JAKARTA, GRESNEWS.COM - Wacana pemberian grasi kepada terpidana kasus korupsi yang dicetuskan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan didukung oleh DPR dianggap sebagai sebuah bentuk konspirasi. Koordinator Kontras Haris Azhar mengatakan, DPR mendukung ide Yasonna lantaran kepentingan membela diri jika suatu saat terjerat kasus korupsi.

Dia menyayangkan alasan Yasonna yang menyatakan hak asasi setiap narapidana berarti bisa mengurangkan masa tahanan. Menurut dia hak dasar para narapidana adalah hak melangsungkan hidup di dalam tahanan secara layak. Seperti contohnya mendapat kamar tahanan yang baik dan sehat, cukup udara, cukup cahaya, mendapat makan dan hal lain untuk melangsungkan kehidupannya.

Selain itu narapidana juga diperbolehkan surat-menyurat dan dikunjungi keluarga dan pengacara secara rutin. Serta larangan untuk dibunuh atau disiksa. "Pengurangan masa tahanan bukan hak asasi yang mendasar bagi para napi," kata Haris kepada Gresnews.com, Rabu (18/3).

Hak remisi pun, kata dia, hanya bisa diberikan kepada tahanan kasus pidana non kejahatan luar biasa yang telah berbuat baik selama masa menjalani penahanan. Sedang, bagi para koruptor harus dihukum setimpal atas kejahatan yang dilakukan sebab telah menindas rakyat banyak karena termasuk kejahatan luar biasa.

"Jika belum apa-apa sudah tuntut remisi maka ini baru dikatakan tidak adil, hukumnya tak boleh terlalu kejam tapi juga tak bisa dapat keringanan," kata Haris.

Terhadap dukungan yang diberikan para anggota DPR, Haris menduga, hal tersebut hanya alasan yang digunakan untuk membangun perangkat pengaman. Sebab baik diri sendiri maupun kolega mereka amat berpotensi melakukan korupsi ke depan. "Saya tidak mengerti cara berpikir mereka, giliran korupsi langsung masif berbicara HAM," katanya.

Padahal saat kasus hukuman mati yang jelas-jelas kejam dan merenggut hak dasar manusia diterapkan, para politisi ini amat mendukung keputusan pemerintah ini. Haris mengatakan, para politisi tingkat tinggi di DPR atau menteri kebanyakan memang berasal partai politik, sehingga mereka dapat mengerti tingkat kelemahan dari kejahatan yang berpotensi dilakukan kelompoknya.

"Mereka sedang susun siasat besar seperti pelemahan KPK, pengendapan kasus, dan dukungan remisi korupsi," katanya.

Runutan tersebut dianggap sebagai susunan rangkai panjang sebuah konspirasi untuk melakukan pembelaan dalam rangka membebaskan para koruptor dan melemahkan KPK. "Mereka itu jahat, makanya rakyat benci," ujarnya.

Rencana pemberian remisi bagi koruptor, ini memang didukung oleh sebagian besar anggota DPR, bahkan oleh para pimpinannya. Mereka menganggap wacana kebijakan ini telah mengakomodir hak-hak para narapidana.

Mereka beralasan, pemberian remisi seharusnya dapat menjadi hak bagi semua narapidana (napi) tanpa mendiskriminasi kasus di balik para napi tersebut. Sebab remisi terkait hak hak asasi yang melekat pada tiap manusia. Sehingga tidak pantas pendiskriminasian bagi pada para penjahat luar biasa khususnya koruptor.

"Remisi, tidak apa diberikan dengan catatan napi berkelakuan baik," kata Wakil Ketua DPR Fadli Zon, di Komplek DPR, Senayan, Senin (16/3).

Bahwa pemberian remisi bagi para koruptor dianggap pelemahan pemberantasan korupsi ia membantahnya. "Pemberantasan korupsi harus terus didukung dengan catatan lebih kepada tingkatan sanksi hukuman yang diberikan, bukan hak mendapat remisi," katanya.

Sebagai kejahatan luar biasa, terorisme, korupsi, dan narkotika, kata Fadli, harus tetap mendapatkan hukuman berat. "Namun, jika napi berbuat baik maka hak remisinya harus diberikan, ujarnya.

Kolega Fadli, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah berargumen, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pun tidak mencantumkan istilah napi per kasus. Seperti napi koruptor, teroris atau napi narkoba, namun semua napi disamaratakan sebagai individu yang dianggap telah melakukan kesalahan pada negara.

Sehingga yang bersangkutan dibina negara untuk dikembalikan ke masyarakat. "Lebih cepat dikembalikan ke masyarakat lebih baik, bahkan tren negara di maju tidak menahan napi," katanya.

Menurutnya, keputusan di negara maju diikuti oleh pemeriksaan tingkat keberbahayaan tersangka di masyarakat, dalam hal ini catatan pembunuhan. Apabila bersih, maka tersangka dapat dilepaskan persis setelah diketok palunya. Namun sebaaliknya, di Indonesia berkembang filsafat pengalihan fungsi kemasyarakatan menjadi pemenjaraan dan penjeraan.

"Itu berbahaya, padahal orang itu bisa menyesal dan kembali ke masyarakat," kata Fahri.

Dia menyayangkan lembaga-lembaga pemberantasan korupsi memiliki pola pikir "Semakin banyak orang yang tertangkap dipenjarakan maka akan semakin baik". Pola pikir tersebut dianggap filsafat kolonial yang tidak ada dalam demokrasi.

Padahal penjara atau hukuman mati dapat menimbulkan efek demdam para keluarga yang tidak ada habisnya. "Penegakan hukum kita penuh dengan kebencian, negara tak mampu mengatasi persoalan sehingga jalan keluar yang dilakukan hanya pemenjaraan dan hukuman mati," ujar Fahri.

BACA JUGA: