JAKARTA, GRESNEWS.COM - Undang-undang Kelautan yang baru saja disahkan dalam paripurna pada pekan lalu dinilai tak mengakomodir masalah lingkungan dan perlindungan bagi nelayan. Beleid ini berpotensi sebagai alat bisnis negara dan kurang dapat mengakomodir antisipasi bencana laut.

Misalnya saja pada pasal 2 UU Kelautan yang tidak memasukkan asas kehati-hatian dini yang penting dalam melindungi lingkungan laut RI yang rentan dicemari. Hal ini membuktikan pemerintah masih membolehkan adanya dumping, padahal diketahui pencemaran laut di Indonesia bisa dikatakan sudah teramat memprihatinkan.

"Kita lihat saja contoh di depan mata, seberapa parahnya Teluk Jakarta tercemar bisa dilihat dengan rasio jenis ikan yang ditangkap nelayan semakin berkurang. Jika dulu bisa mencapai 40 hingga 60 jenis ikan dalam sekali tangkap, kini hanya terdapat 10 jenis saja. Daerah yang dekat dengan pemerintahan, LSM, dan penegak hukum saja pencemarannya bisa mencapai 90%, bagaimana yang tidak tersentuh?” ujar Slamet Daroyni, Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) kepada Gresnews.com, Sabtu, (4/10).

Tidak adanya pernyataan yang melarang keras pembuangan limbah ke laut ini amat disayangkan berbagai organisasi lingkungan. Belum lagi dalam Pasal 14 yang menerapkan konsep blue economy yang dianggap tidak tepat karena selain tidak dikenal dalam konsepsi perekonomian Indonesia yang menganut paham demokrasi ekonomi, juga belum teruji pencapaiannya dalam praktek pengelolaan laut.

Blue economy merupakan satu produk yang bersumber dari hasil kelautan dan perikanan yang bisa dijadikan banyak produk sehingga meminimalkan limbah. Konsep ini dikembangkan guna mendorong peningkatan peran swasta dalam pembangunan ekonomi pro lingkungan melalui pengembangan bisnis dan investasi inovatif dan kreatif.

Slamet menilai orientasi bisnis blue economy ini belum jelas dipaparkan dalam undang-undang kelautan. "Manfaat dibuatnya undang-undang kan untuk menjawab permasalahan orang-oraang yang berkaitaan dengan peraturan tersebut, bagaimana sumber daya alam bisa diakses 7,8 juta nelayan miskin jika konsepnya berurusan dengan koorporasi, bukan nelayan kecil," tuturnya.

Pasal 27 pun dinilai mengandung ambiguitas dalam kegiatan reklamasi karena pengaturan reklamasi yang diberlakukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) terbukti destruktif. Pasal 53 juga tidak memasukkan cuaca ekstrem dan asidifikasi/pengasaman air laut sebagai bencana pemanasan global. Padahal kedua hal ini penting untuk disebutkan karena memberi dampak yang nyata bagi nelayan dan laut.

Namun Menteri KKP, Sharif Sutardjo, pernah mengatakan konsep blue economy telah teruji dan berhasil mendorong tumbuh dan berkembangnya industri. Tentu saja industri yang dimaksud adalah industri yang berbasiskan laut seperti pembangkit listrik tenaga angin dan ombak, penambangan minyak dan gas laut dalam dan dasar laut, perikanan budidaya laut, dan marine biotechnology.

BACA JUGA: