JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sabda Raja Sri Sultan Hamengkubuwono X yang menginginkan anak perempuannya Ray Nurmalita Sari (GKR Pembayun) menjadi Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi seharusnya tak ditanggapi berlebihan. Perubahan silsilah pemangku kuasa Raja Jogja ini merupakan salah satu pembaharuan demokrasi yang harus diterima bersama.

Paulus Yohanes Sumino, mantan Ketua Tim Kerja RUU Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang juga merupakan Komite I DPD RI menyatakan perlu adanya pembaharuan yang dilakukan pihak Keraton Jogja. "Sabda Raja ini sudah mengandung deklarasi pembaharuan yang harus dijadikan dasar penataan tampuk kerajaan," katanya dalam diskusi "Memaknai Sabda dan Dhawuh Sultan Yogyakarta" di DPR RI, Senayan, Rabu (13/5).

Ia menyatakan proses pembaharuan dari dalam harus mulai dilakukan pihak Keraton karena memang dibutuhkan. Karena sebenarnya, pemberian tahta kepada puteri sulung sultan tersebut tak terlalu dipermasalahkan baik oleh pemerintah pusat, DPR, maupun DPRD.

"Namun, yang menjadi permasalahan saat ini, apakah pihak keraton siap melakukan pembaharuan?" ujarnya.

Mengingat setelah sabda raja diumumkan mulai muncul konflik internal di keluarga kerajaan. Adik-adik sultan yang merasa berhak atas tahta mempertanyakan keputusan tersebut.

Ia juga meminta pada DPRD Yogyakarta untuk tak ikut memanas-manasi persoalan ini. Apalagi, trah kerajaan tidak masuk dalam konteks DPRD melainkan DPD.

Pembaharuan yang dikemukakan sultan juga harus bisa dikemas demokratis dalam sistem kekeratonan. "Beri kesempatan dulu ke keraton, kita cukup menyumbang pikiran rasional agar keraton berkembang, sebab Keraton Jogja milik Nusantara," katanya.

Hal yang serupa pun diutarakan Karsono Hardjo Saputra, Kordinator Program Studi Jawa Fakultas Ilmu Budaya UI, perubahan tahta kerajaan kepada Pembayun tak akan menjadi masalah. Jika saat ini timbul pro dan kontra terhadap Sabda Raja, maka hal ini dapat dijadikan cerminan Indonesia yang belum siap 100 persen menjadi bangsa yang modern.

"Kita masih setengah-setengah menerapkan antara wahyu dan ilmu yang mendesak selalu memakai rasionalitas," katanya dalam kesempatan yang sama.

Menurutnya, walaupun menggunakan wahyu sekalipun, Sabda Raja ini tak bisa dianggap irasional dan anti demokrasi karena mengabaikan suara Tuhan dan rakyat. "Kita kenal demokrasi, di dalam keraton pun ada lembaga untuk mengajukan protes. Tapi kita memilih tidak memakainya!" katanya.

Ia juga menyontohkan hal-hal yang berbau tradisional ternyata merupakan cikal-bakal kerasionalan, seperti arsitektur dalam pembangunan Candi Borobudur yang begitu megah dan rumit. Masyarakat bawah di Jogja pun ia klaim merespons secara biasa terhadap sabda raja.

"Hanya kelompok yang memiliki kepentingan kekuasaan, terutama adik sultan yang punya kesempatan menjadi sultan yang menjadikan hal ini tak biasa," katanya.

BACA JUGA: