JAKARTA, GRESNEWS.COM – Tarik ulur siapa yang bakal mengisi sebagai wakil gubernur DKI Jakarta masih terjadi. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai pemenang pemilihan gubernur periode 2012-2017, merasa jatah pendamping Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) untuk PDIP.

PDIP pun buka suara melalui mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PDIP Tjahjo Kumolo memutuskan Boy Sadikin yang akan mengisi jabatan itu. Sementara Ahok sendiri masih menginginkan mantan Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Sarwo Handayani sebagai wakilnya.
 
Kalau mau melongok peraturan yang ada dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perppu Pilkada) mengakomodasinya bila ada perseteruan yakni Pasal 168. "Implementasi ketentuan tersebut sesuai kebutuhan daerah, dan yang menentukan mau berapa wakilnya adalah kepala daerah," kata Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya Malang, Muhammad Ali Syafaat kepada Gresnews.com, Kamis (27/11).
 
Pasal 168 ayat (1) itu berbunyi "Penentuan jumlah Wakil Gubernur berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa tidak memiliki Wakil Gubernur; b. Provinsi dengan jumlah penduduk di atas 1.000.000 (satu juta) jiwa sampai dengan 3.000.000 (tiga juta) jiwa memiliki 1 (satu) Wakil Gubernur; c. Provinsi dengan jumlah penduduk di atas 3.000.000 (tiga juta) sampai dengan 10.000.000 (sepuluh juta) jiwa dapat memiliki 2 (dua) Wakil Gubernur;  d. Provinsi dengan jumlah penduduk di atas 10.000.000 (sepuluh juta) dapat memiliki 3 (tiga) Wakil Gubernur". Sementara berdasarkan catatan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta, pada 2011, jumlah penduduk Jakarta mencapai 10.187.595 jiwa.
 
Kemudian dalam Pasal 171 ayat (1) dikatakan gubernur, bupati, dan walikota wajib mengusulkan calon wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota dalam waktu paling lambat 15 hari setelah pelantikan gubernur, bupati, dan walikota. "Untuk menghindari perseteruan dengan PDIP yang juga mengusulkan nama lain, bisa saja Ahok mengakomodasi usulan itu," jelasnya. Sebab lanjut Syafaat, wakil gubernur bisa berlatar belakang professional atau dari kalangan politisi.
 
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo mengambil sumpah dan janji Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta di Istana Negara Jakarta, pada Rabu (19/11). Artinya, kesempatan mengusulkan itu masih terbuka sampai 3 Desember. Ahok mengaku telah mengajukan nama pendampingnya kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dari kalangan professional dan berpengalaman. Alasannya, agar bisa bekerja lebih cepat dibanding memilih dari kalangan politisi.
 
"Tetapi belum ada tanggapan jelas dari Ibu Megawati, apakah setuju atau tidak," kata Ahok kepada wartawan di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Kamis (27/11).
 
Sementara keberadaan Pasal 168 dipersoalkan Mochammad Syaiful lewat kuasa hukumnya, Muhammad Sholeh melalui pengujian Perppu Pilkada. Menurut mereka terkait frasa kata "dapat" dalam Pasal 169 itu seharusnya tidak boleh diberikan hak prerogative kepada kepala daerah untuk menentukan apakah wakilnya harus satu, dua, atau tiga.
 
"Hak prerogatif itu tidak boleh itu diberikan kepada kepala daerah,” tutur Sholeh di sidang panel pengujian Perppu Pilkada terhadap UUD 1945 di gedung MK, Jalan Medan merdeka Barat, Jakarta Pusat (26/11) kemarin.
 
Ia mencontohkan, pelantikan Ahok tidak mengikuti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) maupun UU No.32 Tahun 2004 juga tentang Pemda. Tetapi merujuk pada perppu. Akibatnya, tidak ada lagi domain partai politik untuk mengusulkan, tetapi domain gubernur. "Kalau kita ikuti Perppu ini, mestinya di Jakarta itu bisa dua ataupun tiga wakil gubernur," jelasnya.
 
Menurutnya, ketika pasal ini tidak dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK), maka ketentuan pasal ini tidak akan digunakan oleh kepala daerah terpilih. Karena pada prinsipnya, mereka lebih suka one man show, supaya tidak ada "cawe-cawe" maupun kontrol dari wakil kepala daerah.
 

BACA JUGA: