JAKARTA, GRESNEWS.COM - Fraksi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) menganggap hak angket yang digulirkan lima fraksi dari partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) kepada Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly, tidak perlu dilakukan. Selain tidak memenuhi syarat substansial sebagaimana diatur dalam Pasal 79 UU MPR, DPR, DPD (MD3), masih banyak agenda DPR yang harus diprioritaskan untuk diselesaikan.

Wakil Ketua Fraksi Partai Nasdem DPR Johnny G Plate mengatakan, Hak Angket sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 79 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu UU dan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

"Benar, dari sisi syarat pengusul harus lebih dari satu fraksi dan minimal 25 anggota Dewan memang terpenuhi, tapi dari isi substansi sebagaimana diatur Pasal 79 UU MD3, tidak," kata Johnny kepada wartawan di Nusantara III, Gedung DPR, Senayan Jakarta, Kamis (26/3).

Alasannya, konflik internal parpol tidak perlu dibawa ke DPR apalagi menyeret DPR untuk menyelesaikannya. Sebab konflik internal tidak masuk kategori yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Menurut Johnny, untuk menyelesaikan masalah atau konflik internal partai terkait dualisme kepengurusan sudah tercantum dalam UU Partai Politik. Yaitu permasalahan internal diselesaikan di Mahkamah Partai. "Hasil putusan Mahkamah Partai itu bersifat final dan mengikat," kata dia.

Sementara di DPR ada 10 parpol. "Masak setiap ada konflik internal harus menyeret DPR. Kan habis waktu DPR hanya untuk mengurusi persoalan internal parpol," tutur Jhonny.

Akibatnya, kata dia, banyak agenda DPR yang harus segera dilaksanakan menjadi tertahan. Misalnya, pembahasan usulan Presiden terkait calon Kapolri, pembahasan Perppu Pelaksana Tugas (Plt) Pimpinan KPK, persoalan begal motor dan ISIS hingga merosotnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.

DPR juga masih harus mengawasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P). "Ini sejumlah persoalan yang harusnya kita utamakan agar DPR tidak dianggap gagal melaksanakan tugasnya," jelasnya.

Sebelumnya Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menganggap anggota DPR RI periode 2015-2019 dianggap belum menunjukkan kinerja baik. Pasalnya, hingga masa sidang II masih banyak Program Legislasi Nasional  (Prolegnas) yang belum tercapai. Selain karena imbas perseteruan antarkelompok Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), konflik internal partai politik juga berkontribusi melemahkan kinerja Dewan.

Peneliti senior Formappi Lucius Karus menilai kinerja DPR tidak lebih baik dibandingkan dengan periode sebelumnya, bahkan cenderung lebih buruk. Menurutnya, hal ini disebabkan anggota DPR masih mengedepankan kepentingan politik kelompoknya dibandingkan kepentingan publik.

Seperti munculnya dua kepengurusan partai politik pemilik kursi di DPR. "Selain imbas konflik internal sejumlah parpol, ada juga faktor pengelompokan politik KMP dan KIH," tuturnya dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Kamis (26/3).

Indikatornya antara lain dalam hal pembahasan rancangan undang-undang (RUU), belum diselesaikan sesuai target Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Lucius menyebutkan, RUU di Prolegnas 2015-2019 mencapai 160 RUU. Ketika dibagi dalam lima tahun periode DPR maka setiap tahunnya Dewan harus bisa menyelesaikan sebanyak 32 RUU.

Bila dirata-rata dalam satu kali masa sidang dengan empat masa sidang dalam setahun, DPR yang terdiri dari 11 komisi seharusnya dapat menyelesaikan sedikitnya delapan RUU. Namun, hingga masa sidang kedua, kata Lucius, baru tujuh RUU yang diberhasil diselesaikan.

"Dua RUU diantaranya adalah hasil pembahasan anggota DPR RI periode 2009-2014 yang sekarang tinggal disahkan," tegasnya. Kedua RUU itu adalah RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), dan RUU Pemerintah Daerah (Pemda). Sedangkan, lima RUU lainnya bersifat kumulatif terbuka yang tanpa dibahas, sudah pasti akan disahkan.

Ia membandingkan dengan anggota dewan pada periode lalu yang menargetkan 230 RUU dengan menetapkan 72 RUU prioritas selama setahun.

Terkait Hak Angket, menurutnya, makna hak angket yang disebutkan dalam UU MD3 tidak sinkron dengan maksud yang sedang digagas sejumlah kalangan di DPR terkait keputusan Menkumham dalam kasus Golkar. "Ketidaksinkronan itu salah-satunya terkait aspek kepentingan publik yang berdampak luas, karena ini hanya berdampak pada kubu yang berselisih," katanya.

BACA JUGA: