JAKARTA, GRESNEWS.COM – Menjelang dilantiknya Jokowi-Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden terpilih, pembahasan soal struktur kabinet dan orang yang mengisi kabinet menjadi perbincangan hangat. Salah satu isu yang dimunculkan adalah soal perlunya keterwakilan perempuan yang professional dalam kabinet pemerintahan mendatang.

Menanggapi hal ini, pengamat politik dari LIPI, Ziti Zuhro mengatakan secara umum pengarusutamaan gender di partai politik dan pencalegan dalam undang-undang disyaratkan harus 30%, kalau tidak mencapai bisa didiskualifikasi. Lanjutnya, pengarusutamaan gender bukan berarti hanya terbatas di partai politik dan parlemen saja, tapi harus diakomodasi menjadi satu bagian tak terpisahkan dari komposisi di pemerintahan secara nasional maupun daerah.

"Itu penting karena jumlah perempuan di Indonesia secara total nyaris sama dengan jumlah laki-laki. Untuk jumlah sebesar itu harus ada representasinya," katanya pada Gresnews.com, Jumat (29/8).

Ia melanjutkan menurut penelitian, di Skandinavia dan wilayah di Eropa Barat, semakin banyak perempuan yang duduk di kursi strategis pemerintahan dampaknya positif terhadap penurunan jumlah korupsi. Artinya dengan temuan itu ia menilai perempuan bisa diberikan misi untuk ikut memberantas korupsi.

Ia menambahkan dengan adanya pelibatan perempuan dalam pemerintahan, perempuan tidak hanya selalu ditempatkan pada posisi staf. "Tapi juga di posisi kunci yang sesuai dengan kapasitas dan kompetensi. Jadi kalau perempuan itu punya kapabilitas dan kredibilitas, kenapa tidak," ujarnya.

Menurutnya, kalau perempuan didorong dan diberikan suatu dukungan moril untuk maju dalam kabinet di pemerintahan, ia menilai hal itu bagus sekali. Ia mencontohkan diberikan saja misi tambahan bagaimana agar Indonesia tidak dalam posisi gawat darurat korupsi. Sehingga, menurutnya perempuan bisa jadi pembaharu atau penggerak bagi pemberantasan korupsi.

Senada dengan Siti Zuhro, pengamat politik dari SIGI, Medrial Alamsyah mengatakan wacana soal perlu adanya keterwakilan perempuan bukanlah sesuatu yang penting. Karena menurutnya kalau bicara soal keterwakilan belum tentu sinkron dengan profesionalisme. Ia menambahkan intinya pemerintahan mendatang perlu diisi dari kalangan professional.

"Mau datangnya dari partai, perempuan atau laki-laki tidak jadi soal. Kalau kita bicara keterwakilan sebenarnya agak mengabaikan profesionalisme," ujarnya pada Gresnews.com, Jumat (29/8).

Ia melanjutkan kalau ada perempuan yang bagus, juga jangan sampai dihalangi untuk berkontribusi dalam pemerintahan karena dia perempuan. Tambahnya, bagaimanapun ini persoalan politik, sehingga Jokowi harus mengakomodir wacana itu. Tapi menurutnya kalaupun harus diakomodir, tetap harus mengedepankan profesionalisme.

Sebelumnya, Ketua Umum Srikandi Hanura, Miryam S. Haryani meminta agar kabinet pemerintahan mendatang perlu memperhatikan soal keterwakilan perempuan di dalamnya. Ia menilai ada banyak perempuan Indonesia yang memiliki kapasitas dan professional untuk masuk dalam kabinet Jokowi JK. Paling tidak menurutnya kabinet bisa diisi sedikitnya 20% perempuan.

BACA JUGA: