlang. Dia memulai karier sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Kementerian Keuangan pada 1975. Kariernya mulai kinclong 19 tahun kemudian, tepatnya 1994, secara berturut-turut menduduki jabatan Direktur dan Sekretaris Ditjen di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai hingga 2008. Selanjutnya pada 2009 dipercaya menduduki jabatan Deputi I Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan, sampai sekarang.

Nama lainnya adalah Diah Maulida, yang resmi diangkat menjadi Komisaris PT Pupuk Sriwidjaja Palembang pada 7 Juli 2011 sesuai dengan Keputusan Menteri Negara BUMN selaku Rapat Umum Pemegang Saham Nomor: KEP-156/MBU/2011. Diah Maulida juga masih menjabat sebagai Deputi II Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Pertanian dan Kelautan.

Hatta Rajasa diduga juga memiliki keterkaitan dengan bisnis pertambangan dan perminyakan. Berdasarkan informasi yang dikumpulkan oleh gresnews.com, Hatta pernah menjadi Presiden Direktur PT Arthindo Utama. Saat ini, M Reza Ihsan Rajasa, putra Hatta Rajasa, adalah Direktur Utama PT Arthindo Utama.

Arthindo berdiri pada tahun 1982, memulai kegiatan usaha dengan menyewakan beberapa unit oilfield trucks untuk keperluan operasi di industri perminyakan. Awal 1980-an, Arthindo ikut serta dalam kegiatan wellservice-workover dan selanjutnya berkembang pada kegiatan operasi pengeboran minyak, gas dan panas bumi (Geothermal). Sejak pertengahan tahun 1990-an, Arthindo turut dalam beberapa kegiatan hulu bidang energi terutama untuk proyek pemanfaatan dan pengolahan gas serta pembangkitan tenaga listrik (Power Plant). Berdasarkan catatan yang dikutip dari situs Arthindo, sejumlah klien perusahaan itu antara lain PT Chevron Pacific Indonesia, PT Caltex Pacific Indonesia, Pertamina, dan sebagainya. 

PT Arthindo Utama juga tercatat sebagai penyumbang Tim Kampanye Nasional Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono pada Pemilu 2009.

Kacamata politik
Sepak terjang politisasi dalam percaturan bisnis bukanlah kabar baik bagi kemajuan negeri ini. UU Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak membenarkan adanya kader partai politik menempati posisi strategis di BUMN.

"Secara resmi dalam UU BUMN, jelas dikatakan, tidak boleh ada kader partai politik menjabat komisaris atau direksi sebuah BUMN, itu sudah jelas. Kalau ada, itu melanggar dan harus melanggar," kata anggota Komisi VI DPR RI, Edhie Prabowo kepada gresnews.com, Jakarta, Rabu (14/3).

Ia menyebutkan, adanya kader partai politik yang menjabat di perusahaan plat merah bisa ditarik atau dibatalkan. "Kalau ada upaya penitipan kader partai politik di BUMN, itu bisa digagalkan. Karena telah melanggar UU BUMN," tambah politisi Gerindra itu.

Oleh karena itu, ia meminta kepada partai politik untuk konsisten menjalankan UU dan aturan yang berlaku. "Kita harus konsiten dengan UU. Kalau ada, harus diganti. Lagi pula, belum tentu kader parpol yang dititipkan itu memiliki kompetensi dan sesuai jabatannya," katanya.

Selain itu, ia juga menengarai, kader parpol yang dititipkan menjadi orang penting di BUMN biasanya dilakukan oleh partai penguasa dan partai yang punya menteri di kabinet.

"Bisa dilihatlah. Tapi yang penting, kalau sah dan ada kader parpol yang sengaja dititipkan, kita harus ganti, tak bisa paksa dengan orang tak kompeten," ungkap dia.

Terkait hal itu, dirinya dan sejumlah anggota Komisi VI DPR RI telah mengingatkan kepada Meneg BUMN agar mengkaji ulang dan menarik semua kader parpol yang menjadi komisaris dan direksi di BUMN. "Komisi VI sudah mengingatkan ke Meneg BUMN dan keputusan itu tergantung menteri," kata dia.

Diwawancarai terpisah, Ketua Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu Arif Puyono menegaskan, penempatan kader partai politik di perusahaan plat merah sudah melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN.

"Dari awal, kami sudah tegaskan ke Dahlan Iskan (Menteri BUMN), bahwa Patrialis itu masih menjadi kader PAN. Dan, ini jelas-jelas melanggar regulasi yang dibuat pemerintah sendiri. Kalau-pun Patrialis sudah tidak di PAN, kami belum terima surat perihal status Patrialis," ujar Arif kepada gresnew.com, Minggu (11/3).

Sikap Dahlan yang tetap keukeuh untuk menempatkan Patrialis sebagai Komisaris Utama PT BA membuat Arif bertanya-tanya. Menurut Arif, ada dugaan Dahlan Iskan dan Menko Perekonomian Hatta Rajasa, yang juga Ketua Umum PAN tengah berkompromi untuk memperkuat mesin uangnya saat Pemilu 2014. "Saya rasa ada agenda tersembunyi antara Hatta Rajasa dan Dahlan Iskan untuk Pemilu 2014," tutur Arif.

´Pengerukan´ uang di perusahaan BUMN, kata Arif, tidak diperoleh dari tender pengadaan alat. Tapi, dana segar itu diraup dari Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). "Dana PKBL tahun 2011 itu mencapai Rp7 triliun. Tapi, gak jelas tuh penggunaannya," sesal Arif.

Peneliti bidang korupsi politik Indonesian Corruption Watch (ICW) Apung Widadi mengatakan, modus BUMN dijadikan mesin ATM parpol sebenarnya cukup sederhana, yakni dengan membantu salah satu perusahaan untuk mendapatkan proyek dari perusahaan BUMN.

Selain itu, elite parpol yang berkuasa juga diduga menjadi broker alias perantara bagi perusahaan swasta untuk mendapatkan pinjaman dari bank pelat merah. Modus lainnya, partai politik yang mengizinkan kadernya ikut tender BUMN merupakan bagian dari penyalahgunaan kekuasaan.

Di pihak lain, Direktur Indonesia Budget Center (IBC), Roy Salam, mengatakan diperasnya BUMN oleh parpol modusnya tidak cuma momen pemilu tapi pascapemilu pun terjadi.

"Orientasi dan cara kerja parpol di Indonesia belum berubah. Dimana, masih mengandalkan pendanaan yang sumbernya dari kekayaan negara, baik yang diperoleh dengan cara legal maupun ilegal," ujar Roy.

Hal itu, sambung Roy, diperparah dengan kewenangan besar yang dimiliki DPR saat ini dan minimnya kontrol publik, yang menjadi celah politisi untuk mengeruk kekayaan negara. "Misal, besarnya kekuasaan Badan Anggaran DPR untuk mengatur distribusi APBN. Dengan kekuasaan itu mereka bisa mengatur BUMN mana yang akan mendapatkan proyek APBN dalam jumlah besar," kata Roy.

TIM SOMASI


BACA JUGA: