Halo Redaksi, ikut partai apa?
Jakarta - Suatu hari di awal Januari. Siang, di sebuah kantor redaksi media massa yang bernaung di bawah Media Nusantara Citra (MNC) Group, Jl. Kebon Sirih, Jakarta. Seorang lelaki berdasi membagikan Surat Pernyataan Anggota Partai Nasdem, yang saat ini telah lolos verifikasi Kementerian Hukum dan HAM, di setiap meja kerja wartawan (Lihat surat pernyataan anggota Partai Nasdem di sini). Ada pula dibagikan selebaran berjudul: Nasdem, Selamat Datang Dalam Arus Besar Perubahan (Lihat selebaran Partai Nasdem di sini).
"Mengutip pidato Bapak Hary Tanoesoedibjo sebagai Ketua Dewan Pakar Partai Nasdem yang bergabung sejak tahun 2011, dalam Rapimnas I: Indonesia sebagai bangsa yang besar dengan persoalan besar, banyak hal yang harus dibenahi. Maka semangat perubahan yang diusung oleh Partai Nasdem akan semakin dapat terealisasi di tahun 2014. Untuk itu kami mengharapkan keikutsertaan rekan-rekan sejawat untuk dapat menjadi anggota Partai Nasdem dan keikutsertaan ini merupakan murni keputusan rekan sejawat tanpa ada unsur paksaan."
Begitu ´guntingan´ kalimat dalam selebaran yang dibagikan untuk karyawan MNC Group, tertanda Muharzi Hasril, yang sekaligus mengkonfirmasi suatu fakta bahwa ruang redaksi media massa yang seharusnya merupakan panggung independensi jurnalistik, telah disusupi kepentingan politik sang pemilik. Tak ada bantahan atas fakta itu. "Ya, benar," kata Ketua Umum Partai Nasdem Patrice Rio Capela kepada gresnews.com di Jakarta, Jumat (13/11).
Patrice malah menambahkan, "Saya rasa wajar kok kalau semua karyawan MNC Group dan Metro TV menjadi dan memiliki KTA (Kartu Tanda Anggota) Partai Nasdem." Metro TV adalah stasiun televisi yang berada di bawah Media Group, selain harian Media Indonesia, yang pemiliknya, Surya Paloh, "rangkap jabatan" sebagai Ketua Umum Ormas Nasdem.
Gresnews.com mewawancarai lima wartawan Media Indonesia dan Metro TV mengenai aksi bagi-bagi surat dan selebaran itu. Mereka mengungkapkan, sejak Partai Nasdem dideklarasikan 26 Juli 2011, sudah ada edaran formulir pendaftaran anggota Partai Nasdem di meja redaksi.
"Dibagikan di setiap meja. Saya tidak tahu siapa yang menaruh. Tapi tidak dipaksa ikut," kata seorang wartawan Media Group yang tidak mau disebutkan namanya. Menurut dia, pembagian formulir itu tidak direspons baik oleh karyawan. "Tidak banyak yang ikut. Wong ikut dan gak ikut juga gak ada sanksinya," ujarnya.
Namun, Direktur Pemberitaan Metro TV Suryopratomo berkelit. "Tidak ada edaran brosur pendaftaran. Saya tidak pernah bergabung dengan Partai Nasdem. Saya tidak pernah dipaksa ikut. Dan saya tidak pernah akan bergabung dengan Partai manapun. Saya tidak pernah dapat edaran itu," kata Suryopratomo kepada gresnews.com, Minggu (15/1).
Raja Politik, Raja Media
Dua profesor di bidang media, penulis buku Media, Culture and Politics in Indonesia, yaitu Krishna Sen (Professor of Asian Media and Dean of the Humanities Research Centre at Curtin University of Technology, Perth, Western Australia) dan David T. Hill (Professor of Southeast Asian Studies and Fellow of the Asia Research Centre, Murdoch University, Perth, Western Australia), telah mendalilkan, kehidupan media massa di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari politik dan kepentingan ekonomi. Turunan dari dalil tersebut adalah gejala semakin bertambahnya media semakin sedikit mereka yang memiliki media. Akibatnya, ruang publik- meminjam istilah Filsuf Jerman Jurgen Habermas- yang seharusnya menjadi arena demokratisasi melalui instrumen media, menjadi tersempitkan karena sedikitnya pemilik yang menguasai banyak media.
Salah satu sudut yang terang untuk memotret dominasi kepemilikan media adalah pada media televisi. Televisi, suka atau tidak suka, merupakan media yang menguasai pasar pemirsa di Indonesia. Media Partners Asia (MPA), penyedia jasa informasi dalam bidang industri media di Asia, dalam laporannya yang diterbitkan Januari 2011, mencatat, pada 2010, televisi menguasai 68% total belanja bersih iklan di media.
MPA mencatat empat kelompok terbesar pertelevisian di Indonesia (Klik bagan dinamika stasiun TV di Indonesia). Mereka adalah, pertama, Media Nusantara Citra (MNC) yang memiliki tiga stasiun: RCTI, MNC TV, dan Global TV. Jika ketiganya digabung, MNC menguasai 37% pangsa pemirsa dan pasar industri periklanan bruto Indonesia.
Kedua, Surya Citra Media (SCM), yang 86% sahamnya dimiliki oleh Emtek (Elang Mahkota Teknologi Tbk). Anak perusahaan, Surya Citra Televisi (SCTV), 99,9% sahamnya dimiliki oleh SCM. SCTV menguasai 16% pangsa pemirsa TV di Indonesia per 2010 dan 14% pangsa pasar iklan bruto.
Ketiga, Trans Corpora. Trans TV merupakan stasiun televisi utama milik Trans Corpora (sekarang berada di bawah CT Corp, yang digawangi pengusaha Chairul Tanjung). Stasiun ini bersiaran awal pada Desember 2001, dengan saudaranya, Trans 7, yang diluncurkan Agustus 2006, setelah kelompok usaha CT ini mengakuisisi bagian saham pengendali TV7 dari Kompas-Gramedia. Trans TV dan Trans 7 menguasai 24% pangsa pemirsa dan 22% pangsa iklan bruto per 2010.
Keempat, Visi Media Asia, yang menaungi tvOne dan ANTV. Pemegang saham utama adalah kelompok usaha Bakrie. ANTV diluncurkan pada tahun 1993. Gabungan ANTV dan tvOne memiliki pangsa pemirsa televisi sebesar 12% dari seluruh pemirsa televisi dan 15% pangsa pasar pemasangan iklan bruto pada tahun 2010. tvOne sebelumnya dikenal dengan nama Lativi, yang diluncurkan pada bulan Juli 2002. Kelompok usaha Bakrie mengakuisisi dan meluncurkan kembali jaringan televisi ini dan menggantinya dengan nama tvOne sejak 2008. Sebagai catatan, Aburizal Bakrie (Ical) saat ini bertindak sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
Selain empat besar "penguasa" televisi itu, ada pula Metro TV, yang dimiliki oleh Surya Paloh. Metro TV menguasai 3% pangsa pemirsa dan 4% pangsa iklan bruto pada 2010. Surya Paloh adalah Ketua Umum Ormas Nasional Demokrat (Nasdem).
Lalu, stasiun IVM, dimiliki oleh Salim Group. Pada 2010 menguasai 10% pangsa pemirsa dan 8% pangsa iklan bruto di Indonesia.
Mari menilik sejenak dokumen hukum pengendali stasiun televisi tersebut, berdasarkan pencatatan di Bursa Efek Indonesia.
Media Nusantara Citra Tbk (Kode: MNCN) listing di bursa pada 22 Juni 2007 (Klik komposisi pemegang saham). Alamat kantornya di Menara Kebon Sirih Lt. 27, Jl. Kebon Sirih Kav. 17-19 Jakarta 10340. Sektor usahanya adalah perdagangan, jasa, dan investasi.
Pada 12 Desember 2011, perseroan mengubah komposisi Komisaris dan Direksi berdasarkan hasil Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB), menjadi: Rosano Barack (Presiden Komisaris), Bambang Rudijanto Tanoesoedibjo (Komisaris), Adam Chesnoff (Komisaris), Irman Gusman (Komisaris Independen), dan Drs. Sutanto (Komisaris Independen). Susunan Direksi adalah Hary Tanoesoedibjo (Presiden Direktur), Agus Mulyanto (Direktur), Oerianto Guyandi (Direktur), dan Nana Puspa Dewi (Direktur).
Global Mediacom Tbk merupakan pemegang saham pengendali di MNC dengan komposisi saham 70%. Hary Tanoesoedibjo bertindak sebagai Direktur Utama Perseroan. Global Mediacom membawahkan sejumlah unit bisnis, yakni, Media Nusantara Citra Tbk, RCTI, Global TV, MNCTV, MNC Radio Networks, MNC Entertainment, MNC News, Media Nusantara Informasi, MNI Global (Content & Advertising-based Media); Infokom Elektrindo (Telecommunications & IT); MNC Sky Vision (Indovision) dan Sky Vision Networks (Subscriber-based Media).
Secara lengkap, berdasarkan Laporan Keuangan Konsolidasi periode yang berakhir 30 Juni 2011, MNC memiliki, baik langsung maupun tidak langsung, lebih dari 50% saham anak perusahaan, yang bergerak di bidang penyiaran dan media massa, sebagai berikut:
1. Penyiaran, yaitu, PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), PT Global Informasi Bermutu (GIB), PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (CTPI), PT MNC Networks (MNCN) dan anak perusahaan, PT Radio Trijaya Shakti (RTS) dan anak perusahaan, PT Radio Prapanca Buana Suara (RPBS) Medan, PT Radio Mancasuara (RM) Bandung, PT Radio Swara Caraka Ria (RSCR) Semarang, PT Radio Efkindo (RE) Yogyakarta, PT Radio Citra Borneo Madani (RCBM) Banjarmasin, PT Radio Suara Banjar Lazuardi (RSBL) Banjarmasin, PT Radio Suara Monalisa (RSM) Jakarta, PT Radio Cakra Awigra (RCA) Surabaya, PT Radio Arief Rachman Hakim (RARH) Jakarta, Media Nusantara Citra B.V. (MNC B.V.) Belanda, MNC International Middle East Limited (MIMEL) dan anak perusahaan, MNC International Limited (MIL) dan anak perusahaan di Cayman Island, Linktone Ltd (LTON) dan anak perusahaan di Cayman Island, Letang Game Ltd (Letang) China, PT. Linktone Indonesia (Linktone) Jakarta, Innoform Media Pte., Ltd (Innoform) dan anak perusahaan di Singapura, Alliance Entertainment Singapore Pte. Ltd (Alliance) Singapura, dan MNC Pictures FZ LLC (MP).
2. Media cetak, yaitu, PT Media Nusantara Informasi (MNI) Jakarta dan PT MNI Global (MNIG).
Perseroan lain yang perlu disorot adalah Visi Media Asia Tbk (Kode: VIVA) yang listing di bursa pada 21 November 2011, berkantor di Menara Standard Chartered Bank Lt. 31 Jl. Prof. Dr. Satrio No.164 Jakarta 12930 Indonesia. VIVA memiliki usaha penyedia jasa konten dalam berbagai platform yang berfokus pada penyediaan konten berita, olahraga, dan gaya hidup baik langsung maupun tidak langsung melalui Anak Perusahaan (Klik komposisi pemegang saham).
Berdasarkan Prospektus Awal perseroan, per 2011, Pemegang Saham perseroan adalah PT CMA Indonesia dengan komposisi 92,13% dan PT Bakrie Capital Indonesia 0,37% (Seri A); Fast Plus Limited memegang 7,5% (Seri B). Pemegang saham CMA saat ini adalah Anindya Novyan Bakrie, Robertus Bismarka Kurniawan, PT Sky Capital Indonesia dan PT CMA Capital Indonesia, dimana keduanya merupakan perusahaan yang dikendalikan oleh Kelompok Usaha Bakrie. Dengan begitu, 92,5% kepemilikan Perseroan dikuasai oleh Grup Bakrie, sebuah konglomerasi di Indonesia yang memiliki berbagai usaha di bidang sumber daya, perkebunan, energi, infrastruktur, properti, telekomunikasi dan media. Sementara 7,5% sisanya dimiliki oleh Fast Plus, afiliasi dari Star TV Ltd. (Star TV) (Klik bagan kepemilikan saham perseroan).
Susunan pengurus perseroan adalah: Presiden Komisaris Anindya Novyan Bakrie, Komisaris yakni Nalinkant Amratlal Rathod, Omar Luthfi Anwar, Rosan Perkasa Roeslani, RM Djoko Setiotomo, dan Setyanto Prawira Santosa; Presiden Direktur Erick Thohir, Wakil Direktur Utama Robertus B. Kurniawan, direktur yakni Charlie Kasim, Anindra Ardiansyah Bakrie, Harlin Erlianto Rahardjo, Otis Hahijari, dan Frederic Jacques de Bure.
Anak perusahaan terdiri dari PT Lativi Media Karya (tvOne), PT Viva Media Baru (Vivanews), PT Asia Global Media (AGM), PT Inter Media Capital (IMC), PT Cakrawala Andalas Televisi (ANTV), PT Redal Semesta (RS).
Pada bagian Prospektus yang menjabarkan tentang risiko sehubungan dengan kegiatan usaha perseroan dan anak perusahaan, dituliskan mengenai potensi konflik kepentingan pemilik sebagai berikut:
"Perseroan telah ikut serta dalam berbagai transaksi dengan entitas dimana anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan juga bertindak dalam kapasitas manajemen, atau dimana Perseroan mengendalikan, dikendalikan, atau sepengendali. Transaksi-transaksi ini termasuk yang dijelaskan dalam “Transaksi dengan Pihak-pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa” dan catatan atas laporan keuangan konsolidasian Perseroan yang telah diaudit. Selain itu, Perseroan berharap di masa depan akan mengadakan transaksi lainya dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa. Walaupun kebijakan Perseroan selama ini adalah melakukan transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa pada nilai wajar dan dengan syarat dan kondisi sesuai pasar, negosiasi dan sifat transaksi tersebut dapat melibatkan manajemen Perseroan dalam konflik kepentingan. Selain itu, grup Bakrie, sebagai pemegang saham pengendali Perseroan, akan mempertahankan hak untuk mempengaruhi hasil dari pengumpulan suara pemegang saham yang paling signifikan. Walaupun Perseroan akan diwajibkan untuk patuh pada peraturan Bapepam-LK mengenai benturan kepentingan yang mewajibkan adanya persetujuan dari pemegang saham independen untuk transaksi benturan kepentingan, kepentingan Perseroan dapat berbenturan dengan kepentingan dari pemegang saham."
Kelompok usaha dominan lainnya adalah PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (Kode: EMTK), yang listing di bursa pada 12 Juni 2010, berkantor di Menara Batavia Lantai 5, Jl. KH. Mas. Manyur Kav. 126, Jakarta 10220.
EMTK membawahkan dua stasiun televisi utama yaitu PT Surya Citra Media Tbk (SCTV) dengan porsi kepemilikan saham sebesar 85,26% dan PT Indosiar Karya Media Tbk (Indosiar) dengan kepemilikan saham 84,77%. EMTK juga membawahkan PT Mediatama Anugrah Citra yang bergerak di bidang usaha siaran televisi berlangganan dengan komposisi kepemilikan 99,99%.
Berdasarkan komposisi pemegang saham, Rd. Eddy K. Sariaatmadja dengan kepemilikan 18,19% bertindak sebagai pemegang saham pengendali (Klik komposisi pemegang saham).
Dua dominasi stasiun televisi lainnya saat ini adalah Surya Paloh dengan Media Group dan Chairul Tandjung dengan CT Corp. Pada tanggal 1 Desember 2011, Chairul Tanjung meresmikan perubahan Para Grup menjadi CT Corp. CT Corp terdiri dari tiga perusahaan sub holding: Mega Corp, Trans Corp, dan CT Global Resources yang meliputi layanan finansial, media, ritel, gaya hidup, hiburan, dan sumber daya alam. Perusahaan milik Surya Paloh dan Chairul Tandjung saat ini belum berstatus Tbk.
Para Pembujuk Massa Politik
Merujuk sebuah riset di Amerika Serikat, 60% pemilih menyatakan televisi merupakan sumber utama informasi bagi mereka berkaitan dengan pemilihan presiden. Theophilus J. Riyanto dalam artikel berjudul Kekuatan Media Massa dalam Kampanye Kepresidenan di Amerika Serikat, mengatakan, the mass political persuader mencoba menggunakan media untuk mendapatkan keuntungan maksimal bagi kandidat presidennya. Meyakinkan warga negara untuk memilih kandidatnya merupakan tujuan yang cukup jelas.
Kegalauan yang berhubungan dengan monopoli kepemilikan media massa di Indonesia, terutama televisi, yang berpotensi pada dominasi opini dan sumber-sumber kapital politik, direspons oleh lembaga bernama Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) yang mengajukan uji materi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK). Saat ini pemeriksaan perkara masih berlangsung di MK.
Pasal yang diuji adalah Pasal 18 Ayat (1) dan Pasal 34 Ayat (4) UU Penyiaran terhadap Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28F dan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.
Pasal 18 Ayat (1) UU Penyiaran menyebutkan: Pemusatan kepemilikan dan penguasan lembaga penyiaran swasta (LPS) oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran dibatasi.
Sementara Pasal 34 Ayat (4) UU Penyiaran menyebutkan: Izin Penyelenggaraan Penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain.
Dalam permohonannya Nomor 78/PUU/IX/2011, KIDP menilai pasal- pasal tersebut kerap disalahtafsirkan oleh konglomerat media, bahkan pemerintah sebagai pengawas dan regulator. Akibatnya, LPS tetap dimiliki oleh segelintir pihak dan terjadi pemusatan kepemilikan; satu badan hukum dapat memiliki lebih dari satu LPS di satu wilayah.
"Seseorang atau satu badan hukum dengan mudah membeli lembaga penyiaran sekaligus Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP)," kata Eko Maryadi, Koordinator KIDP, dalam permohonannya.
Padahal, menurut Eko, berdasarkan UU Penyiaran, IPP sebagai hak yang diberikan oleh negara kepada lembaga penyiaran setelah dipenuhinya persyaratan, seharusnya dikembalikan kepada negara saat tidak mampu lagi menyelenggarakannya.
"Peristiwa ini seperti halnya seseorang yang membeli perusahaan maskapai penerbangan atau pesawat pribadi dan seolah-olah bisa terbang seenaknya meski tanpa memiliki izin terbang yang dikeluarkan oleh pihak regulator penerbangan," papar Eko.
Menurut KIDP, pemusatan kepemilikan LPS mengancam pelanggaran konstitusi. Kerugian yang dimaksud adalah mengancam kemerdekaan berpendapat dan berbicara, membuat dominasi opini publik, terbatasnya pilihan masyarakat untuk mendapatkan informasi yang beragam, ketidakadilan pengalokasian frekuensi oleh negara, kerugian pemberitaan yang tidak jujur dan transparan akibat campur tangan para pemilik lembaga penyiaran, serta tidak adanya kesempatan berusaha yang sama akibat pemusatan kepemilikan.
Padahal, regulasi untuk penyiaran seharusnya disesuaikan dengan tujuan negara sebagaimana termaktub dalam UUD 1945, memajukan kesejahteraan, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. KIDP menegaskan, amanat itu sebenarnya sudah ditegaskan dalam konsideran menimbang Huruf b UU Penyiaran.
"Spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat," tegas Eko, menjabarkan bunyi konsideran UU Penyiaran.
Dilanjutkan dia, contoh konkrit pelanggaran UU Penyiaran terkait pemusatan kepemilikan, seperti MNC Group yang memiliki tiga lembaga penyiaran sekaligus, RCTI, MNC TV dan Global TV, kemudian EMTK Group yang memiliki SCTV, O Channel dan Indosiar. Lalu Viva Group yang memiliki tvOne dan ANTV serta Para Group (kini CT Corp) yang memiliki Trans TV dan Trans 7.
Multi penafsiran, menurut KIDP, contohnya bisa dilihat saat PT Visi Media Asia Tbk (Viva Group) melakukan divestasi sebagian besar kepemilikan di ANTV dan tvOne. Dalam prospektus ringkas awal Viva yang diterbitkan 2011, perseroan itu mengakui adanya multi penafsiran yang berisiko dipermasalahkan perihal pemusatan kepemilikan LPS.
Belum adanya pembatasan secara resmi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menjadi dalih perseroan tersebut. Namun, dalam pendapatnya, PT Visi Media Asia Tbk berkukuh, bahwa pembatasan kepemilikan LPS telah diatur dalam PP Nomor 50/2005 tentang Penyelenggaraan LPS.
Perseroan itu menilai pembatasan kepemilikan LPS hanya untuk pelaksanaan sistem stasiun televisi berjaringan. Yang tidak terkena, seperti badan hukum non-LPS, dapat dimungkinkan untuk memiliki saham sampai 100% lebih dari satu LPS. "Penafsiran yang berbeda semacam itu menimbulkan ketidakpastian hukum," tegas Eko.
Menyalahartikan juga terjadi dalam Pasal 34 Ayat (4) UU Penyiaran yang melarang memindahtangankan izin penyiaran. Para pemilik LPS merasa pengambialihan saham atau penjualan tidaklah melanggar ketentuan itu.
Guna mempertajam permohonannya, KIDP memberikan perbandingan. Untuk perbandingan di luar negeri, pengaturannya dilakukan secara ketat, hati-hati dan adil. Sebuah badan hukum tidak boleh mempergunakan lebih dari satu frekuensi untuk penyiaran di satu daerah dan daya jangkau siaran.
Misalnya di Amerika Serikat, berlaku sistem stasiun televisi jaringan dan stasiun televisi lokal. Pengaturan kepemilikan dan penguasaan stasiun televisi diatur berdasarkan luas jangkauan dari stasiun televisi yang dimiliki. Berdasarkan Telecommunication Act 1996 seseorang atau badan hukum dapat memiliki stasiun televisi lokal (bukan televisi jaringan) sebanyak-banyaknya selama jangkauannya tidak melebihi 35% dari nation´s tv homes atau tv´s household. Batas itu kemudian diubah menjadi 39%, sebagai bentuk kompromi karena FCC mengajukan angka 45%.
Di Australia seseorang tidak boleh mengontrol atau menguasai melalui kombinasi izin televisi yang menjangkau lebih dari 75% penduduk. Kemudian tidak boleh terdapat lebih dari satu izin di satu daerah. Di Australia terdapat sekitar 56 izin televisi komersial dengan kelompok perusahaan, antara lain sebagai berikut; 1.The Seven Network memiliki 6 izin dan menjangkau 73% penduduk; 2. The Nine Network (PBL) memiliki 4 izin dan menjangkau 52%; 3. Network Ten memiliki 5 izin dan menjangkau 66%, dll.
Eko menegaskan, perbedaan penafsiran UU Penyiaran di Indonesia telah menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28F dan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Oleh sebab itu, KIDP meminta MK memberikan tafsir dengan tegas.
MK harus menyatakan bunyi Pasal 18 Ayat (1) UU Penyiaran secara keseluruhan sebagai, "Pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau satu badan hukum baik badan hukum pemegang izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) yaitu lembaga penyiaran swasta (LPS) maupun badan hukum apapun dan ditingkat manapun yang menguasai dan memiliki LPS tidak boleh memiliki lebih dari satu IPP dalam satu wilayah siaran," kata Eko Maryadi, Koordinator KIDP, dalam permohonannya.
Eko menegaskan, perbedaan penafsiran UU Penyiaran di Indonesia telah menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28F dan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Oleh sebab itu, KIDP meminta MK memberikan tafsir dengan tegas.
Terakhir, MK harus menyatakan Pasal 34 Ayat (4) UU Penyiaran seutuhnya harus dimaknai sebagai berikut; "IPP dilarang dipindahtangankan dengan cara diberikan, dijual, dialihkan kepada perorangan atau badan hukum yang berbentuk LPS yang memiliki IPP juga badan hukum apapun, di tingkat manapun."
Dimintai pendapatnya secara terpisah, Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Komunikasi dan Media Massa, Henry Subianto, mengakui, pemerintah memang membutuhkan penyusunan peta jalan (roadmap) penyiaran karena fakta di lapangan menunjukkan indikasi banyaknya aplikasi penyiaran yang disetujui oleh pemerintah atas rekomendasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di berbagai daerah. Parahnya, pemberian aplikasi ini juga tanpa memperhatikan kemampuan daerah tersebut sehingga menimbulkan kekacauan jaringan frekuensi. "Pemerintah pun menyiasati dengan mengambil frekuensi sekunder, sementara LPS (Lembaga Penyiaran Swasta) mengambil frekuensi publik," kata Henry kepada gresnews.com di Jakarta, Jumat (13/1).
Hantu monopoli kepemilikan dan dominasi opini seperti diungkap oleh KIDP, membuat politisi bergeming. Seolah tak mengindahkan kekhawatiran matinya demokrasi dalam ruang publik. Diwawancarai oleh gresnews.com, mengenai kemungkinan penunggangan opini publik melalui monopoli kepemilikan media, seusai acara Pelantikan Pengurus Pergerakan Restorasi Jakarta se-DKI Jakarta di Padepokan Pencak Silat Taman Mini Indonesia Indah, di Jakarta, Sabtu (14/1), Presiden Direktur MNC Group Hary Tanoesoedibjo berkilah, "Itu semua kan sudah diatur."
Malah, menurut Ketua Dewan Pakar Partai Nasdem, itu justru keadaan akan sebaliknya, dimana pemilik media dan partai akan saling melengkapi satu sama lain.
Selain itu, Hary Tanoe pun tidak sepakat bila disebut peran media yang massif sebagai alat kampanye sangat berbahaya bagi eksistensi partai politik dan demokrasi. "Saya tidak sepakat soal itu," kata dia.
Menurut Ketua Umum Partai Nasdem Patrice Rio Capela, dua kelompok media besar (MNC dan Media Group) akan menjadikan Partai Nasdem lebih mudah untuk menyosialisasikan program-program partai. "Tapi Partai Nasdem akan menaati aturan yang berlaku bila ada aturan tentang waktu tayang partai politik," kata dia.
Namun, ia menambahkan, Partai Nasdem tak akan tergantung pada media massa untuk menyosialisasikan program partai. "Memang lebih mudah dalam sosialisasi partai. Tapi Partai Nasdem tidak tergantung pada media massa walaupun petinggi Nasdem pemilik media besar," kata Patrice.
Diwawancarai secara terpisah, Direktur Pemberitaan Metro TV Suryopratomo menegaskan, medianya akan tetap menjaga independensi jurnalistik pascalahirnya Partai Nasdem. "Metro TV sudah punya pengalaman panjang untuk menerapkan profesionalisme dalam jurnalistik," kata Suryopratomo.
Menurut dia, bukan kali ini saja Surya Paloh terlibat dalam dunia politik. "Pada Pemilu 2004 dan 2009, Surya Paloh menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Golkar. Metro TV tidak dikatakan sebagai televisi Partai Golkar," ujarnya.
Ia mengatakan, justru aneh kalau keterlibatan Surya Paloh di Partai Nasdem dipertanyakan. "Aneh jika baru sekarang Metro TV dikhawatirkan tidak bisa menjaga independensinya karena dikaitkan dengan Partai Nasdem," tuturnya, seraya berkata, Metro TV telah menerapkan aturan bagi karyawannya yang terlibat dalam Partai Politik. "Siapa yang terlibat dalam politik praktis harus mengundurkan diri. Sugeng Suparwoto tidak lagi di Metro TV setelah jadi Waketum Partai Nasdem," ujarnya.
Namun ia mengungkapkan, tidak bisa mencegah karyawan bergabung dalam Partai Nasdem. "Semua orang punya hak politik. Tidak ada orang yang bisa dipaksa untuk menggunakan haknya apalagi di zaman kebebasan seperti sekarang. Semua partai boleh menawarkan janji tapi mereka tidak akan pernah bisa dipaksa. Metro TV menerapkan merit system berdasarkan kinerja bukan keterkaitan dengan parpol," ujar Suryopratomo.
"Keharusan politik" karyawan media untuk menjadi anggota partai politik yang digawangi sang pemilik, diungkapkan oleh Bendahara Umum Partai Golkar Setya Novanto. Menurut Setya, ribuan karyawan yang bekerja di perusahaan media milik Ical sudah seharusnya menjadi anggota Partai Golkar.
"Secara naluriah, karyawan yang bekerja di media milik Pak Ical sudah seharusnya menjadi anggota Partai Golkar. Karena sudah bekerja di media yang dimiliki Ketua Umum, yang artinya sudah ada rasa simpatik dari karyawan, maka tak perlu disuruh lagi menjadi anggota Golkar," kata Setya Novanto kepada gresnews.com, Jumat malam (13/1), di Jakarta.
Ketua Fraksi Golkar itu menyebutkan, dengan menjadi anggota Partai Golkar akan semakin menambah perolehan suara Golkar pada Pemilu 2014 mendatang dan pencalonan Pak Ical sebagai calon presiden akan menjadi kuat.
"Pasti ya, ada pengaruhnya karyawan yang bekerja di media Pak Ical untuk meningkatkan popularitas menuju RI 1," kata Setya.
Ia juga menyebutkan, peranan media sangat membantu popularitas seseorang termasuk calon presiden untuk meraih kesuksesan.
"Peranan media sangat penting menunjang popularitas. Apalagi saat ini Pak Ical telah dinobatkan jadi capres namun menunggu hasil survei. Dengan peran media, survei bisa meningkatkan popularitas Ical karena peranan media, termasuk media yang dimiliki Pak Ical," kata dia.
Rekonstruksi Aturan Main
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bereaksi keras terhadap dorongan dari pemilik media untuk mengintegrasikan karyawannya sebagai anggota parpol. Ketua Umum AJI Eko Maryadi meminta supaya insan pers mendapatkan perlindungan agar terhindar dari aksi politik pemilik media yang terafiliasi dengan parpol.
"Saya menyarankan tiap wartawan bergabung dengan organisasi (wartawan) yang ada. Silakan pilih yang cocok dengan kondisi masing-masing," kata Eko Maryadi kepada gresnews.com, di Jakarta, Jumat (13/1). Eko menambahkan, wartawan juga bisa memilih untuk bekerja di kantor media yang memberikan jaminan kesejahteraan dan profesional.
Terkait dengan independensi pemberitaan, Eko mengingatkan publik yang menerima langsung pesan dalam suatu berita untuk lebih pintar dari pembawa berita dalam menanggapi pemberitaan-pemberitaan yang terafiliasi dengan parpol).
"Penonton (penerima langsung) harus lebih kritis dan pintar juga, jangan langsung percaya dengan cara banyak membandingkan, membaca media yang beragam," kata Eko.
Selain itu, kata Eko, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus lebih tegas dalam menegakkan aturan tentang netralisasi isi siaran TV dan berani menegur stasiun TV bila bertentangan dengan ketentuan penyiaran.
"KPI harus berani menegur stasiun TV yang menggunakan frekuensi penyiaran secara serampangan dan tidak mempertimbangkan kepentingan publik yang lebih luas," ujarnya.
Diwawancarai secara terpisah, Direktur Eksekutif LBH Pers Hendrayana menegaskan, lembaga penyiaran harus kembali ke kiblatnya, dalam arti tidak ada pemusatan kepemilikan kepada segelintir orang. Keragaman isi (diversity of content) adalah keragaman pemilik (diversity of ownership).
"Karena kita harus sadar dan tahu bahwa yang namanya frekuensi merupakan domain publik yang terbatas dan seharusnya diatur untuk kepentingan publik yang lebih luas," kata Hendrayana kepada gresnews.com di Jakarta, Jumat (13/1).
Hendrayana pun meminta Mahkamah Konstitusi memutuskan uji materiil UU Penyiaran, supaya tidak ada penafsiran yang serampangan dari para pemilik modal sehingga tidak ada lagi pemusatan kepemilikan dalam penyiaran. "Harus dibatasi satu penyelenggara penyiaran itu hanya boleh satu dalam cakupan wilayah," kata dia. MK harus dapat memberikan tafsiran yang sesuai dengan perkembangan pemusatan kepemilikan media saat ini.
Di sisi lain, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengakui bahwa UU Penyiaran masih ´abu-abu´. Karena itu, jika terdapat lembaga penyiaran swasta (LPS) yang melakukan aksi korporasi seperti pengambialihan saham, KPPU berhak memberikan pendapat tersendiri. Analisisnya, terkait ada atau tidaknya persaingan usaha tidak sehat yang berdampak pada monopoli pasar.
"Kalau ada di antara UU ini saling berbeda, kami juga bisa memberikan pendapat. Kalau ada UU yang berkaitan dengan penilaian yang sedang kami lakukan, tetapi masih dalam konteks abu-abu, KPPU masih bisa memberikan pendapat," kata Komisioner KPPU Erwin Syahril, saat berbincang dengan gresnews.com, Jumat (13/1).
Erwin menegaskan, keputusan KPPU berbeda dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), karena memang memiliki tugas yang berbeda. KPPU melihat lebih kepada ada atau tidaknya monopoli yang dilakukan atau akibat yang ditimbulkan dari aksi korporasi secara ekonomi terhadap masyarakat.
"Kami lihat item-item proses akuisisinya. Apakah ada yang dilanggar. Sepanjang ini kami belum melihat ada yang dilanggar," ungkap Nawir.
Sementara itu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berpendapat, pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran swasta dilarang karena dapat menggiring opini publik. Bahkan, akan lebih berbahaya lagi jika pemiliknya terafiliasi dengan partai politik. Oleh karena itu perlu adanya rekonstruksi pengaturan tentang penyiaran, terkait dengan kepentingan politik. Partai politik memang berhak tayang di televisi, tetapi pengaturan dan pembagiannya harus tegas.
"Perlu adanya rekonstruksi kembali soal aturan, soal kepemilikan yang punya aspirasi kepada partai politik tertentu," kata Komisioner KPI M Riyanto, saat berbincang dengan gresnews.com, Jumat (13/1).
Menurut Riyanto, pemilik lembaga penyiaran swasta (LPS) yang terafiliasi dengan partai politik boleh saja memanfaatkan siarannya. Tapi, jangan sampai parpolnya itu mendominasi isi siaran. Mereka harus membagi rata kesempatan kepada partai politik lainnya.
"Harus direkonstruksi kembali soal regulasinya, baik terkait partai politiknya, maupun terkait penyiaran. Batasannya harus tegas bahwa penyiaran sebagai ranah publik tidak boleh digunakan untuk kepentingan tertentu saja," papar Riyanto.
Terkait dengan pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran, KPI menegaskan hanya bisa memberikan imbauan. Menurut Riyanto, yang berhak melarang dan menegur terjadinya pemusatan kepemililkan melalui pengambilalihan saham atau izin penyiaran adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) atau Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
Contohnya adalah pendapat hukum KPI yang menyatakan tidak sepakat dan menganjurkan tidak terjadinya pengambilalihan saham PT Indosiar Karya Media Tbk (IDKM/Indosiar) oleh PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK). Sebab, PT EMTK selaku pemilik PT Surya Citra Media Tbk (SCMA/SCTV) seharusnya tidak boleh memiliki LPS lainnya.
"Yang namanya pemindahan kepemilikan itu artinya juga menguasasi izin. Imbauan kami ini bukan berarti ingin mematikan bisnis penyiaran, siapapun berhak investasi tetapi harus dibatasi," kata Riyanto.
Oleh sebab itu, KPI menegaskan, siap memberikan keterangan sebagai pihak terkait di MK dalam perkara uji materi UU Penyiaran yang diajukan KIDP.
"Kalau diminta untuk memberikan respons kami siap. Respons kami kurang lebih sama dengan pendapat hukum atas akuisisi lembaga penyiaran tadi," jelas Riyanto.
TIM SOMASI
- KPI Sebaiknya Urusi Siaran Berkualitas Buruk di Televisi Indonesia
- Polemik Uji Publik Perpanjangan Izin Televisi Swasta
- Kualitas Program Televisi Belum Ada Perbaikan
- Komoditas Syariah di Layar Kaca
Ada(kah) Negara di Dalam TV(?)
- Ini dia penyelenggara Siaran Televisi Digital yang lolos seleksi Kemkominfo
- Pindah ke MNC? Karni Ilyas: "Nggak benar"