JAKARTA, GRESNEWS.COM - Konflik antara TNI dan Polri yang bisa tiba-tiba muncul dan kerap berulang menjadi keprihatinan banyak pihak.Orang pun kemudian menebak-nebak apa akar permasalahan dibalik pecahnya konflik aparat dua lembaga tersebut.

Pengamat militer Hari Prihartono melihat akar permasalahan konflik ini berasal dari regulasi tentang kedua lembaga aparat negara tersebut. Seharusnya DPR dan pemerintah bisa memaksimalkan peran TNI dalam bidang pertahanan melalui regulasi yang jelas.

Hari menuturkan konflik yang terjadi di Batam antara TNI-Polri yang terjadi dua kali dalam jarak yang dekat. Konflik pertama (21/9) menewaskan 4 anggota TNI dan konflik kedua (19/11) menewaskan 1 anggota TNI. Menurutnya, tim investigasi maupun penyelenggara negara dinilai gagal memahami akar permasalahan. "Kalau gagal memahami masalah akibatnya tentu akan gagal juga untuk menyelesaikan masalah," ujar Hari dalam diskusi di MPR, Jakarta, Senin (1/12).

Menurutnya, konflik antara TNI dan Polri di Batam tidak hanya karena persoalan backing mem-backing tapi akar permasalahannya lebih pada persoalan penyelenggara negara yang tidak paham soal konstitusi dan regulasi. Negara harusnya jangan membiarkan TNI dilibatkan dalam persoalan dalam negeri terkait masalah backing.

Hari menjelaskan TNI dididik sebagai militer yang memiliki pemahaman konteks perang. Prinsipnya kalau tidak ingin ditembak harus menembak. Jadi persoalan ini sangat berhubungan dengan kesalahan birokrasi pemerintahan. Negara dianggap gagal dalam membuat regulasi untuk TNI di bidang pertahanan, intelijen, dan militer.

TNI seharusnya bisa disibukkan dengan persoalan pertahanan negara. Indonesia sebagai negara kepulauan harusnya memiliki kekuatan maksimal di angkatan udara dan angkatan daratnya. Sehingga jika terjadi gangguan atau ancaman keamanan angkatan udara bisa mengepungnya di laut. Lalu angkatan darat yang menyapu bersih sisanya.

Regulasi untuk memperkuat pertahanan angkatan darat dan laut ini yang tidak dipahami penyelenggara negara kita. Negara seakan tidak memahami kondisi geografis dan regulasi. Selain itu regulasi juga cenderung dibuat setelah ada kasus yang terjadi. Sehingga pembuatan regulasi ini tidak bersifat antisipatif.

Ia mencontohkan undang-undang (UU) antiteror dibuat setelah ada kejadian terorisme. Setelah regulasi dibuat, pola terorisme ternyata terjadi lagi dengan cara yang tidak diatur dalam UU tersebut. Sehingga regulasi pada akhirnya tidak menyelesaikan permasalahan. Sehingga dalam konteks TNI-Polri, kedua institusi tersebut sebaiknya jangan terus menerus disalahkan. Anggota DPR  dan pemerintah harusnya bisa duduk bersama memahami akar permasalahannya.

Menanggapi hal ini, Anggota DPR Fraksi Hanura Syarifuddin Sudding mengatakan persoalannya bukan karena penyelenggara gagal paham terhadap persoalan konflik TNI-Polri. Menurutnya, dalam UU tentang TNI memang sudah diatur kapan TNI bisa membantu Polri dan sebaliknya. Anggota DPR ketika membuat konstitusi tentu saja tidak asal membuat. Mereka harus memiliki dasar hukum yang lebih tinggi yaitu konstitusi.

"Kalau ada regulasi yang dianggap melanggar, masyarakat bisa ajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk dijudicial review lalu dibatalkan," ujar Syarifuddin dalam kesempatan yang sama di MPR, Jakarta, Senin (1/12).

Ia justru menyimpulkan persoalan konflik TNI-Polri seringkali terjadi lebih dikarenakan persoalan perilaku dan hal yang sepele. Menurutnya, konflik di Batam jelas terjadi karena persoalan perebutan lahan dan bagaimana mendapatkan sesuatu dari situ.

BACA JUGA: