JAKARTA, GRESNEWS.COM - Banyaknya pejabat daerah yang tersangkut kasus tindak pidana korupsi, ternyata juga menjadi perhatian Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Mereka berharap Gubernur DKI Jakarta yang baru dilantik Basuki Tjahya Purnama bekerjasama dalam rangka mencegah terjadinya korupsi baik itu kepada PPATK, maupun KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Ketua PPATK Muhammad Yusuf juga meminta pria yang akrab disapa Ahok itu agar terbuka dan menyerahkan nama-nama pejabat di DKI Jakarta untuk ditelusuri harta kekayaannya. Hal itu dilakukan untuk mengetahui apakah ada pejabat yang mempunyai rekening mencurigakan.

"Harusnya pejabat DKI juga ditelusuri KPK dan PPATK," ujar Ketua PPATK, M.Yusuf dalam diskusi di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (25/11).

Yusuf menjelaskan, pejabat DKI sudah sepatutnya turut ditelusuri lantaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta terbilang besar, yaitu mencapai Rp70 triliun. Dan dengan anggaran sebesar ini, tentu saja potensi terjadinya korupsi juga cukup terbuka.

"Anggaran ini lebih besar dari kementerian, menteri saja ditanya bersih atau tidak," sambung Yusuf.

Selain itu, Yusuf berharap, tiap kepala daerah juga membatasi adanya transaksi tunai dalam jumlah besar. Hal itu dilakukan agar PPATK lebih mudah menelusuri jika ada transaksi yang dianggap tidak wajar yang berpotensi menimbulkan terjadinya kasus korupsi.

Menanggapi permintaan itu, Ahok yang turut hadir dalam diskusi tersebut langsung meresponya. Ia mengaku siap menjalankan rekomendasi yang disampaikan Yusuf. Hal itu jelas pria yang itu sudah ditunjukkan dengan kesepakatan dengan KPK dan PPATK untuk menelusuri harta kekayaan atau ada tidaknya transaksi keuangan bagi pejabat DKI level eselon I dan II.

"Saya sudah tandatangani surat dengan KPK dan PPATK telusuri pejabat di DKI eselon I dan II dan besok nama-nama pejabat-pejabat itu mulai disetor," tandas Ahok.

Sementara itu, terkait dengan adanya pembatasan transaksi tunai para pejabat daerah, mantan politisi Gerindra itu pun menyetujuinya. Dan itu dibuktikan pada program Pemerintah DKI Jakarta yang pada 2015 yang membatasi transaksi dilakukan lebih dari Rp25 juta.
 

BACA JUGA: